Kotak Saran

tombol masukan dan saran

Selasa, 17 Februari 2015

Pemimpin


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
           Setiap manusia yang terlahir dibumi dari yang pertama hingga yang terakhir adalah seorang pemimpin, setidaknya ia adalah seorang pemimpin bagi dirinya sendiri. Bagus tidaknya seorang pemimpin pasti berimbas kepada apa yang dipimpin olehnya. Karena itu menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut, karena kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu.

B.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas disini adalah:
1.    Apakah setiap individu merupakan pemimpin?
2.    Bagaimana pemimpin dalam mengayomi masyarakat?
3.    Dimana batasan ketaatan kepada pemimpin?

C.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi mata kuliah hadis yang diberikan oleh dosen pembimbing sekaligus untuk pendalaman ilmu terhadap mata kuliah hadis.










BAB II
PEMBAHASAN
TANGGUNG JAWAB KEPEMIMPINAN

A.  Setiap Individu adalah Pemimpin
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ
وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
 
Artinya: "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam (kepala Negara) adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya dan akan diminta pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya dan akan diminta pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut". (HR. Bukhori)
Beberapa  kriteria seorang pemimpin dalam Islam:
1.    Menggunakan Hukum Allah 
Dalam berbagai aspek dan lingkup kepemimpinan, ia senantiasa menggunakan hukum yang telah di tetapkan oleh Allah, hal ini sebagaimana ayat ;
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Qs : 4:59)
 
Melalui ayat di atas ta'at kepada pemimpin adalah satu hal yang wajib dipenuhi, tetapi dengan catatan, para pemimpin yang di ta'ati, harus menggunakan hukum Allah, hal ini sebagaimana di nyatakan dalam ayat-Nya yang lain :
 
"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya . Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)". (Qs: 7 :3)
 
"..Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir..." (Qs :5:44)
 
Dari beberapa ayat diatas, bisa disimpulkan, bahwa pemimpin dalam islam adalah mereka yang senantiasa mengambil dan menempatkan hukum Allah dalam seluruh aspek kepemimpinannya.
 
2.    Tidak meminta jabatan, atau menginginkan jabatan tertentu
"Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya, tidak pula kepada orang yang sangat berambisi untuk mendapatkannya" (HR Muslim).
"Sesungguhnya engkau ini lemah (ketika abu dzar meminta jabatan dijawab demikian oleh Rasulullah), sementara jabatan adalah amanah, di hari kiamat dia akan mendatangkan penyesalan dan kerugian, kecuali bagi mereka yang menunaikannya dengan baik dan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban atas dirinya". (HR Muslim).
 
3.    Kuat dan amanah
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (Qs : 28: 26).
 
4.    Profesional

"Sesungguhnya Allah sangat senang pada pekerjaan salah seorang di antara kalian jika dilakukan dengan profesional" (HR : Baihaqi) 
 
5.    Tidak aji mumpung karena KKN
Rasulullah SAW, "Barang siapa yang menempatkan seseorang karena hubungan kerabat, sedangkan masih ada orang yang lebih Allah ridhoi, maka sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang mukmin". (HR Al Hakim).
          Umar bin Khatab; "Siapa yang menempatkan seseorang pada jabatan tertentu, karena rasa cinta atau karena hubungan kekerabatan, dia melakukannya hanya atas pertimbangan itu, maka seseungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin".
6.     Menempatkan orang yang paling cocok
"Rasulullah menjawab; jika sebuah perkara telah diberikan kepada orang yang tidak semestinya (bukan ahlinya), maka tunggulah kiamat (kehancurannya)". (HR Bukhari).
 
B.  Pemimpin Pelayan Masyarakat
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ اَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
 
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Abul Asyhab dari Al Hasan, bahwasanya Abdullah bin Ziyad mengunjungi Ma'qil bin yasar ketika sakitnya yang menjadikan kematiannya, lantas Ma'qil mengatakan kepadanya; 'Saya sampaikan hadist kepadamu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; "Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanat kepemimpinan, namun dia tidak menindaklanjutinya dengan baik, selain tak bakalan mendapat bau surga."(HR. Bukhori)
 
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah swt. untuk memimpin rakyat, yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah swt. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya, karena ketidakadilannya misalkan, ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah swt. kelak di akhirat. Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya, ia harus berusaha memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat, sebagaimana firman-Nya dalam al-Quran:
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.”(QS. asy-Syu’ara : 215)
 
Dalam sebuah hadits yang diterima dari siti Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi saw. pernah berdo’a,
 “Ya Allah, siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku lalu mempersulit mereka, maka persulitlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku dan berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya.
Hal itu menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya sangat peduli terhadap hambanya agar terjaga dari kezaliman para pemimpin yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Pemerintah yang kejam dikategoirikan sebagai sejahat-sejahatnya pemerintah.
Pemimpin yang zalim yang tidak mau mengayomi dan melayani rakyatnya diancam tidak akan pernah mencium harumnya surga apalagi memasukinya,sebagaimana disebutkan pada hadits di atas.Oleh karena itu, agar kaum muslim terhindar dari pemimpin yang zalim, berhati-hatilah dalam memilih seorang pemimpin. Pemilihan pemimpin harus betul-betul didasarkan pada kualitas, integritas, loyalitas, dan yang paling penting adalah perilaku keagamaannya. Jangan memilih mereka karena didasarkan padarasa emosional, baik karena ras, suku bangsa, ataupun keturunan. Karena jikamereka dapat memimpin, rakyatlah yang akan merasakan kerugiannya.Menurut Quraish Shihab, dari celah-celah ayat al-Quran ditemukansedikitnya dua pokok sifat yang harus disandang oleh seseorang yang memikulsuatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebutharus diperhatikan dalam menentukan seorang pemimpin. Salah satu ayat yang menerangkan tentang hal itu adalah ungkapan putri Nabi Syu’aib yang dibenarkandan diabadikan dalam al-Quran:
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".(Q.S. al-Qashash : 26)
C.  Batas Ketaatan Kepada Pemimpin
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah taat kepada pemimpin. Ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa, ketaatan merupakan sendi dasar tegaknya suatu kepemimpinan dan pemerintahan. Tanpa ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin, kepemimpinan dan pemerintahan tidak mungkin tegak dan berjalan sebagaimana mestinya. Jika rakyat tidak lagi mentaati pemimpinnya maka, roda pemerintahan akan lumpuh dan akan muncul fitnah di mana-mana. Atas dasar itu, ketaatan kepada pemimpin merupakan keniscayaan bagi tegak dan utuhnya suatu negara. Bahkan, dasar dari ketertiban dan keteraturan adalah ketaatan.
Rasulullah Saw selalu menekankan kepada umatnya untuk selalu taat kepada pemimpin dalam batas-batas syari’atnya. Nash-nash syara yang berbicara tentang ketaatan kepada pemimpinan jumlahnya sangat banyak. Di dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:


Artinya:Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. An Nisa (4): 59)
Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)
Jadi, makna Ulil Amri begitu luas sebagaimana diterangkan para mufassir, mereka bisa bermakna ulama, umara, khalifah, hakim, panglima perang, dan tentunya pemimpin dalam da’wah (Qiyadah Da’wah).  Bahkan dalam safar saja kita  disyariatkan menunjuk seseorang untuk menjadi pemimpin safar, lalu kita mentaatinya.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إذا كان ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
Artinya: “Jika ada tiga orang melakukan perjalanan maka angkatlah salah seorang mereka sebagai pemimpin.”  (HR. Abu Daud No. 2608, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No.10129.  Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 763)

Wajh Istidalal (sisi pendalilan)nya adalah jika dalam  bepergian saja disyariatkan mengangkat seorang pemimpin, maka apalagi dalam hal yang lebih urgen dari itu  seperti dakwah dan jihad. Ini diistilahkan dengan Qiyas Aula.
Maka, mentaati para pemimpin-pemimpin ini adalah perintah Allah Ta’ala sebagaimana surat An Nisa ayat 59 di atas.  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memerintahkan kita untuk mentaati pemimpin.
Demikian konsep dasar ketaatan antara rakyat dengan pemimpinnya, umat dengan ulama, dan junud dengan qiyadahnya.
Apakah Ketaatan Mutlak?
Tidak ada ketaatan mutlak kecuali kepada Allah Ta’ala dan RasulNya. Oleh karenanya dalam surat An Nisa ayat 59, kata athi’uu (taatilah) hanya pada Allah dan RasulNya, tidak pada Ulil Umri. Qiyadah seperti apa yang berhak mendapatkan ketaatan dari umatnya (baca: kader)? Al Hafzih Ibnu Hajar mengatakan setiap yang memerintahkan dengan kebenaran dan dia seorang yang adil, maka dia adalah pemimpin yang oleh Asy Syaari’ (pembuat syariat)  diperintahkan agar memerintah dengan syariatNya. (Fathul Bari, 20/152)
Jadi, patokannya adalah syariat, sejauh mana ketaatan pemimpin tersebut kepada Allah dan RasulNya, dan syariat yang diajarkan oleh RasulNya. Sejauh mana pula kebenaran perintah mereka  dalam timbangan syariah. Namun, sebagain ulama Ahlus Sunnah tetap mempertahankan bahwa pemimpin yang fasiq tetaplah harus ditaati perintahnya yang baik-baik, ada pun kefasiqannya ditanggung oleh dirinya sendiri sesuai hadits di atas. Untuk perintah yang maksiat kepada Allah Ta’ala dan RasulNya, maka semua ulama sepakat tidak ada ketaatan kepada pemimpin yang memerintah seperti itu. Banyak hadits yang menegaskan hal demikian, di antaranya:
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:  
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Artinya: “Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya ada pada yang ma’ruf (dikenal baik).” (HR. Bukhari No. 7257, Muslim No. 1840, Abu Daud No. 2625. An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 7828, 8721, Ahmad No. 724. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, No. 16386)
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Dari hadits-hadist ini para ulama sepakat, bahwa yang tidak ditaati adalah perintahnya saat ia memerintahkan perintah yang maksiat tersebut, baik perintah itu datangnya dari pemimpin yang adil atau zalim terhadap rakyatnya, suami ke pada isterinya, orang tua kepada anaknya, jenderal kepada prajuritnya, dan sebagainya.














BAB III
KESIMPULAN
Ø Setiap individu adalah pemimpin, baik pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga, ataupun penguasa terhadap masyarakatnya. Dan seetiap kepemimpinan mereka kelak akan diminta pertanggung jawabanya dihadapan Allah SWT.
Ø Setiap  pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh rakyatnya, maka mereka yang bisa menjalankan amanah itu dengan baik itulah yang di kategorikan sebagai pemimpin yang baik, dan mereka yang tidak menjalankan amanah serta bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakatnya maka itulah pemimpin yang dzalim, dan dia tidak akan pernah mencium baunya surga.
Ø Kita wajib taat kepada pemimpin selama pemimpin itu masih dalam jalan yang lurus, artinya selama kita masih diperintahkan untuk berbuat yang baik maka selama itu kita wajib taat, dan selama pemerintah itu memerintah kita kepada perbuatan maksiat maka selama itu kita tidak wajib taat. Artinya kita harus taat kepada pemimpin selama pemimpin itu tidak keluar dari syariat.

Tidak ada komentar: