Kotak Saran

tombol masukan dan saran

Jumat, 20 Februari 2015

Makalah Fiqh Munakahat I: Akibat Hukum Perkawinan



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Perkawinan adalah merupakan sunnah Rasulullah s.a.w. dan digalakkan di dalam Islam serta dituntut oleh hukum syarak, sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. yang maksudnya : "Nikah itu adalah sunnahku, maka sesiapa yang benci sunnahku maka sesungguhnya ia bukan dari golonganku ". ( Riwayat Ibnu Majah ) 
Pernikahan mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum yang harus dipenuhi. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Akibat pernikahan baik terhadap mahram, nasab, maupun terhadap harta bersama dan kewarisan, sudah merupakan persoalan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itulah penulis akan mencoba membahas permasalahan-permasalahan diatas agar dapat ditemukan bagaimana solusinya.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakan di atas, penulis mempunyai beberapa permasalahan yang akan di bahas sebagai berikut :
1.    Apa akibat hukum perkawinan terhadap mahram?
2.    Apa akibat hukum perkawinan terhadap nasab?
3.    Apa akibat hukum perkawinan terhadap harta bersama dan kewarisan?
C.  Tujuan Penulisan
1.    Mahasiwa/i mampu memahami dan menjelaskan apa akibat hukum perkawinan terhadap mahram.
2.    Mahaasiswa/i dapat memahami dan menjelaskan apa akibat hukum perkawinan terhadap nasab.
3.    Mahasiswa/i dapat memahami dan menjelaskan apa akibat hukum perkawinan terhadap harta bersama dan harta kewarisan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Akibat Hukum Perkawinan Terhadap Mahram
Dalam ajaran Islam ada ketentuan hukum bahwa tidak setiap pasang laki-laki dan perempuan boleh dan syah melangsungkan pernikahan. Banyak diantara pasangan laki-laki dan perempuan karena sebab-sebab tertentu mereka haram menjalin akad pernikahan. Laki-laki yang tidak boleh menikah dengan perempuan tertentu disebut mahran perempuan. Sebaliknya perempuan yang tidak boleh menikah dengan laki-laki tertentu disebut mahram laki-laki. Jadi laki-laki maupun perempuan yang haram dinikahi disebut mahram.
Istilah mahram adalah istilah yang terdapat di dalam bab fiqih nikah. Berasal dari kata haram yang artinya tidak boleh atau terlarang. Dari asal kata ini kemudian terbentuk istilah mahram, yang pengertiannya wanita atau laki-laki yang haram untuk dinikahi. Contoh hubungan mahram adalah seorang ibu yang menjadi mahram buat anaknya. Tidak boleh atau tidak mungkin terjadi hubungan pernikahan antara ibu dengan anak. Demikian juga seorang laki-laki menjadi mahram buat saudara wanitanya, dengan tidak boleh adanya pernikan sedarah.[1]
Contoh hubungan non muhrim adalah antara seorang laki-laki dengan saudara sepupunya yang wanita. Atau antara seorang laki-laki dengan anak pungutnya yang wanita. Meski anak itu telah dipeliharanya sejak bayi, namun secara nasab anak itu bukan anaknya sendiri tapi anak orang lain. Sehingga hubungan antara ayah angkat dengan anak angkatnya itu bukan mahram. Dan dimungkinkan terjadinya pernikahan antara mereka berdua.
Mirip dengan mahram, kita juga sering mendengar istilah muhrim, yang asal katanya sama-sama dari kata haram. Namun makna muhrim adalah orang yang sedang melakukan ibadah ihram, di mana baginya diharamkan untuk memakai parfum, mencabut rambut, membunuh bintangan atau berburu dan perbuatan lain. Sedangkan istilah muabbad bermakna abadi, berkesinambungan, terus-terusan, un-limtedatau selamanya. Dan makna ghairu muabbad adalah lawannya, yaitu untuk sementara waktu, temporal, limited dan terbatas waktunya. Sewaktu-waktu bisa berubah keadaannya.
Maka bila kedua istilah itu kita padukan menjadi mahram muabbad, artinya adalah hubungan kemahraman yang bersifat abadi, seterusnya, tidak akan pernah berubah dan selama-lamanya. Sedangkan mahram ghairu muabbad adalah lawannya, yaitu hubungan kemahraman yang bersifat sementara, temporal,sewaktu-waktu bisa saja berubah dan tidak abadi. Para ulama telah menyusun daftar hubungan kemahraman yang muabbad dan yang ghairu muabbad sebagai berikut :
1.    Mahram Muabbad
Mereka yang termasuk mahram selama-lamanya bisa dibagi menjadi dua kategori. Pertama karena hubungan nasab . Kedua, karena hubungan persusuan.
a)    Mahram karena Nasab
1)   Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
2)   Anak wanita dan seteresnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
3)   Saudara kandung wanita.
4)   `Ammat/ Bibi
5)   Khaalaat/ Bibi .
6)   Banatul Akh/ Anak wanita dari saudara laki-laki.
7)   Banatul Ukht/ anak wnaita dari saudara wanita.
b)   Mahram karena Mushaharah
Sedangkan kemahraman yang bersifat sementara adalah kemahraman yang terjadi akibat adanya pernikahan. Atau sering juga disebut dengan mushaharah . Mereka adalah:
1)   Ibu dari isteri .
2)    Anak wanita dari isteri
3)   Isteri dari anak laki-laki
4)   Isteri dari ayah
c)    Mahram karena Penyusuan
1)   Ibu yang menyusui.
2)   Ibu dari wanita yang menyusui
3)   Ibu dari suami yang isterinya menyusuinya .
4)   Anak wanita dari ibu yang menyusui .
5)   Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui.
6)   Saudara wanita dari ibu yang menyusui.
2.    Mahram Ghoiru Muabbadah
Adapun yang dimaksud dengan mahram ghoiru mu’abbadah adalah wanita-wanita untuk sementara waktu saja, namun bila terjadi sesuatu seperti perceraian, kematian, habisnya masa iddah ataupun pindah agama, maka wanita itu boleh dinikahi. Mereka adalah:
a)    Wanita yang masih menjadi isteri orang lain tidak boleh dinikahi. Kecuali setelah cerai atau meninggal suaminya dan telah selesai masa iddahnya.
b)   Saudara ipar, atau saudara wanita dari isteri. Tidak boleh dinikahi sekaligus juga tidak boleh berkhalwat atau melihat sebagian auratnya. Kalau isteri sudah dicerai maka mereka halal untuk dinikahi. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari isteri.
c)    Isteri yang telah ditalak tiga, haram dinikahi kecuali isteri itu telah menikah lagi dengan laki-laki lain, kemudian dicerai dan telah habis masa iddahnya.
d)   Menikah dalam kesempatan dengan melakukan ibadah ihram. Bukan hanya dilarang menikah, tetapi juga haram menikahkan orang lain.
e)    Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka. Kecuali bila tidak mampu membayar mahar wanita merdeka karena miskin.
f)    Menikahi wanita pezina, kecuali yang telah bertaubat taubatan nashuha.
g)   Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah, kecuali setelah masuk Islam atau pindah memeluk agama yahudi atau nasrani.
Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri:
1.    Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
2.    Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
3.    Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum (ayat 2).
4.    Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
5.    Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
6.    Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.
7.    Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
8.    Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
B.  Akibat Hukum Perkawinan Terhadap Nasab
Pada umumnya nasab mempunyai dua tempat yang berbeda dalam memahaminya;pertama,nasab dari garis keturunan perempuan dan laki-laki.Kedua,nasab dari satu pernikahan hingga melahirkan keturunan. Nasab dari garis keturunan perempuan lazimnya ditempatkan ketika kita hendak menikahi seseorang perempuan yang biasa dikenal dengan peminangan,maka dalam hal ini dianjurkan untuk melihat harta,kecantikan.agama dan dari garis keturunan perempuan yang akan kita pinang tersebut.
Adapun yang kedua tadi nasab yang disebabkan karena adanya ikatan nikah,dalam hal yang semacam ini akan melahirkan tanggun jawab terhadap satu pihak dengan pihak yang lain dan bahkan terhadap anak sekaligus,dan begitu selanjutnya.Oleh sebab itu nasab mempunyai makna yaitu suatu legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian darah sebagai salah satu akibat pernikahan yang sah.Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya,sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu,dengan demikian anak tersebut berhak mendapatkan hak-hak sebagai akhibat adanya hubungan nasab seperti hak warisan,pernikahan,perwalian dan lain sebagainya.
Hak-hak sebagai adanya hubungan nasab juga akan mengakibatkan terhadap suatu larangan,yaitu larangan untuk menikahi,baik sifatnya selamanya dalam artian sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan perkaawinan,larangan dalam bentuk ini disebut dengan mahram muabbad.ataupun bersifat sementara dalam artian larangan itu berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu;suatu ketika bila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah ia sudah tidak lagi menjadi haram,yang lazimnya kita kenal dengan mahram mauqqat.[2]
Akibat Perkawinan Terhadap Anak :
1.    Kedudukan anak
·      Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)
·      Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
2.    Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
·      Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).
·      Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
·      Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).
3.    Kekuasaan orang tua
·      Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua.
·      Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
·      Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
·      Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin
·      Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila : 1) ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak, 2) Ia berkelakuan buruk sekali.
·      Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
C.  Akibat Hukum Perkawinan Terhadap Harta Bersama dan Harta Kewarisan
1.    Harta Bersama
Secara etimologis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, harta bersama terdiri dari dua kata yaitu harta dan bersama. Harta adalah barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan, sedangkan bersama adalah seharta, semilik. Sedangkan menurut terminologis harta bersama adalah barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan yang diperoleh suami isteri secara bersama-sama dalam perkawinan.[3]
Pada dasarnya, menurut hukum Islam tidak dikenal adanya percampuran harta bersama antara suami dan isteri karena perkawinan, kecuali dengan syirkah (perjanjian dalam perkawinan). Hal ini disebabkan karena dalam al-Qur’an maupun Hadis Nabi tidak dijelaskan dengan tegas tentang hal itu, sehingga masalah ini merupakan masalah yang perlu ditentukan dengan cara ijtihad.[4]
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena mati. Berbeda dengan harta bawaan masing-masing suami atau isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.[5]
Di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun dalam pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1985 maupun pasal 85 KHI, terhadap harta suami istri yang berada dalam masa ikatan perkawinan telah diberi nama “Harta bersama”. Dalam masyarakat Aceh dikenal dengan “Harta seharkat”. Dalam masyarakat Melayu dikenal dengan nama ”Harta serikat”. Dan dalam masyarakat Jawa-Madura dikenal dengan “Harta gono-gini”. Sampai sekarang penggunaan nama-nama tersebut masih mewarnai praktek peradilan.[6]
Sejak perkawinan dimulai, dengan sendirinya terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri. Hal ini merupakan ketentuan umum apabila tidak diadakan perjanjian apa-apa. Keadaan demikian berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan berlangsung. Jika seseorang ingin menyimpang dari ketentuan tersebut maka ia harus melakukan perjanjian perkawinan.[7] Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Vollmar bahwa akibat-akibat perkawinan terhadap kekayaan dan penghasilan suami-istri tergantung dari ada atau tidak adanya perjanjian perkawinan.[8]
Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak. Semua harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama. Tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus didaftarkan.
2.    Harta Kewarisan
Hubungan perkawinan sebagai penyebab pewarisan sebagaimana termuat dalam surah an-Nisa’[4] ayat 11. Hubungan perkawinan terjadi jika akad telah dilakukan secara sah antara suami dan istri. Meskipun diantara keduanya belum pernah melakukan hubungan intim, hak pewaris tetap berlaku. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bias menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan :
1.    Timbul harta bawaan dan harta bersama.
2.    Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun.
3.    Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hokum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).




BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Akibat perkawinan terhadap Mahram :
1.    Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
2.    Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
3.    Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum (ayat 2).
4.    Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
5.    Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
6.    Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.
7.    Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
8.    Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Akibat perkawinan terhadap Nasab :
1.    Kedudukan anak
2.    Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
3.    Kekuasaan orang tua
Akibat Perkawinan terhadap Harta kekayaan :
1.    Timbul harta bawaan dan harta bersama.
2.    Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun.
3.    Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hokum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).
B.  Saran
Berdasarkan apa yang telah di bahas di dalam makalah ini, penulis menyarankan kepada selurut umat muslim khususnya di Indonesia agar lebih mendaalami tentang akibat-akibat hukum yang terjadi karena pernikahan, agar tidak terjadi kesalahan di dalam penerapan kehidupan sehari-hari.



[2] Prof.Dr.Amir Syarifuddin (Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara fiqh munakahat dan undang-undang perkawinan..Jakarta : 2006).hlm 110
[3] W.J.S, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), 347
[4] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan, (Yogyakarta, Liberty, 2004), Hlm. 99
[5] Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam : Kompetensi Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqoh, (Bandung: Mandar Maju, 1997), Hlm. 33
[6] M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1989), Hlm. 272
[7] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Pembimbing, 1961 ), Hlm. 31
[8] H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta : Rajawali, 1989 ), Hlm. 77