Kotak Saran

tombol masukan dan saran

Kamis, 19 Februari 2015

Makalah Tarikh Tasyrih: Penetapan Hukum dan Sumber Hukum Islam Pada Masa Sahabat Generasi Kedua



 BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Telah kita ketahui bersama bahwa sumber penetapan hukum di masa Nabi adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dua hal tersebut merupakan rujukan tertinggi dalam berfatwa dan memutuskan suatu hukum. Namun setelah Nabi wafat dan Wahyu tidak turun lagi, maka kepemimpinan umat dalam urusan dunia dan agama, beralih ke tangan Khulafa al-Rasyidin dan pra sahabat yang terkemuka. Mereka itulah yang mulai memikul beban dan bangkit dengan tugas yang berat.
Selanjutnya para sahabat menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, ketentaraan, perkawinan, pajak, cara menetapkan hukum di pengadilan, dan lain-lain. Dalam menjawab hukum persoalan yang baru, maka para sahabat terlebih dahulu merujuk ke Al-Qur'an, bila tidak ada disana, mereka berpindah ke Al-hadits dan setelah tidak ada al-hadits, maka para sahabat tersebut baru Berijtihad.
Setelah masa khalifah yang keempat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya oleh dipimpin Bani Umayah. Pemerintahan ini didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Supyan yang sebelumnya menjadi Gubernur Damaskus. Pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam lebih banyak diwarnai unsur-unsur kepentingan politik dan lain sebagainya. Hukum yang dibuat tidak lagi didahului oleh Wahyu melainkan didahului oleh akal. Sehingga dalam penetapannya tidak memberikan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Hanya menguntungkan segolongan orang saja. Ketetapan ini bisa dilihat dari ketetapan hukum yang diambil oleh masing-masing golongan (mazhab) yang akan kita bahas dalam makalah ini. Hanya sebagian kecil saja pada masa ini yang benar-benar menentukan hukum sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam sumber hukum Islam.
Walaupun dasar yang diambil adalah Al-Qur'an dan sunnah, akan tetapi hanya mengambil sebagian-sebagiannya saja. Sehingga dalam segi penafsirannya menimbulkan ketimpangan-ketimpangan hukum.
B.       Ruang Lingkup Pembahasan
Adapun masalah yang akan kami bahas disini adalah sebatas Bagaimana Penetapan Hukum dan Sumber Hukum Islam Pasa Masa Sahabat Generasi Kedua?
C.      Maksud dan Tujuan Penulisan
Adapun maksud dari penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Tarikh Tasyri. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk bisa dijadikan acuan dalam penetapan hukum pada zaman sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh generasi-generasi sebelumnya yaitu pada masa Nabi dan para sahabat

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Penetapan Hukum Pada Masa Sahabat Generasi Kedua (Tabi’in)
1.    Kondisi Hukum Islam Pada Masa Ini
Kondisi hukum Islam pada masa ini dapat digambarkan dalam beberapa hal. Pertama, hukum Islam pada periode ini berjalan sebagaimana halnya pada periode kedua, Dari segi sandarannya yaitu Al-Qur'an, sunnah, Ijma, dan Qiyas. Namun prinsip musyawarah belum kembali berkedudukan sebelumnya. Hal ini disebabkan kaum muslimin berpencar-pencar dan pertengkaran mereka sekitar kekhalifahan serta siapa yang lebih berhak mendudukinya. Disebabkan hal itu mereka terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu Khawarij, Syi’ah dan Jumhur yang sedang-sedang saja. Kedua, para ulama Islam berpencar diberbagai daerah, mereka tidak kembali berkumpul dalam satu daerah sebagaimana pada periode sebelumnya. Ketiga, orientasi mayoritas ulama yang lurus mengarah pada dua sisi dalam perselisihan dibidang Fiqh, yaitu sebagian dari mereka mengambil dari nash-Nash (ahli hadits) saja dan sebagian lagi mengambil sinar (Ruh) dari nash-nash dalam mengetahui hukum-hukum lain melalui jalan analogi dan mereka biasa disebut ahli Ra’yu. Keempat, tersebarnya periwayatan ahli hadits, setelah sebelumnya mereka takut berdosa karena khawatir mendustakan Rasulullah, namun kebutuhan mendorong mereka untuk melakukan hal itu. Kelima, munculnya para pembuat hadits palsu dengan memperbanyak kebimbangan. Keenam, munculnya Mawali (budak-budak) yang pengetahuannya banyak didayagunakan Islam. (As-Sayis: 2003, 93)
2.    Faktor Yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam
Diantara faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam antara lain adalah:
a)    Perluasan Wilayah
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, ekspansi dunia Islam dilakukan sejak zaman khalifah. Langkah awal yang dilakukan Mu’awiyah dalam rangka menjalankan pemerintahan adalah memindahkan ibu kota negara, dari Madinah ke Damaskus. Mu’awiyah kemudian melakukan ekspansi ke barat hingga dapat menguasai Tunisia, Aljazair, dan Maroko sampai ke pantai samudra Atlantik. Penaklukan ke Spanyol dilakukan pada zaman pemerintahan Walid ibn Abd al-malik (705-715 M). Banyaknya daerah baru yang dikuasai berarti banyak pula persoalan yang dihadapi oleh umat Islam, persoalan tersebut perlu diselesaikan berdasarkan Islam. Karena ini merupakan petunjuk dari manusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam; karena semakin luas wilayah yang dikuasai berarti semakin banyak penduduk di negeri muslim, dan semakin banyak penduduk, semakin banyak pula persoalan hukum yang harus diselesaikan.
b)   Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada zaman ini, fuqaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mazhab atau aliran hadits dan aliran ra’yu. Aliran hadits adalah golongan yang lebih banyak menggunakan riwayat dan sangat “Hati-hati” dalam penggunaan ra’yu, sedangkan aliran ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan aliran hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum Islam itu semakin mendorong perkembangan iktilaf, dan pada saat yang sama pula semakin mendorong perkembangan hukum Islam. (Mubarok, 2000: 54)
3.     Faktor Yang Menyebabkan Perbedaan Pendapat Di kalangan Tokoh Tasyri’
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan tokoh tasyri’ sahabat dalam menetapkan hukum terhadap berbagai kasus yang terjadi, diantaranya:
a)    Nas-nas hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah sangat banyak tidak bersifat qath’iyah al-dalalah (tidak tegas indikasinya) terhadap apa yang dimakus nas itu.
b)   Sunnah Nabi saw, yang telah tersebar di kalangan umat Islam belum terbukukan dan belum ada consensus untuk menghimpun sunnah dalam satu koleksi yang dijadikan sebagai pedoman bersama.
c)    Lingkungan tempat mereka hidup dan menetap berbeda-beda. Demikian pula kemaslahatan dan kebutuhan yang menjadi dasar pertimbangan dalam menerapkan hukum bertingkat-tingkat juga, misalnya Abdullah bin Umar yang tinggal dan menetap di Madinah tidak mengalami seperti yang dialami oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan di syam. Demikian juga tidak mengalami seperti apa yang dialami oleh Abdullah bin Mas’ud yang hidup dan menetap di Kuffah.
Demikian ketiga sebab tersebut diatas, maka fatwa hukum yang sampaikan oleh para sahabat mengenai suatu peristiwa berbeda-beda dan masing-masing mereka mempunyai dasar argumentasi atas apa yang difatwakannya itu, (Khallaf, 2002: 57).
4.    Pemegang Kekuasaan Tasyri’ Pada Periode Tadwin
Pada akhir abad pertama hijriah para sahabat yang telah banyak mengeluarkan fatwa dan menetapkan hukum-hukum telah tersebar di berbagai kota besar diikuti oleh generasi tabi’in. Generasi tabi’in mengambil dan menerima pelajaran dari para sahabat mengenai tafsir Al-Qur'an, hadits, fikih, fatwa-fatwa mereka dan mengetahui rahasia-rahasia penetapan hukum, serta metode-metode penetapan hukum itu. Diantara para tabi’in ada yang meminta fatwa kepada para sahabat dan ada juga yang sudah tampil memberikan fatwa ketika pada sahabat masih hidup, seperti Said bin al-Musayyab di Madinah, Al-Qamah bin Qais dan Said bin Jubair di Kuffah. Bahkan ada riwayat, bahwa ketika penduduk Kufah pergi menunaikan ibadah haji dan mereka minta fatwa kepada Ibnu Abbas Ibnu Abbas menjawab: “Bukankah di antara kalian ada Said bin Jubair?”
Para tabi’in ini selanjutnya diikuti juga oleh generasi berikutnya yaitu para tabi’in-tabi’in. Para tabi’in-tabi’in ini mengambil dan menerima pengetahuan dari para tabi’in sebagaimana halnya yang mereka terima dari pada sahabat, yaitu mengenai Al-Qur'an dan tafsirnya, hadits, fikih, dan rahasia-rahasia tasyri’ serta metodenya. Kemudian, selanjutnya pada generasi tabi’in inilah sebagai tempat belajar dan menerima informasi oleh generasi imam-imam mujtahid yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal) dan tokoh-tokoh tasyri lainnya yang hidup sezaman dengan mereka.
Ketika tokoh-tokoh tasyri dari kalangan sahabat telah wafat dan berakhir periodenya, maka kekuasaan tasyri di warisi dan dilanjutnya oleh kader dan generasi mereka yaitu para tabi’in. kemudian setelah periode tabi’in juga berakhir, maka pemegang peranan pengembangan hukum Islam diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan generasi mereka yaitu tabi-tabi’in. selanjutnya, sesudah masa tabi’-tabi’in ini juga berakhir, maka para imam mujtahid yang empat bersama tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang memegang kekuasaan peran dalam mengembangkan hukum Islam.
B.       Sumber Hukum Islam Pasa Masa Sahabat Generasi Kedua
Secara umum tabi;in mengikuti langkah – langkah penetapan dan pnerapan hukum yang telah dilakukan sahabat dalam mengeluarkan hukum. Langkah – langkah yang mereka lakukan di antaranya mencari ketentuannya dalam al-qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada dalam al – qur’an, mereka mencarinya dalam al – sunnah. Apabila tidak di tetapkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah mereka kembali kepada pendapat sahabat.  Dan apabila pendapat sahabat didak diperoleh maka mereka berijtihad. Dengan demikian sumber hukum pada tabi’in adalah al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ (qaul) sahabat, dan ijtihad.


BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dari penjelasan yang singkat di atas maka dapat kita simpulkan bahwa :
1.      Kondisi hukum Islam pada masa ini dapat digambarkan dalam beberapa hal. Pertama, hukum Islam pada periode ini berjalan sebagaimana halnya pada periode kedua, Dari segi sandarannya yaitu Al-Qur'an, sunnah, Ijma, dan Qiyas. Namun prinsip musyawarah belum kembali berkedudukan sebelumnya. Hal ini disebabkan kaum muslimin berpencar-pencar dan pertengkaran mereka sekitar kekhalifahan serta siapa yang lebih berhak mendudukinya. Kedua, para ulama Islam berpencar diberbagai daerah, mereka tidak kembali berkumpul dalam satu daerah sebagaimana pada periode sebelumnya. Ketiga, orientasi mayoritas ulama yang lurus mengarah pada dua sisi dalam perselisihan dibidang Fiqh, yaitu sebagian dari mereka mengambil dari nash-Nash (ahli hadits) saja dan sebagian lagi mengambil sinar (Ruh) dari nash-nash dalam mengetahui hukum-hukum lain melalui jalan analogi dan mereka biasa disebut ahli Ra’yu. Keempat, tersebarnya periwayatan ahli hadits, setelah sebelumnya mereka takut berdosa karena khawatir mendustakan Rasulullah, namun kebutuhan mendorong mereka untuk melakukan hal itu. Kelima, munculnya para pembuat hadits palsu dengan memperbanyak kebimbangan. Keenam, munculnya Mawali (budak-budak) yang pengetahuannya banyak didayagunakan Islam.
2.      Para sahabat dalam menetapkan suatu hukum sering terjadi perbedaan diantara para sahabat-sahabat itu sendiri
3.      Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam pada masa tabiin ini banyak diwarnai dengan unsur-unsur kepentingan politik. Ini bisa dilihat dari banyaknya hukum-hukum yang hanya menguntungkan segelintir golongan saja.
4.      Faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah perluasan kekuasaan dan perbedaan penggunaan ra’yu.
5.      Terjadinya perbedaan pendapat dalam penetapan hukum adalah banyak nas-nas yang masih bersifat umum, sunnah yang belum dibukukan dan lingkungan yang berbeda.
6.      sumber hukum pada tabi’in adalah al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ (qaul) sahabat, dan ijtihad.

B.       Saran
Semoga apa yang telah kami bahas dan kami tuliskan disini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi penulis sendiri. Selain itu juga kami harapkan makalah ini dapat dijadikan bahan acuan sebagai penetapan dan sumber hukum dalam islam sebagaimana yang telah di tetapkan sejak zaman Rasulullah.

Makalah Sejarah Peradaban Islam: Peradaban Bangsa arab pra Islam dan sistem dakwah rasulullah



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sejak awal perkembangan islam tumbuh dalam pergumulan dengan pemikiran dan peradaban umat manusia yang dilewatinya, karena terlibat dalam proses drasetika yang didalamnya terjadi pengambilan dan pemberian cikal bakal pertumbuhan dan pembentukan peradaban islam dibangun dengan menjadikan agama islam sebagai dasar pembentukannya.
Persoalan yang tak kalah seriusnya yaitu moral masyarakat jahiliyah yang pada saat itu masih buta akan sebuah kebenaran. Melihat realitas peradaban Islam sebelumnya sudah mengenal kehidupan politik, sosial, ekonomi, bahasa, dan seni tapi semua itu masih sangat sederhana dan sangat ironis. Akan tetapi setelah Islam datang yang merupakan Rohmatal lil ‘Alamin (Rohmat bagi seluruh alam). Dan kehidupan umat pun makin terarah.
B.  Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana peradaban masyarakat Arab pra islam?
2.    Bagaimana sistem dakwah Rosululloh?
3.    Bagaimana pendidikan islam di Makkah?
4.    Bagaimana pembentukan sistem sosial, politik dan ekonomi yang dilakukan Rosululloh?
5.    Bagaimana Sistem Militer yang dilakukan Rosululloh?
6.    Bagaimana tentang sumber keuangan Negara?
C.  Tujuan Pembahasan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan yang ingin dicapai pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Mahasiswa dan mahasiswi mampu memahami tentang peradaban masyarakat arab sebelum islam datang.
2.    Mahasiswa dan mahasiswi mampu mengetahui tentang tata cara atau sistem dakwah Rosululloh.
3.    Mahasiswa dan mahasiswi mampu mengetahui pendidikan islam di makkah.
4.    Mahasiswa dan mahasiswi mampu mengetahui tentang pembentukan sistem sosial, politik dan ekonomi yang dilakukan Rosululloh.
5.    Mahasiswa dan mahasiswi mengetahui tentang sistem militer yang dilakukan Rosululloh.
6.    Mahasiswa dan mahasiswi mengetahui tentang sumber keuangan Negara.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Peradaban Masyarakat Makkah Pra Islam
Sebelum datangnya Islam, Mekkah adalah seperti wilayah Arabia lainnya yaitu kota dengan penduduk dengan masyarakat pastoral (pengembala). Beberapa faktor membawa beberapa perubahan sosial, seperti jumlah berhala yang ada di Mekkah dan persiapan menuju agama monotheisme.
Bangsa Arab berpindah-pindah, karena tanahnya terdiri atas gurun pasir yang kering dan sangat sedikit turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa atau padang rumput yang tumbuh secara sporadis di tanah Arab di sekitar oasis atau genangan air setelah turn hujan.
Mekkah adalah kota yang memikat bagi para pedagang dari banyak penjuru Arabia maupun luar Arabia. Masyarakat Mekkah diakui sebagai pedagang eceran yang handal dibandingkan dengan masyarakat lain kala itu. Perdagangan menjadi sangat esensial dan diberi apresiasi lebih oleh masyarakatnya. Tampaknya apresiasi orang Arab ini tidak bisa disingkirkan oleh agama Islam. Ada banyak kata-kata dalam Alquran al-Karim yang diambil dari imajinasi perdagangan, seperti ajr, tsawab dan lain sebagainya. Begitu juga dengan aturan-aturan yang diberikan oleh Islam, perdagangan merupakan salah satu hal yang bayak diatur di dalam Al-Quran.[1]
B.  Fase Makkah
1.    Sistem Dakwah Rosululloh
Rasulullah SAW lahir dan berkembang di Mekkah yang masyarakatnya sedang mengalami masa transisi yang hebat dalam berbagai bidang, seperti sosial, agama dan politik. Ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad pada umumnya merupakan keinginan untuk memperbaiki dan menyelamatkan masyarakat Mekkah dalam menjalani masa transisi ini.
Dalam faktanya, Muhammad SAW tidak bisa menjalankan dakwahnya secara efektif yang membuahkan hasil yang memuaskan. Beberapa kondisi ikut melatari ketidak efektifan dakwah Muhammad di Mekkah. Penganut yang berhasil dipengaruhi oleh Muhammad pun tidak seberapa jumlahnya karena memang beliau tidak bisa melaksanakan dakwahnya secara terang-terangan. Akhirnya Nabi pun dakwah secara sembunyi-sembunyi, hal ini telah di ketahui oleh quraisy, akan tetapi dalam fase seruan dengan cara sembunyi ini quraisy tidak memperdulikannya, karena mereka sungguh tiada mengira bahwa seruan itu akan hidup dan kuat, dan akan di anut oleh orang yang banyak.
Ada beberapa fase yang dijalani oleh nabi Muhammad dalam memulai dan mengembangkan ajaran yang beliau bawa.[2]
a.    Fase dakwah sembunyi-sembunyi
Pada fase ini Rasul hanya mengajak kerabat-kerabatnya untuk ikut memeluk agama Islam yang beliau bawa. Mereka diseru untuk meyakini ajaran-ajaran pokok yang terkandung dalam wahyu yang ia terima.
Pada fase ini, beliau berhasil mengajak beberapa orang untuk memeluk agama Islam, seperti Istrinya, Ali bin Abi Thalib, Zaid, Abu Bakar. Tidak lama setelah mereka menganut agama Islam, barulah kemudian beberapa orang dengan jumlah yang lebih banyak mau menerima ajakan Muhammad untuk memeluk agama Islam.
b.   Fase Dakwah Terang-Terangan
Ada dua fase yang dijalani oleh Rasulullah pada saat itu, yang pertama adalah menjalankan dakwah dengan mengajak kerabatnya dengan terang-terangan. Setelah menerima perintah untuk berdakwah secara terang-terangan kepada kerabatnya, maka Rasulpun lalu menyeru mereka di bukit Shafa.
Fase selanjutnya adalah menyeru tidak hanya kerabatnya akan tetapi semua orang. Fase ini dimulai dengan turunnya ayat Al-Quran surah Al-Hijr : 94. Setelah turunnya ayat ini, mulailah Rasulullah SAW menyerukan agama islam kepada semua orang, hingga penduduk luar Mekkah yang datang untuk mengunjungi Ka’bah. Kemudian sesudah Rasulallah mulai menyeru dengan terang-terangan, maka kaum quraisy menyatakan tantangannya terhadap agama baru itu. Dan mereka coba hendak memebunuh agama ini dengan cara apapun.[3]
2.    Pendidikan Islam Di Makkah
a.    Pendidikan tauhid dalam teori dan praktek
Intisari pendidikan islam pada periode Makkah adalah ajaran tauhid. Pendidikan tauhid merupakan perhatian utama Rasulallah ketika di Makkah. Pada saat itu masyarakat jahiliyah sudah banyak yang menyimpang pada ajaran tauhid yang telah di bawa oleh nabi ibrahim. Karena tauhid merupakan pondasi yang paling dasar, maka harus di tata dulu dengan kuta.
Pokok-pokok ajaran ini sebagaimana tercermin dalam surat Al-Fatihah, yang pokok-pokoknya sebagai berikut :
1)   Bahwa Allah adalah pencipta alam semesta yang sebenarnya. Itulah sebabnya, maka beliaulah yang berhak mendapatkan segala pujian.
2)   Bahwa Allah telah memberikan nikmat, memberikan segala keperluan kepada makhluknya dan khusus bagi manusia di tambah dengan petunjuk dan bimbingan agar mendapat kebahagiaan di dunia dan di akherat.
3)   Bahwa Allah adalah raja di kemudian hari yang akan memperhitungkan amal perbuatan manusia di bumi ini.
4)   Bahwa Allah adalah sesembahan yang sebenarnya dan yang satu-satunya. hanya kepada Allah segala bentuk pengabdian di tunjukan.
5)   Bahwa Allah adalah penolong yang sebenarnya, dan oleh karena itu hanya kepadanyalah manusia meminta pertolongan.
6)   Bahwa Allah lah yang sebenarnya membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia dalam mengarungi kehidupan manusia yang penuh rintangan,tantangan dan godaan.
b.   Pengajaran Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan intisari dan ajaran pokok dari ajaran islam yang di sampaikan Nabi Muhammad SAW kepada umat. Tugas Muhammad di samping mengajarkan Tauhid juga mengajarkan Al-Qur’an kepada umatnya agar secara utuh dan sempurna menjadi milik umatnya yang selanjutnya akan menjadi warisan secara turun menurun dan menjadi pegangan serta pedoman hidup bagi kaum muslimin sepanjang zaman.
Rasulallah bersabda “aku tinggalkan dua perkara,apabila kamu berpegang teguh kepadanya, maka kamu tidak akan tersesat, yaitu Al-Qur’an dan sunnah”. Semua yang di sampaikan oleh Rasulallah kepada umatnya adalah berdasarkan Al-Qur’an. Bahkan di katakan dalam sebuah hadits, bahwa akhlak Rosul adalah Al-Qur’an. Apa yang di contohkan Rasul adalah cermin isi Al-Qur’an. Sehingga kalau umat islam mau berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan hadits Nabi, maka di jamin mereka tidak akan tersesat.[4]
C.  Fase Madinnah
Setelah peristiwa isra’ dan mi’raj, ada suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah islam. Perkembangan mana datang dari jumlah penduduk yatsrib yang berhaji ke mekkah. Tatkala gejala-gejala kemenangan di yatsrib (madinnah) Nabi menyuruh para sahabatnya untuk pindah kesana dalam waktu dua bulan hampir semua kaum muslimin kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan kota mekah untuk mencari perlindungan kepada kaum muslimin yang baru masuk ke yatsrib.
Dalam perjalanannya mengemban wahyu Allah, Nabi memerlukan suatu strategi yang berbeda dimana pada waktu di mekah Nabi lebih menonjolkan dari segi tauhid dan perbaikan akhlak, tetapi ketika di madinnah Nabi lebih banyak berkecimpung dalam pembinaan atau pendidikan sosial masyarakat karena disana beliau di angkat sebagai Nabi sekaligus sebagai kepala negara.
Persoalan yang di hadapi oleh Nabi ketika di madinnah jauh lebih kompleks di banding ketika di mekah. Di sini umat islam sudah berkembang pesat dan harus hidup berdampingan dengan sesama pemeluk agama yang lain, seperti yahudi dan nasrani. Oleh karena itu pendidikan yang di berikan oleh Nabi juga mencangkup urusan-urusan muamalah atau tentang kehidupan masyarakat dan politik.
Setelah Nabi berhijrah ke madinnah, dan manusia telah berbondong-bondong masuk ke agama Islam, mulailah Nabi membentuk suatu masyarakat baru, dan meletakan dasar-dasar untuk suatu masyarakat yang besar yang sedang di tunggu-tunggu oleh sejarah.

1.    Pembentukan Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi
Islam adalah agama dan sudah sepantasnya jika dalam negara di letakan dasar-dasar islam maka turunlah ayat-ayat Al-Qur’an pada periode ini untuk membangun legalitas dari sisi-sisi tersebut sebagaimana di jelaskan oleh Rasulallah dengan perkataan dan tindakannya hiduplah kota madinnah dalam sebuah kehidupan yang mulia dan penuh dengan nilai-nilai utama. Terjadi sebuah persaudaraan yang jujur dan kokoh, ada solideritas yang erat di antara anggota masyarakatnya. Dengan demikian berarti bahwa inilah masyarakat islam pertama yang di bangun Rasulallah dengan asas-asasnya yang abadi.[5]
Rasulallah membangun tempat-tempat ibadah yang selain di dalamnya bertujuan untuk ibadah tetapi juga untuk mempersatukan kaum muslimin dengan musyawarah dalam merundingkan masalah-masalah yang di hadapi. Selain itu menjadi pusat pemerintahan yang mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar. Persaudaraan di harapkan dapat mengikat kaum muslimin dalam persaudaraan dan kekeluargaan. Rasulallah juga membentuk persaudaraan yang baru yaitu persaudaraan seagama, di samping persaudaraan yang sudah ada sebelumnya, yaitu bentuk persaudaraan berdasarkan darah. Dan membentuk persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama islam serta membentuk pasukan tentara untuk mengantisipasi gangguan-gangguan yang di lakukan oleh musuh.[6]
Mengomentari tentang perubahan nama yatsrib menjadi madinnah, dalam pandangan nurkholis madjid, bahwa agenda-agenda politik kerasulan telah di letakan dan beliau bertindak sebagai utusan Allah, kepala negara, komandan tentara dan pemimpin kemasyarakatan. Semua yang di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW di kota hijrah itu merupakan refleksi dari ide yang terkandung dalam perkataan Arab madinnnah dalam arti itu sama  dengan hadharah dan tsaqarah, yang masing-masing sering di terjemahkan, berturut-turut peradaban dan kebudayaan, tetapi secara etimologis mempunyai arti pola kehidupan menetap sebagai lawan badawah yang berarti ”pola kehidupan mengembara”, nomad. Oleh karena itu perkataan madinnah dalam peristilahan moderen menunjuk pada semangat dan pengertian civil society, suatu istilah inggris yang berarti “masyarakat sopan, beradab, dan teratur” dalam bentuk negara yang baik. Dalam arti inilah harus di pahami kata-kata hikmah dalam bahasa Arab, (Al insanu madniy-un bi ath thab’i)”manusia menurut naturnya adalah bermasyarakat budaya” .
2.    Sistem Militer
Muhammad tidak mempunyai sengketa dengan siapapun, baik orang quraisy, yahudi atau suku lain di negeri Arab. Beliau adalah seorang yang penuh kebajikan yang mengajak mereka untuk kembali kejalan Allah, jalan ketakwaan, kebajikan dan keadilan.
Suku quraisy menentangnya dan menimbulkan kesulitan yang hebat atas dirinya dan diri para pengikutnya. Sampai mereka terpaksa meninggalkan kota kediamannya dan mencari perlindungan di Madinnah. Tetapi mereka tidak membiarkannya untuk hidup damai di sana dan menyerang mereka dengan bantuan suku arab lainnya.
dalam rangka memusnahkan mereka dan kepercayaannya. Dalam keadaan demikian kalau tidak ada alternatif lain kecuali mati atau perlawanan teratur untuk mempertahankan kepercayaannya. Maka Muhammad memilih yang terakhir. Tujuannya bukanlah untuk membunuh, tetapi untuk mengajak menusian ke jalan kehidupan yang benar. Dan dasar dari kebijaksanaan perangnya adalah untuk melemahkan musuh sehingga mereka dapat mengakhiri perlawanan, penolakannya, permusuhannya terhadap tugas Nabi dan bekerja sama dan hidup dalam damai.[7]
3.    Sumber Keuangan Negara
Dalam Al-Qur’an dan hukum islam di kemukakan bahwa sumber keuangan umat Islam yang utama adalah zakat dan shadaqoh, yang di ambil dari kaum muslimin sendiri dan di daya gunakan untuk berbagai hal, khususnya untuk kaum miskin dan perjuangan di jalan Allah.
Namun dengan semakin luasnya kawasan dunia islam, sumber keuangan khalifah menjadi berbeda. Para khalifah tidak lagi mendasarkan diri pada zakat dan shadaqoh, yang pernah menjadi pemicu kemurtadan sekelompok orang dan hampir memecah belah kesatuan umat islam yang baru tumbuh. Sumber khalifah kini di gali dengan di dasarkan pada sistem keuangan byzantium dan lain-lainnya. Sehingga, di tangan kaum muslimin waktu itu, sistem keungan dan sumber pendapatan negara mengalami perkembangan besar.
Pendapatan khilafah islam, pertama-tama di dasarkan pada sistem perpajakan yang berasal dari yunani dan di kenal oleh kaum muslimin dengan sebutan Al-kharraj. Pajak ini di kenakan terhadap bumi dan lahan pertanian kawasan-kawasan baru milik orang-orang byzantium dan persia. Bumi dan barang-barang tersebut tetap menjadi hak milik mereka sesuai dengan ketentuan akidah Islam yang menghormati hak milik pribadi.
Ketika dinasti abasyiah muncul, sistem tersebut mengalami perubahan. Bumi pada masa ini berubah menjadi milik negara, bukan milik umat Islam lagi. Negara pun menjadi berhak sepenuhnya atas bumi, akan tetapi sistem ini tidak membuat para petani menjadi budak dan tidak membatasi kegiatan mereka seperti halnya yang terjadi di eropa.
Dalam kaitannya dengan urusan keuangan silam, perlu di kemukakan pula sistem keuangan Islam. Pada mulanya mata uang yang di pakai bukan berasal dari kawasan dunia Islam, sebab ketika kaum muslimin baru melebarkan sayapnya, mereka belum lagi mengenal industri mata uang Islam. Karenanya pada mulanya mereka tetap memakai mata uang yang di pakai sebelumnya di kawasan-kawasan baru yang mereka kuasai.
Mata uang yang benar-benar bercorak islami barulah dibuat pada masa khalifah Abdul Malik Bin Marwan. Pembuatan mata uang masa itu di dasarkan pemikiran bahwa mata uang selain memiliki nilai ekonomis juga sebagai pernyataan kedaulatan dinasti islam.[8]





BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan diatas, maka kami penyusun menyimpulkan dalam bentuk beberapa poin. Diantaranya yaitu:
1.    Mekkah adalah seperti wilayah Arabia lainnya yaitu kota dengan penduduk dengan masyarakat pastoral (pengembala). Selain itu banyak pedagang-pedagang diantaranya pedagang eceran.
2.    Sistem dakwah yang dilakukan Rosululloh saw yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan.
3.    Pendidikan islam di makkah yang dipelajarinya yaitu tentang tauhid dalam teori dan praktek juga memperdalam tentang pengajaran Al-Qur’an.
4.    Rasulallah membangun tempat-tempat ibadah yang selain di dalamnya bertujuan untuk ibadah tetapi juga untuk mempersatukan kaum muslimin. Terjadi sebuah persaudaraan yang jujur dan kokoh, ada solideritas yang erat di antara anggota masyarakatnya.
5.    Sistem militer yang dilakukan Rosululloh dengan cara perang dengan tujuan untuk melemahkan musuh sehingga mereka dapat mengakhiri perlawanan, penolakannya, permusuhannya terhadap tugas nabi dan bekerja sama dan hidup dalam damai.
6.    Sumber keuangan umat islam yang utama adalah zakat dan shadaqoh, yang di ambil dari kaum muslimin sendiri dan di daya gunakan untuk berbagai hal, khususnya untuk kaum miskin dan perjuangan di jalan Allah

B.  Saran
Sebagai akhir dari penyusunan makalah ini diharapkan agar apa yang telah diajarkan oleh rasulullah sebagaimana tertuang dalam pembahasan tadi dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya di negara kita Indonesia ini yang sebagian besar masyarakatnya adalah mayoritas Islam.



[1] Karim Pamela, http// fase-makkah-dan-fase-madinnahdd.html. Diunduh pada 20 maret 2013 pukul 19.00 WIB
[2] Karim Pamela, http// fase-makkah-dan-fase-madinnahdd.html
[3] Karim Pamela, http// fase-makkah-dan-fase-madinnahdd.html
[4] Karim Pamela, http// fase-makkah-dan-fase-madinnahdd.html
[5] Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam. hlm. 64
[6] Ibid. Hal 64
[7] Afzalur Rahman. Nabi Muhammad Sebagai Seorang Pemimipin Militer. hlm.  37.
[8] Muhammad Quthb. Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam. hlm. 88