BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan
suatu tata tertib yang secara langsung maupun tidak langsung ada disekitar kita
dan harus dipatuhi keberadaannya. Negara Indonesia yang notabennya sebagai
Negara hukum harus mampu menjunjung tinggi masyarakatnya agar sadar akan hukum
yang berlaku dilingkungan masyarakat., wilayah maupun Negara.
Tidak setiap
masyarakat mengetahui tentang hukum dan bagaimana sejarah, polotik, filsafat, dan psikilogi hukum di negara
ini. Untuk itu kami akan mencoba menjabarkan tentang sejarah, politik, filsafat, dan psikologi hukum
di Indonesia agar kiranya dapat menjadi individu-individu yang patuh dan taat
kepada hukum. Pengelompokkan hukum di Indonesia yang begitu padat dan tak
jarang bagi kita merasa malas dalam mempelajari dan membaca, kini melalui
makalah yang sederhana ini kami harapkan dapat menghilangkan kemalasan itu dan
dapat bermanfaat bagi kita semua….Amiiin.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah hukum di Indonesia ?
2. Bagaimana Politik hukum di Indonesia ?
3. Apa filsafat Hukum itu ?
4. Bagaimana Psikologi hukum itu ?
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Hukum
1. Periode
Kolonialisme
Periode
kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal
Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a. Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang
diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi
krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang
otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC,
sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
b. Periode liberal Belanda
Pada
1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR
1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya
melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan
untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari
kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam
(Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap
eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses
peradilan yang bebas.
Otokratisme
administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak
lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik
liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi,
karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang
berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan
Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal
politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk
pendidikan lanjutan hukum;
2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk
kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari
segi efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal
profesionalitas;
5)
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian
hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan colonial.
Pembaruan hukum di Hindia Belanda
mewariskan:
1)
Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga
peradilan;
2)
Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing,
Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak
banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan
dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak
istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan
perundang-undangan yang terjadi:
1)
Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang
setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;
2)
Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana
yang berlaku. Di bidang peradilan,
Dan pembaharuan yang
dilakukan adalah:
1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan;
2) Unifikasi kejaksaan;
3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan
pedesaan/lapangan;
4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum;
5)
Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum
dengan orang-orang pribumi.
2. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a. Periode Revolusi Fisik
Pembaruan
hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang
peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi:
1) Meneruskan unfikasi
badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan;
2)
Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja,
kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian
Mahkamah Islam Tinggi.
b. Periode Demokrasi Liberal
UUDS
1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan
hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk
mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan
mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi
dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi
peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau
penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No.
9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan
Kekuasaan Pengadilan.
3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a. Periode Demokrasi
Terpimpin
Langkah-langkah
pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam
dinamika hukum dan peradilan adalah:
1)
Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan
pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
2)
Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti
pengayoman;
3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk
melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU
No.19/1964 dan UU No.13/1965;
4)
Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai
rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih
situasional dan kontekstual.
b. Periode Orde Baru
Perkembangan
dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh
penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang
perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria,
dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal
asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing,
UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1)
Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem
pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum;
Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum
Nasional.
4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak
pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat
kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara,
beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan
3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit
lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar
pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan
perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku
semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini
ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan
permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung
meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran
HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat
untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara
mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum
tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
Hukum
di Indonesia itu sendiri di bagi menjadi beberapa hokum yaitu hukum perdata,
hukum publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum
internasional. Dan berikut merupakan beberapa pengertian dari macam-macam hokum
di atas :
1. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur
hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran
tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Dan salah
satu contoh dari hokum perdata adalah masalah keluarga. Macam-macam dari hukum
perdata adalah hukum benda , hukum keluarga , hukum waris dan hokum lainnya.
2. Hukum publik adalah hukum yang mengatur
hubungan antara subjek hukum dengan pemerintah.atau Hukum publik adalah hukum
yang mengatur kepentingan masyarakat
3. Hukum pidana adalah Hukum yang mengatur
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat
diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi
unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana
4. Hukum acara merupakan ketentuan yang
mengatur bagaimana cara agar hukum (materil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan
kepada subyek yang memenuhi perbuatannya .
5.
Hukum internasional adalah Hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antar
negara satu dengan negara lain secara internasional, yang mengandung dua
pengertian dalam arti sempit dan luas.
B. Politik Hukum
Dibawah ini ada
beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa ahli :
1.
Satjipto
Rahardjo
Politik Hukum adalah
aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang
hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
2.
Padmo
Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus
Politik Hukum adalah
kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk
menghukumkan sesuatu (menjadikan sesuatu sebagai Hukum). Kebijaksanaan tersebut
dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya.
3.
L.
J. Van Apeldorn
Politik hukum sebagai
politik perundang-undangan. Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan
isi peraturan perundang-undangan, ( pengertian politik hukum terbatas hanya
pada hukum tertulis saja.
4.
Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
Politik Hukum sebagai
kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai.
5.
Moh.
Mahfud MD.
Politik Hukum (
dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :
a)
Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini
adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak
sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b) Pelaksanaan
ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya
Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland.
Mengutarakan
posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu. Politik hukum
merupakan salah satu cabang atau bagian dari ilmu hukum, menurutnya ilmu
hukum terbagi atas : Dogmatika Hukum, Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum, Politik
Hukum, Ilmu Hukum Umum.
Sedangkan keseluruhan
hal diatas diterjemahkan oleh Soeharjo sebagai berikut :
1. Dogmatika Hukum
Memberikan penjelasan
mengenai isi (in houd) hukum , makna ketentuan-ketentuan hukum, dan menyusunnya
sesuai dengan asas-asas dalam suatu sistem hukum.
2. Sejarah Hukum
Mempelajari susunan
hukum yang lama yang mempunyai pengaruh dan peranan terhadap pembentukan hukum
sekarang. Sejarah Hukum mempunyai arti penting apabila kita ingin memperoleh
pemahaman yang baik tentang hukum yang berlaku sekarang .
3. Ilmu Perbandingan Hukum
Mengadakan perbandingan
hukum yang berlaku diberbagai negara , meneliti kesamaan, dan perbedaanya.
4. Politik Hukum
Politik Hukum bertugas
untuk meneliti perubahan – perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum
yang ada agar memenuhi kebutuhan – kebutuhan baru didalam kehidupan masyarakat.
5. Ilmu Hukum Umum
Tidak mempelajari suatu
tertib hukum tertentu, tetapi melihat hukum itu sebagai suatu hal sendiri,
lepas dari kekhususan yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Ilmu Hukum umum
berusaha untuk menentukan dasar- dasar pengertian perihal hukum,
kewajiban hukum, person atau orang yang mampu bertindak dalam hukum, objek
hukum dan hubungan hukum. Tanpa pengertian dasar ini tidak mungkin ada hukum
dan ilmu hukum.
Berdasarkan
atas posisi ilmu politik hukum dalam dunia ilmu pengetahuan seperti yang telah
diuraikan, maka objek ilmu politik hukum adalah “ HUKUM “. Hukum yang berlaku
sekarang, yang berlaku diwaktu yang lalu, maupun yang seharusnya berlaku
diwaktu yang akan datang. Yang dipakai untuk mendekati / mempelajari objek
politik hukum adalah praktis ilmiah bukan teoritis ilmiah.
1. Ruang Gerak
Politik Hukum Suatu Negara
Adanya
Politik Hukum menunjukkan eksistensi hukum negara tertentu , bergitu pula
sebaliknya, eksistensi hukum menunjukkan eksistensi Politik Hukum dari negara
tertentu.
2. Poltik Hukum
Kekuasaan Dan Warga Masyarakat
Politik
Hukum mengejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama para warga masyarakat .
Di lain pihak Politik Hukum juga erat bahkan hampir menyatu dengan penggunaan
kekuasaaan didalam kenyataan. Untuk mengatur negara, bangsa dan rakyat.
Politik Hukum terwujud dalm seluruh jenis peraturan perundang-undangan negara.
3. Lembaga-lembaga
Yang Berwenang
Montesquieu
mengutarakan TRIAS POLITICA tentang kekuasaan negara yang terdiri atas 3
( tiga ) pusat kekuasaan dalam lembaga negara, antara lain : eksekutif,
legislatif, yudikatif.
Yang
berfungsi sebagai centra-centra kekuasaaan negara yang masing-masing harus dipisahkan.
Dalam kaitanya dengan Poliik Hukum yang tidak lain tidak bukan adalah
penyusunan tertib hukum negara. Maka ketiga lembaga tersebut yang
4. Kerangka
Landasan Politik Hukum Di Indonesia
Negara
RI lahir dan berdiri tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan yang
dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 tersebut merupakan detik penjebolan tertib hukum
kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional ( Tatanan Hukum
Nasional ).
5. Munculnya
Politik Hukum Di Indonesia
Muncul
pada tanggal 17 Agustus 1945, yaitu saat dikumandangkannya Proklamasi, bukan
tanggal 18 Agustus 1945 saat mulai berlakunya konstitusi / hukum dasar negara
RI.
6. Sifat Politik
Hukum
Menurut
Bagi Manan , seperti yang dikutip oleh Kotan Y. Stefanus dalam bukunya yang
berjudul “ Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara ” bahwa Politik Hukum
terdiri dari
1. Politik Hukum yang bersifat tetap (
permanen )
Berkaitan dengan sikap
hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakkan
hukum.
2. Politik Hukum yang bersifat
temporer.
Dimaksudkan sebagai
kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan
.
C.
Filsafat Hukum
Manusia memiliki sifat
ingin tahu terhadap segala sesuatu, sesuatu yang diketahui manusia tersebut
disebut pengetahuan. Pengetahuan dibedakan menjadi 4 (empat) yaitu :
- pengetahuan indera,
- pengetahuan ilmiah,
- pengetahuan filsafat,
- pengetahuan agama.
Istilah
“pengetahuan” (knowledge) tidak sama dengan “ilmu pengetahuan” (science).
Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya atau dapat juga
berasal dari orang lain sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang memiliki obyek,
metode, dan sistematika tertentu serta ilmu juga bersifat universal.
Adanya
perkembangan ilmu yang banyak dan maju tidak berarti semua pertanyaan dapat
dijawab oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab tersebut
menjadi porsi pekerjaan filsafat. Harry Hamersma (1990:13) menyatakan filsafat
itu datang sebelum dan sesudah ilmu mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut
Harry Hamersma (1990:9) menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh
ilmu (yang khusus) itu mungkin juga tidak akan pernah terjawab oleh
filsafat. Pernyataan itu mendapat dukungan dari Magnis-Suseno (1992:20)
menegaskan jawaban –jawaban filsafat itu memang tidak pernah abadi. Kerena itu
filsafat tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah hal ini disebabkan
masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan karena
manusia di satu pihak tetap manusia, tetapi di lain pihak berkembang dan
berubah, masalah-masalah baru filsafat adalah masalah –masalah lama manusia
(Magnis-Suseno,1992: 20).
1. Pembidangan Filsafat Dan Letak Filsafat
Hukum
Terdapat
kecenderungan bahwa bidang-bidang filsafat itu semakin bertambah, sekalipun
bidang-bidang telaah yang dimaksud belum memiliki kerangka analisis yang
lengkap, sehingga belum dalam disebut sebagai cabang. Dalam demikian
bidang-bidang demikian lebih tepat disebut sebagai masalah-masalah filsafat.
Dari pembagian cabang filsafat dapat dilihat dari pembagian yang dilakukan oleh
Kattsoff yang membagi menjadi 13 cabang filsafat.
Seperti
kita ketahui bahwa hukum berkaitan erat dengan norma-norma untuk mengatur
perilaku manusia.Maka dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari
cabang filsafat manusia, yang disebut etika atau filsafat tingkah laku.
2. Pengertian Filsafat Hukum
Karena
filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Maka obyek
filsafat hukum adalah hukum. Definisi tentang hukum itu sendiri itu amat
luas oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1986:2-4) keluasan arti
hukum tersebut disebutkan dengan meyebutkan sembilan arti hukum.Dengan demikian
jika kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskan
suatu kalimat yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum itu.Hukum itu juga
dipandang sebagai norma yang mengandung nilai-nilai tertentu.Jika kita batasi
hukum dalam pengertian sebagai norma. Norma adalah pedoman manusia dalam
bertingkah laku. Norma hukum diperlukan untuk melengkapi norma lain yang
sudah ada sebab perlindungan yang diberikan norma hukum dikatakan lebih
memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain karena pelaksanaan norma
hukum tersebut dapat dipaksakan.
3. Manfaat Mempelajari Filsafat Hukum
Dari
tiga sifat yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain manfaat filsafat hukum
dapat dilihat. Filsafat memiliki karakteristik menyeluruh/Holistik dengan cara
itu setiap orang dianggap untuk menghargai pemikiran, pendapat, dan pendirian
orang lain. Disamping itu juga memacu untuk berpikir kritis dan radikal atas
sikap atau pendapat orang lain. Sehingga siketahui bahwa manfaat mempelajari
filsafat hukum adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan
arah, dan menuntun pada jalan baru.
4. Pengertian Filsafat, Perbedaan Filsafat
Dengan Ilmu Dan Sistematika Filsafat
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat merupakan cabang filsafat yaitu
filsafat tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikatn objek hukum. Dengan
kata lain bahwa filsafat itu merupakan ilmu yang mempelajari sejara filosofis,
yang mana objek dari filsafat hukum adalah hukum dan objek yang akan dikaji
secara mendalam sampai ke akar-akarny. Dalam ilmu filsafat sangat erat
kaitannya dengan ilmu hukum yakni ilmu melihat gejala-gejala hukum sebagaimana
yang dapat kita amati dari perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan masyarakat. Dengan begitu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala
hukum tersebut tidak luput dari ilmu hukum. Norma (kaidah) hukum tidak termasuk
dunia nyata (sein) tetapi pada dunia lain (solen dan mogeni) sehingga norma
hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum. Seperti kita ketahuin objek dari
filsafat hukum adalah hukum maka masalah yang perlu kita bahas baik dari ilmu
filsafat maupun hukum adalah hubungan hukum dan kekuasaan, hukum dengan hukum
kodrat, dan hukum dengan hukum positif.
5. Perbedaan Filsafat Dengan Ilmu
Ilmu
adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat
diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas
keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi. Berbeda
dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu
putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang
mengacu ke obyek [atau alam obyek] yang sama dan saling berkaitan secara logis.
Karena itu, koherensi sistematik adalah hakikat ilmu. Prinsip-prinsip obyek dan
hubungan-hubungannya yang tercermin dalam kaitan-kaiatan logis yang dapat dilihat
dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip logis yang dapat dilihat dengan jelas.
Bahwa prinsip-prinsip metafisis obyek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita
dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita
yang tidak dapat dicarikan oleh visi ruhani terhadap realitas tetapi oleh
berpikir
Persamaannya,
1.
Keduanya
mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya
sampai ke-akar-akarnya
2.
Memberikan
pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian
yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya
3.
Hendak
memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan
4.
Mempunyai
metode dan sistem
5.
Hendak
memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia
[obyektivitas].
Perbedaannya :
1.
Obyek
materil (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuau
yang ada (realita) sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu
bersifat khusus dan empiris.
2.
Filsafat
dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis,
dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial
and error.
3.
Filsafat
lebih kepada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat
diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi
tahu
4.
Filsafat
memberikan penjelasan yang terakhri, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar
[primary cause] sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu
mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder [secondary cause]
6. Sistematika Filsafat
Telah
kita ketahui bahwa filsafat adalah sebagai induk yang mencakup semua ilmu
khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus itu satu
demi satu memisahkan diri dari induknya, filsafat. Mula-mula matematika dan
fisika melepaskan diri, kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu lain. Adapun psikologi
baru pada akhir-akhir ini melepaskan diri dari filsafat, bahkan di beberapa
insitut, psikologi masih terpaut dengan filsafat. Setelah filsafat ditinggalkan
oleh ilmu-ilmu khusus, ternyata ia tidak mati, tetapi hidup dengan corak baru
sebagai ‘ilmu istimewa’ yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh
ilmu-ilmu khusus.
D.
Psikologi Hukum
Pengenalan
psikologi pertama kali sebagai ilmu pengetahuan yang otonom dan berdiri sendiri
terjadi pada akhir abad ke- 19, yang pada waktu itu masih menjadi cabang ilmu
pengetahuan filsafat dan psikologi juga sering menjadi sudut kajian sosiologi.
Dalam perjalanan sejarah yang singkat psikologi telah didefenisikan dalam
berbagai cara, para ahli psikologi terdahulu mendefenisikan psikologi sebagai
“studi kegiatan mental”.
Kata
psikologi sering disebut ilmu jiwa, berasal dari bahasa Yunani psyche artinya
jiwa dan logos berarti ilmu. Dengan demikan psikologi dapat diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari kejiwaan atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, atau
sebab tingkah laku manusia yang dilatarbelakangi oleh kondisi jiwa
seseorang atau secara singkat dapat diartikan sebagai studi mengenai proses
perilaku dan proses mental.
Menurut
Rita Atkinson (1983: 19) Pendefenisian psikologi juga dilatarbelakangi oleh
perkembangan sejarah dalam aliran psikologi, hal ini dapat dilihat melalui
perubahan defenisi mengenai psikologi seperti berikut ini:
Wilhelm
Wunt (1892), psikologi bertugas menyelidiki apa yang kita sebut
pengalaman dalam sensasi dan perasaan kita sendiri, pikiran serta kehendak kita
yang bertolak belakang dengan setiap obyek pengalaman luar yang melahirkan
pokok permasalahan ilmu alam.
William
James (1980), psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental, termasuk
fenomena dan kondisi-kondisinya. Fenomena adalah apa yang kita sebut sebagai
perasaan, keinginan, kognisi, berpikir logis, keputusan-keputusan dan
sebagainya.
James
Angell (1910), psikologi adalah semua kesadaran di mana saja, normal atau
abnormal, manusia atau binatang yang dicoba untuk dijelaskan pokok
permasalahannya.
John
B Watson (1919), psikologi merupakan bagian dari ilmu alam yang menekankan
perilaku manusia, perbuatan dan ucapannya baik yang dipelajari maupun yang
tidak sebagai pokok masalah.
Kurt
Koffka (1925), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku makhluk hidup
dalam hubungan mereka dengan dunia luar.
Arthur
Gates (1931), psikologi adalah salah satu bidang yang mencoba menunjukan,
menerangkan, dan menggolongkan berbagai macam kegiatan yang sanggup dilakukan
oleh binatang, manusia, atau lainnya.
Norman
Munn (1951), psikologi sebagai “ilmu mengenai perilaku” tetapi hal yang
menarik, pengertian perilaku yang telah mengalami perkembangan, sehingga
sekarang ikut menangani hal yang pada masa lampau disebut pengalaman.
Kennet
Clark dan George Milter (1970), psikologi adalah studi ilmiah mengenai
perilaku, lingkupnya mencakup berbagai proses perilaku yang dapat diamati,
seperti gerak tangan, cara berbicara, dan perubahan kejiwaan dan proses yang
hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan mimpi.
Richard
Mayer (1981), psikologi merupakan analisis ilmiah mengenai proses mental
dan struktur daya ingat untuk memahami perilaku manusia.
Berdasarkan
defenisi di atas, mempelajari psikologi berarti mengenal manusia dalam arti
memahami, menguraikan dan memaparkan manusia sebagai individu dan sosial serta
berbagai macam tingkah laku dan kepribadian manusia, juga seluruh
aspek-aspeknya. Psyche (jiwa) adalah kekuatan hidup atau sebabnya hidup
(anima).
Dari
pengertian-pengertian psikologi yang telah disebutkan di atas, penulis
berpendapat antara psikologi dan hukum dari sudut kajiannya adalah
keduanya mengkaji gejala-gejala sosial, hal ini jika menilik kembali pengertian
hukum secara empirik. Keduanya memfokuskan diri pada perilaku manusia, yang
berusaha menyelesaikan masalah serta memperbaiki kondisi manusia. Craig Haney
menyatakan “bahwa psikologi bersifat deskriptif dan hukum bersifat
perskriptif” (Haney: 1981 dalam Kapardis: 1999). Artinya psikologi menjelaskan
tentang bagaimana orang berperilaku secara aktual, hukum menjelaskan bagaimana
orang seharusnya berperilaku, tujuan utama ilmu psikologi adalah memberikan
penjelasan yang lengkap dan akurat mengenai perilaku manusia, tujuan utama
hukum adalah mengatur perilaku manusia. Dalam arti yang agak lebih idealistis,
ilmu psikologi menurut Constanzo (2006: 12) “terutama tertarik untuk
menemukan kebenaran sedangkan sistem hukum terutama tertarik untuk memberikan
keadilan”.
Berdasarkan
keterkaitan kedua terminologi tersebut maka psikologi hukum dapat diartikan
sebagai studi psikologi yang mempelajari ketidakmampuan individu untuk
melakukan penyesuaian terhadap norma hukum yang berlaku atau tidak berhasilnya
mengatasi tekanan-tekanan yang dideritamya. Dalam kondisi yang demikianlah maka
diperlukan studi psikologi terhadap hukum yang disebut psikologi hukum.
Menurut Soerjono Soekanto (1983:2) “psikologi hukum adalah studi hukum
yang akan berusaha menyoroti hukum sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala
kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap
tindak tersebut”.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Sejarah
Hukum
a. Periode
Kolonialisme
Periode
kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal
Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
b. Periode liberal Belanda
Pada
1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR
1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan
utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri
jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum
pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan
dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap
eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses
peradilan yang bebas.
c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan
Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal
politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk
pendidikan lanjutan hukum;
2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk
kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari
segi efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal
profesionalitas;
5)
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian
hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan colonial.
2. Pilitik
Hukum
1. Satjipto Rahardjo
Politik
Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara
– cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
2. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y.
Stefanus
Politik
Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan
criteria untuk menghukumkan sesuatu (menjadikan sesuatu sebagai Hukum).
Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan
penerapannya.
3. L. J. Van Apeldorn
Politik
hukum sebagai politik perundang-undangan. Politik Hukum berarti menetapkan
tujuan dan isi peraturan perundang-undangan, ( pengertian politik hukum
terbatas hanya pada hukum tertulis saja.
4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto
Politik
Hukum sebagai kegiatan-kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai.
5. Moh. Mahfud MD.
Politik
Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :
a)
Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini
adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak
sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b) Pelaksanaan
ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya
Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland.
3.
Filsafat
Hukum
Manusia
memiliki sifat ingin tahu terhadap segala sesuatu, sesuatu yang diketahui
manusia tersebut disebut pengetahuan. Pengetahuan dibedakan menjadi 4
(empat) yaitu :
a) pengetahuan indera,
b) pengetahuan ilmiah,
c) pengetahuan filsafat,
d) pengetahuan agama.
Istilah “pengetahuan” (knowledge) tidak sama dengan “ilmu
pengetahuan” (cience). Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari
pengalamannya atau dapat juga berasal dari orang lain sedangkan ilmu adalah
pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan sistematika tertentu serta ilmu
juga bersifat universal.
Adanya perkembangan ilmu yang banyak dan maju tidak
berarti semua pertanyaan dapat dijawab oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan
yang tidak dapat dijawab tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat. Harry
Hamersma (1990:13) menyatakan filsafat itu datang sebelum dan sesudah ilmu
mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut Harry Hamersma (1990:9) menyatakan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ilmu (yang khusus) itu mungkin juga
tidak akan pernah terjawab oleh filsafat. Pernyataan itu mendapat dukungan
dari Magnis-Suseno (1992:20) menegaskan jawaban –jawaban filsafat itu memang
tidak pernah abadi. Kerena itu filsafat tidak pernah sampai pada akhir sebuah
masalah hal ini disebabkan masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia
sebagai manusia, dan karena manusia di satu pihak tetap manusia, tetapi di lain
pihak berkembang dan berubah, masalah-masalah baru filsafat adalah masalah
–masalah lama manusia (Magnis-Suseno,1992: 20).
4.
Psikikologi Hukum
Menurut Rita Atkinson (1983: 19) Pendefenisian
psikologi juga dilatarbelakangi oleh perkembangan sejarah dalam aliran
psikologi, hal ini dapat dilihat melalui perubahan defenisi mengenai psikologi
seperti berikut ini:
Wilhelm Wunt (1892), psikologi bertugas menyelidiki
apa yang kita sebut pengalaman dalam sensasi dan perasaan kita sendiri,
pikiran serta kehendak kita yang bertolak belakang dengan setiap obyek
pengalaman luar yang melahirkan pokok permasalahan ilmu alam.
William James (1980), psikologi adalah ilmu mengenai
kehidupan mental, termasuk fenomena dan kondisi-kondisinya. Fenomena adalah apa
yang kita sebut sebagai perasaan, keinginan, kognisi, berpikir logis,
keputusan-keputusan dan sebagainya.
James Angell (1910), psikologi adalah semua
kesadaran di mana saja, normal atau abnormal, manusia atau binatang yang dicoba
untuk dijelaskan pokok permasalahannya.
John B Watson (1919), psikologi merupakan bagian
dari ilmu alam yang menekankan perilaku manusia, perbuatan dan ucapannya baik
yang dipelajari maupun yang tidak sebagai pokok masalah.
Kurt Koffka (1925), psikologi adalah studi ilmiah
mengenai perilaku makhluk hidup dalam hubungan mereka dengan dunia luar.
Arthur Gates (1931), psikologi adalah salah satu
bidang yang mencoba menunjukan, menerangkan, dan menggolongkan berbagai macam
kegiatan yang sanggup dilakukan oleh binatang, manusia, atau lainnya.
Norman Munn (1951), psikologi sebagai “ilmu mengenai
perilaku” tetapi hal yang menarik, pengertian perilaku yang telah mengalami
perkembangan, sehingga sekarang ikut menangani hal yang pada masa lampau
disebut pengalaman.
Kennet Clark dan George Milter (1970), psikologi
adalah studi ilmiah mengenai perilaku, lingkupnya mencakup berbagai proses
perilaku yang dapat diamati, seperti gerak tangan, cara berbicara, dan
perubahan kejiwaan dan proses yang hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan
mimpi.
Richard Mayer (1981), psikologi merupakan analisis
ilmiah mengenai proses mental dan struktur daya ingat untuk memahami
perilaku manusia
DAFTAR PUSTAKA
Ø Prof. DR. Rahardjo, Satjipto, S.H, Ilmu
Hukum. Bandung, 1986
Ø http/balianzahap.wordpress.com/makalah-hukum/apa-politik-sejarah-filsafat-psikologi-hukum-itu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar