PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa proses kodifikasi
al-Qur’an pada masa khalifah Usman berada pada titik kritis kemanusiaan sesama
muslim karena terjadi saling menyalahkan antara aliran qira’at yang satu dengan
aliran qira’at lainnya, bahkan di antara mereka hampir saling mengkafirkan.
Daerah kekuasaan Islam pada khalifah Usman telah meluas, orang-orang Islam
telah terpencar di berbagai daerah sehingga mengakibatkan kurang lancarnya
komunikasi intelektual diantara mereka. Adanya pengklaiman qiraatnya paling
benar dan qiraat orang lain salah merambah dimana-mana.
Hal ini menimbulkan perpecahan di antara umat Islam. Situasi
demikian sangat mencemaskan Khalifah Usman. Untuk itu ia mengundang para
sahabat terkemuka untuk mengatasinya. Akhirnya dicapai kesepahaman agar mushaf
yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang disimpan di rumah
Hafsah disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Hasil penyalinan ini dikirim ke
berbagai kota, untuk dijadikan rujukan bagi kaum muslimin, terutama sewaktu
terjadi perselisihan sistem qira’at. Sementara itu, Khalifah Usman
memerintahkan untuk membakar mushaf yang berbeda dengan mushaf hasil kodifikasi
pada masanya yang dikenal dengan nama Mushaf Imam. Kebijakan khalifah Usman ini
di satu sisi merugikan karena menyeragamkan qiraat yakni dengan lisan Quraish
(dialek orang-orang Quraish), namun disisi lain lebih menguntungkan yakni umat
Islam bersatu kembali setelah terjadi saling menyerang dan menyalahkan antara
satu dengan yang lain.
Berkenaan dengan keadaan di atas, maka pada pertengahan
kedua di abad I H, dan pertengahan awal di abad II H, para ahli qira’at
terdorong untuk meneliti dan menyeleksi berbagai sistem qira’at al-Qur’an yang
berkembang pada saat itu. Hasilnya, tujuh sistem qira’at al-Qur’an yang
berhasil dipopulerkan dan dilestarikan oleh mereka, dinilai sebagai tergolong
mutawatir yang bersumber dari Nabi saw. Inilah yang dikenal dengan sebutan
qira’at sab’at (qira’at tujuh). Sehingga pada masa berikutnya para
mufassir memandang perlunya dimasukkan ilmu qiraah dalam ulumul qur’an. Karena
dengan adanya perbedaan dalam pembacaan al-qur’an, menimbulkan perbedaan pula
dalam mengistimbatkan hukum yang terkandung dalam ayat-ayat al-qur’an. Sehingga
menjadi bahan pertimbangan para mufassir dalam menafsirkan al-qur’an. Oleh
karena itulah, tergerak hati kami untuk menyusun makalah mengenai qira’ah
selain sebagi tugas, juga karena ilmu ini memilki urgensi dalam mengistimbatkan
hukum islam.
B.
Identifikasi masalah
Untuk menambah pengetahuan pembaca, maka dapat
disimpulkan beberapa pokok pembahasan:
1. Pengertian dan perkembangan ilmu qira’ah
2. Macam-macam qira’ah yang diterima dan ditolak serta
kriterianya
3. Faedah perbedaan qira’ah
C. Rumusan
masalah
Secara garis besar terdapat beberapa rumusan masalah,
diantaranya:
1. Apa pengertian ilmu qira’ah dan sejak kapan ilmu qira’ah
itu muncul serta menjadi suatu disiplin ilmu?
2. Apa saja kriteria qira’ah agar dapat disebut
sebagai qiraah shahih/mutawatir ?
3. Apa faedah adanya perbedaan qira’ah
dikalangan umat ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Secara etimologi lafal Qira’at adalah bentuk jamak dari Qira’ah
yang merupakan bentuk masdar dari Fi’il Madi Qara’a yang artinya
bacaan. Dari segi terminologi para ahli mengemukakan sebagaimana berikut :
1. Ibn Al Jazari ,
mengemukakan bahwa qira’at merupakan pengetahuan tentang cara-cara mengucapkan
kalimat-kalimat Al Qur’an dan perbedaannya.
2. Syaikh Muhammad
Ali As-Shabuni, berpendapat bahwa qira’at adalah madzhab bacaan Al Qur’an yang
dibawa oleh seorang imam qurra’ yang berbeda dengan (bacaan imam) lainnya
beserta sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW.
3. Manna’
Kholil Al-Qattan, mendefinisikan bahwa qira’at adalah salah satu madzhab
(aliran) pengucapan lafal Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’
sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan yang lainnya
.
Dari berbagai
macam pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Qira’at adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana cara membaca Al Qur’an dengan pengucapan lafal-lafal yang
baik dan benar. Qira’at tersebut merupakan suatu madzhab yang dipilih oleh
salah seorang imam qurra’ yang berbeda (bacaannya) dengan madzhab yang lain dan
di tetapkan berdasarkan sanad-sanadnya yang sampai kepada Rasulullah.
Perlu
diluruskan kembali, menurut pendapat yang paling sahih bahwa qira’at-qira’at
itu bukanlah tujuh huruf. Meskipun ada kesamaan di antara keduanya yang
mengesankan demikian. Akan tetapi, qira’at ini tidak lain hanyalah suatu
madzhab bacaan al-qur’an yang secara ijma’ masih tetap eksis dan digunakan umat
islam hingga kini. Dan sumbernya adalah perbedaan lahjah (logat), cara
pengucapan dan sifatnya, seperti tafkhim, tarqiq, imalah, idgam, izhar, isyba’,
madd, qasr, tasydid, takhfif dan sebagainya. Namun semua itu hanya berkisar
dalam satu huruf, yaitu huruf quraisy.
A.
Sejarah
Perkembangan Qira’at
Memang tidak tercatat mengenai kapan tepatnya
ilmu qira’at itu muncul. Tetapi yang jelas, mula-mula orang yang pertama
menulis tentang ilmu Qira’at tersebut adalah Abu Ubaid Al- Qosim Ibn Salam
(wafat tahun 244 H). Beliau telah mengumpulkan para imam qira’at dengan
bacaannya masing-masing, para tokoh lain yang turut melopori lahirnya ilmu
Qira’at adalah Abu Hatim Al-sijistany, Abu Ja’far al-Thabary dan Ismail
al-Qodhi.
Periode qurra’
(para ahli atau imam qira’at) yang mengajarkan bacaan al-qur’an kepada
masyarakat menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada
masa shahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at ialah
Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain.
Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri
belajar qira’at dan mereka semua berpegang kepada rasulullah.
Imam az-Zahabi
menyebutkan di dalam Tabaqatul Qurra’, bahwa sahabat yang terkenal
sebagai guru dan ahli qira’at al-qur’an ada tujuh orang, yaitu Usman, Ali,
Ubai, Zaid bin Tsabit, Abu Darda’ dan Abu Musa al-Asy’ari. Lebih lanjut
ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qira’at dari Ubai, di
antaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas dan Abdullah bin Sa’ib. Ibn Abbas belajar
pula kepada Zaid.
Kemudian,
terhadap para sahabat itulah sejumlah besar tabi’in mempelajari
qira’at di setiap negeri. Sebagian dari meraka ada yang tinggal di madinah
yaitu Ibnu Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan ‘Ata’
–keduanya putra Yasar-, Mu’adz bin Hariz yang terkenal dengan Mu’az al-Qari’,
Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibnu Syihab az-Zuhri, Muslim bin Jundab, dan
Zaid bin Aslam. Di antara mereka yang tinggal di mekkah ialah ‘Ubaid bin Umair,
Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ’Ikrimah dan Abu Malikah. Tabi’in yang
tinggal di kufah ialah ‘Alqamah, al-Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr bin Syurahbil,
al-Haris bin Qais, Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman as-Sulami, Sa’id bin Jabir,
an-Nakha’i dan as-Sya’bi. Yang tinggal di basrah ialah Abu Aliyah, abu Raja’,
Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, ibn Sirin dan Qatadah. Sedangkan yang
tinggal di syam ialah al-Mughirah bin abu Syihab al-Makhzumi, -murid Usman-,
dan khalifah bin Sa’ad -sahabat abu darda’.
Pada permulaan
abad pertama hijriah, sejumlah ulama’ dari kalangan tabi’in membulatkan tekad
dan perhatiannya untuk menjadikan qira’at ini sebagai disiplin ilmu yang
independen sebagaimana ilmu-ilmu syari’at lainnya. Sehingga mereka menjadi imam
dan ahli qira’at yang diikuti oleh generasi ke generasi sesudahnya. Bahkan
dalam generasi tersebut terdapat banyak imam yang bermunculan dan mulai sejak
ini sampai sekarang kita mengikutinya serta mempercayainya sebagai madzhab
qira’at. Para ahli qira’at tersebut di madinah ialah abu Ja’far Yazid bin
Qa’qa’ dan Nafi’ bin Abdurrahman. Di mekkah ialah Abdullah bin Katsir al-
qurosyi dan Humaid bin Qais al-‘Araj. Di kufah ialah ‘Asim bin Abun Najud,
Sulaiman al-Amasyi, Hamzah bin Habib dan Ali Kisa’i. Di basrah ialah Abdullah
bin Abu Ishaq, Isa ibn ‘Amr, Abu Amr ‘Ala’, ‘Asim al-Jahdari, dan Ya’qub
al-Hadrami. Kemudian di syam ialah Abdullah bin Amir, Isma’il bin Abdullah bin
Muhajir, Yahya bin Haris dan Syuraih bin Yazid al-Hadrami.
Dari sekian
banyak para imam qira’at di atas, ada tujuh imam yang terkenal (masyhur)
sebagai ahli qira’at di seluruh dunia yaitu Abu Amr, Nafi’, ‘Asim, Hamzah,
al-Kisa’i, Ibn ‘Amir, Ibn Kasir. Bacaan para imam ini yang lazim disebut qira’ah
sab’ah.
Qira’ah sab’ah
menjadi termasyhur pada permulaan abad kedua hijriah. Orang-orang basrah
memakai qira’at Abu Amr dan Ya’qub, Orang-orang kufah memakai qira’at Hamzah
dan ‘Asim, Orang-orang syam memakai qira’at Ibn Amir, Orang-orang mekkah
memakai qira’at Ibn Kasir, dan orang-orang madinah memakai qira’at Nafi’.
Pada abad
ketiga hijriyah, Qira’at ini terus berkembang hingga sampailah pada Abu Bakar
Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas Ibn mujahid yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid
(wafat tahun 324 H) di Bagdad. Beliaulah yang membukukan Qira’ah sa’bah atau
tujuh Qira’at dari tujuh imam yang dikenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah,
dan Syam. tujuh imam Qari’ah tersebut ialah :
1. Ibn Amir
Nama lengkapnya
Abu Imran Abdullah bin Amir al-Yashubi yang merupakan seorang Qodhi di Damaskus
pada masa pemerintahan Ibn Abd al-Malik.Beliau lahir pada tahun 21 H. Beliau
berasal dari kalangan tabi’in yang belajar Qira’at dari al-Mughirah Ibn Abi
Syihab al-Mahzumi, Usman bin Affan dan Rsulullah SAW. Beliau wafat tahun 118 H
Damaskus. Rowi beliau yang terkenal dalam Qira’at yaitu Hisyam(wafat tahun
245H) dan Ibn Dzakwan(wafat tahun 242 H)
2.
IbnKatsir
Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Katsir Al-Dary al-Makky. Beliau adalah imam Qira’at di Mekkah dari kalangan tabi’in yang pernah hidup bersama sahabat abdullah Ibn Zubair, Abu Ayyub al-Anshari dan Anas Ibn Malik. Beliau wafat tahun 291 H, rowinya yang terkenal adalah Al-Bazy (wafat tahun 250 H) dan Qunbul (wafat tahun 291 H).
Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Katsir Al-Dary al-Makky. Beliau adalah imam Qira’at di Mekkah dari kalangan tabi’in yang pernah hidup bersama sahabat abdullah Ibn Zubair, Abu Ayyub al-Anshari dan Anas Ibn Malik. Beliau wafat tahun 291 H, rowinya yang terkenal adalah Al-Bazy (wafat tahun 250 H) dan Qunbul (wafat tahun 291 H).
3.
AshimAl-Khufy
Nama lengkapnya ‘Ashim Ibn Abi Al-Najud al-Asadi, disebut juga Ibn Bahdalah. Nama panggilannya adalah Abu Bakar, beliau seorang tabi’in yang wafat sekitar tahun 127-128 H di Kuffah.Beliau merupakan imam qiro’aat Kufah yang paling bagus suaranya dalam membaca al-qur’an. Kedua perawinya yang terkenal adalah Syu’bah (wafat tahun 193 H) dan Hafs (wafat tahun 180 H).
Nama lengkapnya ‘Ashim Ibn Abi Al-Najud al-Asadi, disebut juga Ibn Bahdalah. Nama panggilannya adalah Abu Bakar, beliau seorang tabi’in yang wafat sekitar tahun 127-128 H di Kuffah.Beliau merupakan imam qiro’aat Kufah yang paling bagus suaranya dalam membaca al-qur’an. Kedua perawinya yang terkenal adalah Syu’bah (wafat tahun 193 H) dan Hafs (wafat tahun 180 H).
4.
AbuAmr
Nama lengkapnya Abu Amr Zabban Ibn A’la Ibn Ammar al-Bashri yang sering juga dipanggil Yahya.Beliau merupakan satu-satunya imam qira’at yang paling banyak guru qira’atnya Beliau seorang guru besar qira’at di kota bashrah yang wafat di Kuffah pada tahun 154 H.Rowinya yang terkenal ialah Abu Amr ad-Dury (wafat tahun 246 H) dan Ibnu Zyad as- Susy (wafat tahun 261 H)
Nama lengkapnya Abu Amr Zabban Ibn A’la Ibn Ammar al-Bashri yang sering juga dipanggil Yahya.Beliau merupakan satu-satunya imam qira’at yang paling banyak guru qira’atnya Beliau seorang guru besar qira’at di kota bashrah yang wafat di Kuffah pada tahun 154 H.Rowinya yang terkenal ialah Abu Amr ad-Dury (wafat tahun 246 H) dan Ibnu Zyad as- Susy (wafat tahun 261 H)
5. Hamzah
Nama lengkapnya Hamzah Ibn Habib Ibn Imarah al-Zayyat al-Fardh al-Thaimi yang sering dipanggil Ibn Imarah. Beliau berasal dari kalangan hamba sahaya ikrimah Ibn Robbi’ Mthaimi yang wafat di Hawan pada masa khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya yang terkenal adalah Kholaf (wafat tahun 229 H) dan Khollad (wafat tahun 220 H).
Nama lengkapnya Hamzah Ibn Habib Ibn Imarah al-Zayyat al-Fardh al-Thaimi yang sering dipanggil Ibn Imarah. Beliau berasal dari kalangan hamba sahaya ikrimah Ibn Robbi’ Mthaimi yang wafat di Hawan pada masa khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya yang terkenal adalah Kholaf (wafat tahun 229 H) dan Khollad (wafat tahun 220 H).
6) Nafi’
Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi’ Ibn Abd Al-Rahman Ibn Abi Na’im al-Laisry. Beliau lahir di Isfahan pada tahun 70 dan wafat di Madinah pad tahun 169 H. Beliau adalah seseorang yang ketika berbicara selalu keluar bau wewangian misik dari mulutnya. Perawinya adalah Qolun (wafat tahun 220 H) dan Warsy (wafat tahun 197 H).
Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi’ Ibn Abd Al-Rahman Ibn Abi Na’im al-Laisry. Beliau lahir di Isfahan pada tahun 70 dan wafat di Madinah pad tahun 169 H. Beliau adalah seseorang yang ketika berbicara selalu keluar bau wewangian misik dari mulutnya. Perawinya adalah Qolun (wafat tahun 220 H) dan Warsy (wafat tahun 197 H).
7) Al-Kisa’i
Nama lengkapnya Abul Hasan Ali Ibn Hamzah Ibn Abdillah Al-Asady. Selain imam Qori’ beliau terkenal juga sebagai imam nahwu golongan Kufah. Sering juga disebut Kisa’i karena sewaktu berihram beliau memakai kisa. Beliau wafat pada tahun 189 H di Ronbawyan yaitu sebuah desa di negeri Roy dalam perjalanan menuju Khurasan bersama al-Rasyid. Perawinya yang terkenal adalah Abd al-Haris (wafat tahun 242 h) dan Al-Dury (wafat tahun 246 H).
Nama lengkapnya Abul Hasan Ali Ibn Hamzah Ibn Abdillah Al-Asady. Selain imam Qori’ beliau terkenal juga sebagai imam nahwu golongan Kufah. Sering juga disebut Kisa’i karena sewaktu berihram beliau memakai kisa. Beliau wafat pada tahun 189 H di Ronbawyan yaitu sebuah desa di negeri Roy dalam perjalanan menuju Khurasan bersama al-Rasyid. Perawinya yang terkenal adalah Abd al-Haris (wafat tahun 242 h) dan Al-Dury (wafat tahun 246 H).
B.
Macam-macam qira’at, hukum dan kaedahnya
Sebagian ulama mengatakan bahwa qira’at ada tiga macam yaitu mutawatir, ahad
dan syadz. Qira’at mutawatir ialah qira’ah sab’ah yang termasyhur,
sedang yang ahad ialah qira’at tsalastah yang kemudian menggenapkannya menjadi
sepuluh qira’at yaitu Abu Ja’far Yazin bin Qa’qa’ al-madani, ya’qub bin ishaq
al-Hadrami dan khalaf bin Hisyam. Seluruh qira’at selain dari qiraat yang
sepuluh itu dipandang qiraat syadz, seperti qiraat Yazidi, Hasan, A’masy, Ibn
Jubair dan lain-lain. Kemudian yang menjadi pegangan terhadap timbulnya
berbagai macam qira’at tersebut adalah ketentuan atau kaedah tentang qira’at
yang shahih.
Menurut mereka, ketentuan atau kaedah qiraat yang
shahih adalah sebagai berikut :
1)
Qira’at tersebut sesuai dengan kaedah bahasa arab. Meski hanya dalam satu segi,
sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi
sebuah rujukan dengan berdasarkan pada sanad, bukan ra’yu (penalaran).
2)
Qira’at harus sesuai dengan salah satu mushaf usmani, meskipun hanya mendekati
saja. Karena, dalam penulisan mushaf-mushaf para sahabat telah
bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai
dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui. Yang di maksud
dengan hanya sekedar mendekati (muwafaqah ihtimaliyah) adalah seperti
contoh berikut : مالك يوم الدين
(al-fatihah : 4). Lafaz مالك
ditulis dalam semua mushaf dengan membuang alif, sehingga di baca ملك
sesuai dengan rasm secara tahqiq (jelas) dan dibaca pula مالك
sesuai dengan rasm secara ihtimal (kemungkinan). Dan demikian pula
contoh-contoh yang lain.
3)
Qira’at harus sahih isnadnya, karena qiraat merupakan sunnah yang diikuti dan
didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat.
Itulah kriteria-kriteria atau yang di sebut juga
dengan syarat-syarat qira’at yang sahih (maqbul). Apabila semua kriteria
di atas terpenuhi, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang sahih. Jika salah
satu kriteri atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at tersebut dinamakan
qira’at syadz atau bahkan batil.
Sebagian Ulama lain menyimpulkan qiraat menjadi enam
macam:
Pertama: Mutawatir, yaitu qiraat yang dinukilkan
oleh sejumlah besar qiraat yang tidak mungkan bersepakat untuk berdusta, dari
sejumlah orang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yaitu
Rasullulah. Dan inilah yang umum dalam hal qiraat.
Kedua: Masyhur, yaitu qiraat yang shahih
sanadnya tetapi tidak mecapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah arab dan
rasam usmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat sehingga karenanya
tidak dikategorikan qiraat yang syaz. Para ulama berpendapat bahwa qiraat macam
ini termasuk qiraaat yang dapat dipakai.
Ketiga: Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya
tetapi menyalahi rasam usmani, menyalahi kaidah bahasa arab atau tidak
terkenal. Qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang dapat dipakai atau
digunakan.
Keempat: Syadz, yaitu qiraat yang tidak sahih
sanadnya, seperti qiraat مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ
, dengan bentuk fi’l madhi dan menasabkannya.
Kelima: Maudhu’, yaitu qiraat yang tidak ada
asalnya
Keenam: Mudraj, yaitu sesuatu yang ditambah
dalam qiraat sebagai penafsiran, seperti qiraat ibnu ‘abbas: لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ
تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ فِى مَوَاسِمِ الحَجِّ فإذَا أَفَضْتُمْ مِنْ
عَرَفَاتٍ , kalimat فِى مَوَاسِمِ الحَجِّ adalah penafsiran yang
disisipikan kedalam ayat.
Ketiga macam yang terakhir ini tidak boleh diamalkan
bacaanya.
Nawawi dalam Syarah al-Muhazzab berkata, “
Qiraat yang syadz tidak boleh dibaca baik didalam maupu diluar shalat.
al-qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan qiraat syadz
tidak mutawatir. Para fuqaha Bagdad sepakat bahwa orang yang membaca al-qur’an
dengan qiraat yang syadz harus disuruh taubat. Ibn ‘Abdil Barr menukilkan ijma’
kaum muslimin bahwa al-qur’an tidak boleh dibaca dengan qiraat yang syadz dan
juga tudak sah shalat di belakang orang yang membaca al-qu’ran dengan qiraaat-qiraat
syadz itu.”
C.
Faedah perbedaan qira’ah
Bervariasinya qiraat yang shahih ini mengandung banyak
faedah dan fungsi, diantaranya:
1)
Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya Kitab allah dari perubahan dan
penyimpangan padahal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang
berbeda-beda.
2)
Meringankan umat islam dan memudahkan mereka membaca al-qur’an.
3)
Bukti kemukjizatan al-qur’an dari segi kepadatan makna (‘ijaz)nya,
karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu
pengulangan lafaz. Misalnya ayat (al-maidah
[5]:6) وامسحوا
برؤوسكم وارجلكم الى الكعبين,
dengan menasabkan dan mekhafadkan kata وارجلكم
. dalam qiraat yang menasabkanya terdapat penjelasan tentang hukum membasuh
kaki, karena ia di’atafkan kepada ma’mul fi’il (objek kata kerja) gasala
فاغسلوا
وجوهكم وايديكم الى المرافق .
sedang qiraat dengan jar (khafad) menjelaskan hukum menyapu
sepatu ketika terdapat keadaan yang menuntut demikian, dengan alasan lafaz itu
di’atafkan kepada ma’mul fi’il masaha وامسحوا برؤوسكم وارجلكم الى الكعبين. Dengan demikian, maka kita dapat
menyimpulkan dua hukum dalam satu ayat. Inilah sebagian makna dari kemukjizatan
al-qur’an dari segi kepadatan maknanya.
4)
Penjelasan terhadap apa yang masih global dalam qiraat lain. Misalnya, lafaz يَطْهُرْنَ
dalam ayat وَلاَتَقْرَبُوْهُنَّ
حَتَّى يَطَّهَّرْنَ , yang dibaca
dengan tasydid يَطَّهَّرْنَ dan thakfif يَطْهُرْنَ.
Qiraat dengan tasydid menjelaskan makna qiraat dengna takhfif, sesuai dengan
pendapat jumhur ulama. Karena itu istri yang haid tidak halal dicampuri oleh
suaminya karena telah suci dari haid, yaitu terhentinya darah dari haid,
sebelum istri tersebut bersuci dengan air.
BAB III
KESIMPULAN
Qira’ah al-qur’an adalah mazhab
pembacaan alqur’an dari para imam qura’ yang masing-masing mempunyai perbedaan
dalam pengucapan alqur’an al-karim dan disandarkan pada sanad-sanadnya sampai
kepada rasullulah Saw. Perbedaan-perbedaan bacaan umat muslim sesuai mazhab
qiraah yang diikutinya, ini menunjukkan betapa islam sangat menghargai
perbedaan. Perbedaan bukanlah suatu hal yang dapat menimbulkan perpecahan,
bahkan merupakan sebuah rahmat. Sebagaimana sabda rasullah dalam sebuah hadist
“ perbedaan yang terjadi dalam umat-ku adalah rahmat”. Dengan perbedaan dalam
pembacaan qiraah menimbulkan perbedaan dalam mengistimbatkan hukum ( dimana
satu hukum dengan hukum lainnya saling menguatkan). Ketika seorang mufassir
menafsirkan al-qur’an menurut mazhab yang diikutinya, maka ia melahirkan hukum
yang berbeda dengan mufassir lain yang mengambil ( mengikuti) mazhab lain.
Perlu ditegaskan kembali bahwa
qira’at-qira’at itu bukanlah tujuh huruf, karena persoalan tentang tujuh huruf
tersebut telah berakhir sampai pada pembacaan terakhir ( ‘urdah al-akhirah ),
yaitu ketika wilayah ekspansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf
itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para
sahabat dan pada masa Usman terdorong untuk mempersatukan umat islam pada satu
huruf, yaitu huruf quraisy.
Inilah diantara mukjizat-mukjizat yang
ada dalam al-qur’an yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya. Al-qur’an
diturunkan bukan untuk memberatkan umat akantetapi memberikan kemudahan bagi
umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Nur, Muhammad Qadirun. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta.
Pustaka Amani.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil
Qur’an. Jakarta. Darul Kutub Al- Islamiyah.
Al-Qattan, Manna Khalil. 1973. Mabahis Fi Ulumil Qur’an.
Surabaya. Al-hidayah.
Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi
Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar el-Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar