BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap
manusia yang terlahir dibumi dari yang pertama hingga yang terakhir adalah
seorang pemimpin, setidaknya ia adalah seorang pemimpin bagi dirinya sendiri.
Bagus tidaknya seorang pemimpin pasti berimbas kepada apa yang dipimpin
olehnya. Karena itu menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan
dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut, karena kelak Allah akan meminta
pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas disini
adalah:
1.
Apakah setiap individu merupakan pemimpin?
2.
Bagaimana pemimpin dalam mengayomi masyarakat?
3.
Dimana batasan ketaatan kepada pemimpin?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi mata kuliah
hadis yang diberikan oleh dosen pembimbing sekaligus untuk pendalaman ilmu
terhadap mata kuliah hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
TANGGUNG JAWAB
KEPEMIMPINAN
A.
Setiap Individu
adalah Pemimpin
كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ
وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ
مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam (kepala Negara) adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya dan akan diminta pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya dan akan diminta pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut". (HR. Bukhori)
Beberapa kriteria seorang pemimpin dalam Islam:
1. Menggunakan Hukum Allah
Dalam berbagai aspek dan lingkup kepemimpinan, ia senantiasa menggunakan hukum yang telah di tetapkan oleh Allah, hal ini sebagaimana ayat ;
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Qs : 4:59)
Melalui ayat di atas ta'at kepada pemimpin adalah satu hal yang wajib dipenuhi, tetapi dengan catatan, para pemimpin yang di ta'ati, harus menggunakan hukum Allah, hal ini sebagaimana di nyatakan dalam ayat-Nya yang lain :
"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya . Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)". (Qs: 7 :3)
"..Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir..." (Qs :5:44)
Dari beberapa ayat diatas, bisa disimpulkan, bahwa pemimpin dalam islam adalah mereka yang senantiasa mengambil dan menempatkan hukum Allah dalam seluruh aspek kepemimpinannya.
2. Tidak meminta jabatan, atau menginginkan jabatan tertentu
"Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya, tidak pula kepada orang yang sangat berambisi untuk mendapatkannya" (HR Muslim).
"Sesungguhnya engkau ini lemah (ketika abu dzar meminta jabatan dijawab demikian oleh Rasulullah), sementara jabatan adalah amanah, di hari kiamat dia akan mendatangkan penyesalan dan kerugian, kecuali bagi mereka yang menunaikannya dengan baik dan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban atas dirinya". (HR Muslim).
3. Kuat dan amanah
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (Qs : 28: 26).
4. Profesional "Sesungguhnya Allah sangat senang pada pekerjaan salah seorang di antara kalian jika dilakukan dengan profesional" (HR : Baihaqi)
5. Tidak aji mumpung karena KKN
Rasulullah SAW, "Barang siapa yang menempatkan seseorang karena hubungan kerabat, sedangkan masih ada orang yang lebih Allah ridhoi, maka sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang mukmin". (HR Al Hakim).
Umar bin Khatab; "Siapa yang menempatkan seseorang pada jabatan tertentu, karena rasa cinta atau karena hubungan kekerabatan, dia melakukannya hanya atas pertimbangan itu, maka seseungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin".
6. Menempatkan orang yang paling cocok
"Rasulullah menjawab; jika sebuah perkara telah diberikan kepada orang yang tidak semestinya (bukan ahlinya), maka tunggulah kiamat (kehancurannya)". (HR Bukhari).
B.
Pemimpin Pelayan Masyarakat
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ اَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Abul Asyhab dari Al Hasan, bahwasanya Abdullah bin Ziyad mengunjungi Ma'qil bin yasar ketika sakitnya yang menjadikan kematiannya, lantas Ma'qil mengatakan kepadanya; 'Saya sampaikan hadist kepadamu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; "Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanat kepemimpinan, namun dia tidak menindaklanjutinya dengan baik, selain tak bakalan mendapat bau surga."(HR. Bukhori)
Dalam pandangan
Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah swt. untuk
memimpin rakyat, yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggung jawabannya
oleh Allah swt. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan
diri dari tuntutan rakyatnya, karena ketidakadilannya misalkan, ia tidak akan
mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah swt. kelak di akhirat. Oleh karena
itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super
yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya,
ia harus berusaha memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat,
sebagaimana firman-Nya dalam al-Quran:
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.”(QS. asy-Syu’ara : 215)
Dalam sebuah
hadits yang diterima dari siti Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi saw. pernah
berdo’a,
“Ya
Allah, siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku lalu mempersulit
mereka, maka persulitlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku dan
berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya.”
Hal itu
menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya sangat peduli terhadap hambanya agar terjaga dari kezaliman para
pemimpin yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Pemerintah yang kejam
dikategoirikan sebagai sejahat-sejahatnya pemerintah.
Pemimpin yang
zalim yang tidak mau mengayomi dan melayani rakyatnya diancam tidak akan pernah
mencium harumnya surga apalagi memasukinya,sebagaimana disebutkan pada hadits
di atas.Oleh karena itu, agar kaum muslim terhindar dari pemimpin yang
zalim, berhati-hatilah dalam memilih seorang pemimpin. Pemilihan pemimpin
harus betul-betul didasarkan pada kualitas, integritas, loyalitas, dan
yang paling penting adalah perilaku keagamaannya. Jangan memilih mereka karena
didasarkan padarasa emosional, baik karena ras, suku bangsa, ataupun keturunan.
Karena jikamereka dapat memimpin, rakyatlah yang akan merasakan
kerugiannya.Menurut Quraish Shihab, dari celah-celah ayat al-Quran
ditemukansedikitnya dua pokok sifat yang harus disandang oleh seseorang yang
memikulsuatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal
tersebutharus diperhatikan dalam menentukan seorang pemimpin. Salah satu ayat
yang menerangkan tentang hal itu adalah ungkapan putri Nabi Syu’aib yang
dibenarkandan diabadikan dalam al-Quran:
Artinya:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya".(Q.S. al-Qashash : 26)
C. Batas
Ketaatan Kepada Pemimpin
Salah satu
kewajiban seorang muslim adalah taat kepada pemimpin. Ini didasarkan pada suatu
kenyataan bahwa, ketaatan merupakan sendi dasar tegaknya suatu kepemimpinan dan
pemerintahan. Tanpa ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin, kepemimpinan dan
pemerintahan tidak mungkin tegak dan berjalan sebagaimana mestinya. Jika rakyat
tidak lagi mentaati pemimpinnya maka, roda pemerintahan akan lumpuh dan akan
muncul fitnah di mana-mana. Atas dasar itu, ketaatan kepada pemimpin merupakan
keniscayaan bagi tegak dan utuhnya suatu negara. Bahkan, dasar dari ketertiban
dan keteraturan adalah ketaatan.
Rasulullah Saw
selalu menekankan kepada umatnya untuk selalu taat kepada pemimpin dalam
batas-batas syari’atnya. Nash-nash syara yang berbicara tentang ketaatan kepada
pemimpinan jumlahnya sangat banyak. Di dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. An Nisa (4): 59)
Imam
Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al
Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59
(Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan
‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim,
panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah
diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas
kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)
Jadi, makna
Ulil Amri begitu luas sebagaimana diterangkan para mufassir, mereka bisa
bermakna ulama, umara, khalifah, hakim, panglima perang, dan tentunya pemimpin
dalam da’wah (Qiyadah Da’wah). Bahkan dalam safar saja kita
disyariatkan menunjuk seseorang untuk menjadi pemimpin safar, lalu kita mentaatinya.
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
إذا كان ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
Artinya:
“Jika ada tiga orang melakukan perjalanan maka angkatlah salah seorang
mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Daud No. 2608, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra
No.10129. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 763)
Wajh Istidalal (sisi pendalilan)nya adalah jika dalam bepergian saja disyariatkan mengangkat seorang pemimpin, maka apalagi dalam hal yang lebih urgen dari itu seperti dakwah dan jihad. Ini diistilahkan dengan Qiyas Aula.
Maka, mentaati
para pemimpin-pemimpin ini adalah perintah Allah Ta’ala sebagaimana surat An
Nisa ayat 59 di atas. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga
memerintahkan kita untuk mentaati pemimpin.
Demikian konsep
dasar ketaatan antara rakyat dengan pemimpinnya, umat dengan ulama, dan junud
dengan qiyadahnya.
Apakah Ketaatan
Mutlak?
Tidak ada
ketaatan mutlak kecuali kepada Allah Ta’ala dan RasulNya. Oleh karenanya dalam
surat An Nisa ayat 59, kata athi’uu (taatilah) hanya pada Allah dan RasulNya,
tidak pada Ulil Umri. Qiyadah seperti apa yang berhak mendapatkan ketaatan dari
umatnya (baca: kader)? Al Hafzih Ibnu Hajar mengatakan setiap yang
memerintahkan dengan kebenaran dan dia seorang yang adil, maka dia adalah
pemimpin yang oleh Asy Syaari’ (pembuat syariat) diperintahkan agar
memerintah dengan syariatNya. (Fathul Bari, 20/152)
Jadi,
patokannya adalah syariat, sejauh mana ketaatan pemimpin tersebut kepada Allah
dan RasulNya, dan syariat yang diajarkan oleh RasulNya. Sejauh mana pula
kebenaran perintah mereka dalam timbangan syariah. Namun, sebagain ulama
Ahlus Sunnah tetap mempertahankan bahwa pemimpin yang fasiq tetaplah harus
ditaati perintahnya yang baik-baik, ada pun kefasiqannya ditanggung oleh
dirinya sendiri sesuai hadits di atas. Untuk perintah yang maksiat kepada Allah
Ta’ala dan RasulNya, maka semua ulama sepakat tidak ada ketaatan kepada
pemimpin yang memerintah seperti itu. Banyak hadits yang menegaskan hal demikian,
di antaranya:
Dari Ali bin
Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
لَا
طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Artinya:
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu
hanya ada pada yang ma’ruf (dikenal baik).” (HR. Bukhari No. 7257, Muslim
No. 1840, Abu Daud No. 2625. An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 7828, 8721,
Ahmad No. 724. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, No. 16386)
“Seorang muslim
wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya
maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan
maksiyat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat, maka ia tidak wajib
mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Dari hadits-hadist
ini para ulama sepakat, bahwa yang tidak ditaati adalah perintahnya saat ia
memerintahkan perintah yang maksiat tersebut, baik perintah itu datangnya dari
pemimpin yang adil atau zalim terhadap rakyatnya, suami ke pada isterinya,
orang tua kepada anaknya, jenderal kepada prajuritnya, dan sebagainya.
BAB
III
KESIMPULAN
Ø Setiap individu adalah pemimpin, baik pemimpin bagi dirinya
sendiri, keluarga, ataupun penguasa terhadap masyarakatnya. Dan seetiap
kepemimpinan mereka kelak akan diminta pertanggung jawabanya dihadapan Allah
SWT.
Ø Setiap pemimpin adalah orang
yang diberi amanat oleh rakyatnya, maka mereka yang bisa menjalankan amanah itu
dengan baik itulah yang di kategorikan sebagai pemimpin yang baik, dan mereka
yang tidak menjalankan amanah serta bertindak sewenang-wenang terhadap
masyarakatnya maka itulah pemimpin yang dzalim, dan dia tidak akan pernah
mencium baunya surga.
Ø Kita wajib taat kepada pemimpin selama pemimpin itu masih dalam
jalan yang lurus, artinya selama kita masih diperintahkan untuk berbuat yang
baik maka selama itu kita wajib taat, dan selama pemerintah itu memerintah kita
kepada perbuatan maksiat maka selama itu kita tidak wajib taat. Artinya kita
harus taat kepada pemimpin selama pemimpin itu tidak keluar dari syariat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar