Kotak Saran

tombol masukan dan saran

Selasa, 17 Februari 2015

Psikologi Hukum



PSIKOLOGI HUKUM


Prilaku Hukum dan Psikologi Hukum
Ketika sepasang suami-istri yang mempunyai seorang anak yang masih kecil, katakanlah berusia 7 tahun, lantas pasangan itu ingin bercerai di mana masing-masing dari kedua-duanya memohon kepada hakim untuk ditetapkan sebagai wali anak itu;
Maka hal itu merupakan subjek-bahasan Psikologi Hukum, untuk membantu hakim memahami secara psikologis, demi kepentingan masa depan anak, pihak mana yang akan hakim tetapkan sebagai wali dari anak tersebut.
Ketika seorang saksi mata memberi keterangan, baik di tahap penyelidikan, penyidikan maupun di persidangan pengadilan, maka Psikologi Hukum akan sangat banyak membantu menilai keakuratan kesaksian tersebut.
Ketika terjadi pembunuhan berantai, maka polisi di banyak negara maju, telah menggunakan pakar psikologi hukum untuk mengidentifikasi tipe kepribadian dan sosok pembunuh berantainya. Kajian tentang kewenangan "diskresi" dari personel kepolisian, juga merupakan topik yang banyak diteliti oleh pakar psikolohi hukum; demikian pula prediksi tentang apa yang akan diputuskan oleh hakim.
Tak terkecuali kajian Psikologi Hukum mengkaji persepsi-persepsi seseorang tentang berbagai fenomena hukum; contoh pro-kontra pidana mati, pro-kontra kriminalisasi pornografi. Contoh terakhir di antara tak terhingga contoh manfaat Psikologi Hukum, adalah digunakannya alat psikologi hukum yang dikenal sebagai "pendeteksi kebohongan" yang merupakan bagian dari "Neuro-Science" sebagai salah satu cabang Psikologi Hukum ("Legal Psychology").
Sebagaimana diketahui, mata kuliah atau kajian Psikologi Hukum mencakupi sub-sub bidang: (a) Psychology of Law, (b) Psychology in Law, (c) Psychology and Law, (d) Legal Forensik dan (e) Neuro Science. Oleh karena itu, dalam Pengantar bukunya yang berjudul "Applying Psychology to Criminal Justice", editor buku itu, David Carson, et.al, memulai dengan kalimat: "Few things should go together better than psychology and law. Both are concerned with human behaviour: analyzing it, predicting it, understanding it and, sometimes, controlling it. Lawyers may, in the absence of empirical research, have made assumptions about human behaviour; for example that people who know they are dying will tell the truth (an exception to the rule against hearsay evidence). Judges had to make decisions to settle the dispute before them. But now there is research which can inform the law".
Ada kemiripan objek antara ilmu hukum dan psikologi. Baik hukum maupun psikologi, keduanya menaruh minat terhadap perilaku manusia; menganalisis perilaku itu, memprediksinya, memahaminya dan, kadang-kadang mengendalikan perilaku tersebut.
Para praktisi hukum, dalam ketidakterlibatan mereka dalam riset empiris, telah membuat asumsi-asumsi tersendiri tentang perilaku manusia; sebagai contoh bahwa orang yang sekarat akan menyatakan sesuatu secara jujur bahwa sebagian hakim ada yang telah membuat putusan terlebih dahulu sebelum proses persidangan pengadilan dimulai.
Tetapi asumsi-asumsi yang tidak ilmiah itu, dewasa ini telah dapat diteliti secara ilmiah melalui kajian Psikologi Hukum. Itulah alasan utama saya, sehingga sekitar 15 tahun silam, saya memasukkan Psikologi Hukum sebagai mata kuliah di Indonesia, sekaligus selama 15-tahunan mendalami puluhan buku terpenting tentang bidang yang terkait dengan kajian ini.
Pakar Psikologi Hukum yang paling terkenal adalah Lawrence S Wrightsman, dari University of Kansas. Di antara buku-buku paling populer karya Wrightsman: Psychology and the Legal-System (1988) yang saking larisnya sekarang sudah terbit edisi keenam; Judicial Decision Making, Is Psychology Relevant? (1999).
Setelah Wrightsman, juga tersohor sebagai pakar Psikologi Hukum, Curt R Bartol, Profesor Castleton State College, Vermont.
Hanya dengan memahami kajian Psikologi Hukum, kita dapat memahami banyak maksim hukum yang pernah dilontarkan para pakar, di antaranya: Thomas A Wartowski, American Lawyer: “To be effective, a law must have the support of the majority of people it impacts. To get that support, a law must be enforceable, fairly applied, understood, and consistent with society’s value.” (Agar dapat efektif, suatu hukum harus mempunyai dukungan dari mayoritas rakyat, dan untuk memperoleh dukungan itu, maka suatu hukum harus dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan ‘fair’, dipahami, dan konsisten dengan nilai-nilai komunitasnya).
Akhirnya Walter Savage Landor: Many laws as certainly make bad men, as bad men make many laws. (Banyak hukum yang secara pasti telah menghasilkan orang jahat, sama pastinya bahwa orang-orang jahat telah membuat banyak aturan hukum).


sikologi Hukum (psyco-legal)
http://www.negarahukum.com/wp-content/uploads/2011/12/James-Stewart-Anatomy-of-a-Murder-300x225.png
Pengenalan psikologi pertama kali sebagai ilmu pengetahuan yang otonom dan berdiri sendiri terjadi pada akhir abad ke- 19, yang pada waktu itu masih menjadi cabang ilmu pengetahuan filsafat dan psikologi juga sering menjadi sudut kajian sosiologi. Dalam perjalanan sejarah  yang singkat psikologi telah didefenisikan dalam berbagai cara, para ahli psikologi terdahulu mendefenisikan psikologi sebagai “studi kegiatan mental”.
Kata psikologi sering disebut ilmu jiwa, berasal dari bahasa Yunani psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dengan demikan psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari kejiwaan atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, atau sebab tingkah laku manusia  yang dilatarbelakangi oleh kondisi jiwa seseorang atau secara singkat dapat diartikan sebagai studi mengenai proses perilaku dan proses mental.
Menurut Rita Atkinson (1983: 19) Pendefenisian psikologi juga dilatarbelakangi oleh perkembangan sejarah dalam aliran psikologi, hal ini dapat dilihat melalui perubahan defenisi mengenai psikologi seperti berikut ini:
  1. Wilhelm Wunt (1892), psikologi bertugas menyelidiki apa yang kita sebut  pengalaman dalam sensasi dan perasaan kita sendiri, pikiran serta kehendak kita yang bertolak belakang dengan setiap obyek pengalaman luar yang melahirkan pokok permasalahan ilmu alam.
  2. William James (1980), psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental, termasuk fenomena dan kondisi-kondisinya. Fenomena adalah apa yang kita sebut sebagai perasaan, keinginan, kognisi, berpikir logis, keputusan-keputusan dan sebagainya.
  3. James Angell (1910), psikologi adalah semua kesadaran di mana saja, normal atau abnormal, manusia atau binatang yang dicoba untuk dijelaskan pokok permasalahannya.
  4. John B Watson (1919), psikologi merupakan bagian dari ilmu alam yang menekankan perilaku manusia, perbuatan dan ucapannya baik yang dipelajari maupun yang tidak sebagai pokok masalah.
  5. Kurt Koffka (1925), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku makhluk hidup dalam hubungan mereka  dengan dunia luar.
  6. Arthur Gates (1931), psikologi adalah salah satu bidang yang mencoba menunjukan, menerangkan, dan menggolongkan berbagai macam kegiatan yang sanggup dilakukan oleh binatang, manusia, atau lainnya.
  7. Norman Munn (1951), psikologi sebagai “ilmu mengenai perilaku” tetapi hal yang menarik, pengertian perilaku yang telah mengalami perkembangan, sehingga sekarang ikut menangani hal yang pada masa lampau disebut pengalaman.
  8. Kennet Clark dan George Milter (1970), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku, lingkupnya mencakup berbagai proses perilaku yang dapat diamati, seperti gerak tangan, cara berbicara, dan perubahan kejiwaan dan proses yang hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan mimpi.
  9. Richard Mayer (1981), psikologi merupakan analisis ilmiah mengenai proses mental  dan struktur daya ingat untuk memahami perilaku manusia.
Berdasarkan defenisi di atas, mempelajari psikologi berarti mengenal manusia dalam arti memahami, menguraikan dan memaparkan manusia sebagai individu dan sosial serta berbagai macam tingkah laku dan kepribadian manusia, juga seluruh aspek-aspeknya. Psyche (jiwa) adalah kekuatan hidup atau sebabnya hidup (anima).
Dari pengertian-pengertian psikologi yang telah disebutkan di atas, penulis berpendapat antara psikologi dan hukum dari sudut kajiannya  adalah  keduanya mengkaji gejala-gejala sosial, hal ini jika menilik kembali pengertian hukum secara empirik. Keduanya memfokuskan diri pada perilaku manusia, yang berusaha menyelesaikan masalah serta memperbaiki kondisi manusia. Craig Haney menyatakan  “bahwa psikologi bersifat deskriptif dan hukum bersifat perskriptif” (Haney: 1981 dalam Kapardis: 1999). Artinya psikologi menjelaskan tentang bagaimana orang berperilaku secara aktual, hukum menjelaskan bagaimana orang seharusnya berperilaku, tujuan utama ilmu psikologi adalah memberikan penjelasan yang lengkap dan akurat mengenai perilaku manusia, tujuan utama hukum adalah mengatur perilaku manusia. Dalam arti yang agak lebih idealistis, ilmu psikologi  menurut Constanzo (2006: 12) “terutama tertarik untuk menemukan kebenaran sedangkan sistem hukum terutama tertarik untuk memberikan keadilan”.
Berdasarkan keterkaitan kedua terminologi tersebut maka psikologi hukum dapat diartikan sebagai studi psikologi yang mempelajari ketidakmampuan  individu untuk melakukan penyesuaian terhadap norma hukum yang berlaku atau tidak berhasilnya mengatasi tekanan-tekanan yang dideritamya. Dalam kondisi yang demikianlah maka diperlukan studi psikologi terhadap hukum yang disebut psikologi hukum. Menurut  Soerjono Soekanto (1983:2) “psikologi hukum adalah studi hukum yang akan berusaha menyoroti hukum sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan  kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut”.
Di bawah ini dikutip beberapa defenisi psikologi hukum yang terdapat dalam berbagai literatur, yaitu:http://www.negarahukum.com/wp-content/uploads/2011/12/courtroom-small-264x300.gif
  1. Sebagai suatu pencerminan dari perilaku manusia (human behaviour). (Sorjono Soekanto,1989; R. Ridwan Syahrai,1999;  Bernard Arief  Sidharta, 2000; Soedjono Dirdjosuwiryo,2001; Sudarsono, 2001; Soeroso, 2004; Munir Fuady, 2006).
  2. 2.      Sebagai bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan dalam hukum meliputi Psycho-Legal Issue, pendampingan di pengadilan dan prilaku kriminal (The Commite On Etnical Guidelines For Forensic Psychology dalam Rahayu: 2003, hal. 3)
  3. Meliputi legal issue; penelitian dalam kesaksian, penelitian dari pengambilan keputusan yuri dan hakim, begitu pula di dalam kriminologi untuk menentukan sebab-sebab, langkah-langkah preventif, kurasif, perilaku kriminal dan pendampingan di pengadilan yang dilakukan oleh para ahli di dalam pengadilan (Blackburn: 1996)
  4. Meliputi aspek perilaku manusia dalam proses hukum, seperti ingatan saksi, pengambilan keputusan hukum oleh yuri, dan pelaku kriminal (Curt  R. Bartol:1983)
  5. Suatu pendekatan yang menekankan determinan-determinan manusia dari hukum, termasuk dari perundang-undangan dan putusan hakim, yang lebih menekankan individu sebagai unit analisisnya. Perhatian utama dari kajian psikologi hukum yaitu lebih tertuju pada proses penegakan hukum (saksi mata, tersangka/terdakwa, korban kriminal, jaksa penuntut umum, pengacara hakim dan terpidana) (Rahayu: 2003)
  6. Psikologi hukum adalah suatu kajian tentang sifat, fungsi, dan perilaku hukum dari pengalaman mental dari individu dalam hubungannya dengan berbagai fenomena hukum (pengertian ini didasarkan pada defenisi psikologi sosial oleh Edward E. Jones: 1996)
  7. Cabang metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena kebutuhan dan tuntutan akan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama sekali bagi praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan  di muka sidang pengadilan. (Ishaq: 2008, 241).
  8. Cabang ilmu hukum (pengembanan hukum teoritis/sistem hukum eksternal; sudut pandang hukum sebagai pengamat) yang bertujuan untuk memahami hukum dari sudut pandang psikologi dengan menggunakan pendekatan/sudut pandang psikoanalisis, psikologi humanistik dan psikologi perilaku (empirik). (Meuwissen dalam Sidharta: 2008)
  9. psychology and law is a relatively young field of scholarhip. Connceptualized broadly, the field encompases diverse approaches to psychology. Each of major psychologycal subdivisions has contributed to research on legal isues: cognitive (e.g. eyewitnes testimony), developmental (e.g., children testimony), social (e.g., jury behavior), clinical (e.g, assesment of competence), biological (e.g, the polygraph), and industrial organizational psychology (e.g,  sexual harassment in the workplace). (Encyclopedia of Psychology & Law: 2008)
  10.  legal psychology involves empirical, psychology research of the law, legal institution, and people who come into contant with the law. Legal psychologist typically take basic social and cogniive theories and principles and apply them to issues in the legal system such as eyewitness memory, jury decision-making, investigations, and interviewing. The term ” legal psychology” has only recently come into usage, primarily as a way to differentiate the exprimental focos of legal psycholgy from the clinically-oriented forensic psychology. (Wikipedia, The Free Encyclopedia)



Tidak ada komentar: