BAB VI
PUTUSAN HAKIM
A. Arti Putusan Hakim atau Putusan Pengadilan
Setelah
pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan penggugat, jawaban
terguigat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang
diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat selesai dan pihak-pihak yang
berperkara sudah tidak ada lagi yang
ingin dikemukakan, maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara
tersebut.
Arti putusan
hakim adalah : suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melaibkan juga pernyataan
yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di
persidangan. (Sudikno Mertokusumo, 1981 : 167).
Bentuk
penyelesain perkara di pengadilan dibedakan atas dua yakni : putusan atau
vonis, dan penetapan atau Beschikking. Suatu
(perkara), sedangkan suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu
permohonan, yaitu dalam rangka yang dinamakan yurisdiksi voluntair (misalnya pengangkatan wali).
B. Susunan dan Isi Putusan
Dalam wujud atau
bentuknya suatu putusan hakim terdiri dari “kepala” (judul), pertimbangan-pertimbangan
dan “amar” atau “diktum”. (R. Subekti, 1982: 168). Suatu putusan hakim terdiri
dari 4 bagian yaitu: 1) kepala putusan; 2) identitas para pihak; 3)
pertimbangan dan 4) amar. (Sudikno Mertokusumo, 1981 : 177).
C. Macam-Macam Putusan Hakim
Pasal 185 HIR/196 HRG menentukan, putusan yang
bukan merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan juga,
tidak dibuat secara terpisah, melainkan hanya ditulis dalam berita acara
peresidangan saja. Kedua belah pihak bisa meminta supaya kepada mereka diberi
salinan yang sah dari putusan itu dengan ongkos sendiri. Selanjutnya pasal 190
(1) HIR/201 (1) RBG menentukan, bahwa putusan sela hanya dapat dimintakan
banding bersama-sama permintaan banding terhadap putusan akhir. Dari ketentuan
tersebut, maka dapat dibedakan putusan pengadilan atas dua (2) macam yaitu;
putusan sela (tussen vonnis) dan
putusan akhir (eind vonnis). Putusan
sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan
tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
Putusan akhir
adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan,
meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
D. Kekuatan Putusan Hakim
Putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut
ketentuan undang-undang, tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya
hukum biasa melawan putusan itu. Jadi keputusan yang tidak dapat diganggu
gugat. Sedangkan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah
putusan hakim yang menurut ketentuan perundang-undangan masih terbuka
kesempatan untuk menggunakan upaya hukum untuk melawan putusan itu misalnya
perlawanan (verzet), banding dan
kasasi.
E. Putusan Hakim yang dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu
Pasal 180 (1)
HIR/191 (1) RBG menentukan, pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya
putusan dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan, atau banding,
jika;
1.
Ada surat yang sah (akta otentik) atau tulisan di
bawah tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti;
2.
Ada putusan pengadilan sebelumnya yang sah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap;
3.
Dikabulkanya gugatan yang didahulukan (gugatan
provisional); dalam hal sengketa dalam hal sengketa tentang hak milik.
BAB VII
UPAYA HUKUM
A. Upaya Hukum Biasa
1.
Perlawanan (verzet)
Perlawanan
adalah upaya hukum yang dijatuhkan pengadilan karena tergugat tidak hadir pada
persidangan pertama (putusan verstek).
Kepada pihak yang dikalahkan serta diterangkan kepadanya bahwa ia berhalk mengajukan
perlawanan (verzet) terhadap putusan
tak hadir itu kepada pengadilan itu. (Pasal 125(3) HIR/149(3) RBG dan Pasal
153(1) HIR/129(1) RBG).
a)
Perlawanan terhadap putusan verstek dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
sejak pemberitahuan diterima tergugat secara pribadi.
b)
Jika putusan verstek
itu tidak diberitahukan kepada tergugat pribadi, maka perlawanan masih
dapat diajukan sampai hari ke-8 (delapan) setelah tegoran untuk melaksanakan
putusan verstek itu.
c)
Apabila tergugat tidang datang menghadap ketika
ditegur, perlawanan tergugat dapat diajukan sampai hari ke-8 (delapan) (Pasal
129(2) HIR, sampai hari ke-14 (empat belas) (Pasal 153(2) RBG sesudah putusan verstek dijalankan.
Perlawanan
terhadap putusan verstek diajukan
seperti mengajukan surat gugatan biasa (Pasal 129 (3) HIR/153(3) RBG).
2.
Banding
Upaya hukum
banding diajukan apabila pihak-pihak yang berperkara tidak puas terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama.
a)
Untuk pemeriksaan ulangan atau banding perkara
perdata buat pengadilan tinggi di Jawa dan Madura adalah Undang-Undang No. 20
Tahun 1947.
b)
Untuk pemeriksaan ulangan atau banding perkara
perdata buat pengadilan tinggi di luar Jawa dan Madura adalah Rechstsleglement voor de buitengewesten (RBG).
3.
Kasasi
Lembaga kasasi itu
berasal dari Perancis. Perkataan “kasasi” (dalam bahasa Perancis cassation) berasal dari perkataan
Perancis casser yang berati
“memecahkan” atau “membatalkan”. Tugas pengadilan kasasi adalah menguji
(meneliti) putusan pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau
tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang
duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut.
(R. Subekti, 1982: 160).
Menurut Pasal 16
UU No. 1/1950 dan Pasal 51 UU No. 13/1965 kasasi adalah pembatalan atas
putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain dalam tingkat peradilan yang
terakhir dan penetapan dan perbuatan pengadilan-pengadilan lain dan para hakim
yang bertentangan dengan hukum kecuali putusan pengadilan dalam perkara pidana
yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan. (Sudikno Mertokusumo,
1981 : 193).
Mahkamah Agung
memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan
mengadili;
a)
Antara pengadilan di lingkungan peradil an yang satu
dengan pengadilan yang lain;
b)
Antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum
pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama;
c)
Antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan
peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan.
Permohonan
kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis atau lisan melalui
panitera pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya, dalam
tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan
yang dimaksud diberitahukan kepada pemohon.
Setelah menerima
memori kasasi dan jawabannya terhadap memori kasasi sebagaimana dimaksudkan
Pasal 47, panitera pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama,
mengirimkan permohonan kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas 30
hari. Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan menurut tanggal
penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan melaporkan semua itu
kepada Mahkamah Agung. (Pasal 48 (1 dan 2) UU No. 14/85).
Sebelum permohonan
kasasi diputus oleh Mahkamah Agung, maka permohonan tersebut dapat dicabut
kembali oleh pemohon, dan apabila telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi
mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meskipun tenggang waktu kasasi
belum lampau.
Pemeriksaan
dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang
perlu Mahkamah Agung mendnegar sendiri para pihak atau para saksi, atau
memrintahkan pengadilan tingkat pertama atau pengadilan tingkat banding yang
memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi. Dalam mengambil
putusan Mahkamah Agung tidak terikat pada alasan-alasan yang diajukan oleh
pemohon kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum lain. (Pasal 52 UU No. 14/85).
B. Upaya Hukum Luar Biasa
1.
Pembagian Kembali (Request Civil)
Menurut Sudikno
Mertokusumo, request civil yang
diatur dalam pasal 385 sampai dengan 401 RV, tidak lain adalah peninjauan
kembali suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Istilah
peninjauan kembali kita jumpai dalam UU No. 14/1964 (Pasal 21), UU No. 13/1963
(Pasal 52) dan UU No. 19/1964 (Pasal 15).
Uraian berikut
ini mengacu pada UU No. 14/1985. Ketentuan yang mengatur tentang peninjauan
kembali dalam UU tersebut di atas adalah bagian keempat, Pasal 66 samp[ai
dengan Pasal 77.
Menurut Pasal 66
: (1) permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. (2)
permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan
putusan pengadilan. (3) permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum
putus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak
dapat diajukan lagi.
Alasan-alasan peninjauan kembali :
a)
Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan
atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyataklan palsu;
b)
Apabila setelah perkara diputus, ditemukan
surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa
tidak dapat ditemukan;
c)
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak
dituntut atau lebih dari pada yang dituntut.
d)
Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belu
diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e)
Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu
soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama
tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
f)
Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Sebuah contoh
tentang penerimaan gugatan request civil adalah
putusan Landraad Purworejo tanggal 4 November 1937, yang memuat dimuat dalam Indisch Tidjscrift van het Recht No.
148, hlm. 416, dimana Landraad menerima
gugatan tersebut atas dasar dilihatnya suatu kekeliruan yang mencolok.
Dikatakan oleh Landraad Purworejo itu
bahwa putusan halkim yang dahulu adalah keliru, karena di dalam
pertimbangan-pertimbangan hakim dari putusan itu disebutkan bahwa tergugat
tidak melawan, padahal di dalam pertimbangan-pertimbangan tentang duduknya
perkara disebutkan bahwa tergugat melawan tuntutan penggugat. (R. Subekti, 1982
: 170; R. Soepomo, 1989 : 97-98).
Tenggang waktu
mengajukan peninjauan kembali :
Tenggang waktu
pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana
di maksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk :
a) Yang disebutkan pada
huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim
pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada pihak
yang berperkara;
b) Yang disebut huruf b
sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus
dinyatakan bahwa sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c) Yang disebut pada huruf
c,d dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan
kepada para pihak yang berperkara;
d) Yang tersebut pada
huruf e sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan
hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
Kemana
peninjauan kembali :
Permohonan
peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua
pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar
biaya perkara yang diperlukan.
Peninjauan
kembali dajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya
alasan yang dijadikan dasar permohonan itu dan dimasukan di kepaniteraan
pengadilan negeri yang memutus perkara
dalam tingkat pertama. Apabila pemohon tidak
bisa menulis, maka ia menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam
tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan yang akan
membuat catatan tentang permohonan tersebut. (Pasal 71 (1) dan (2) UU No,
14/85).
Setelah
pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama menerima
permohonan peninjauan kembali, maka panitera berkewajiban untuk
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) memberikan atau mengirimkan
salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon, dengan maksud :
a) Dalam hal permohonan
peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana di maksud pasal 67 huruf
b agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawabannya;
b) Dalam hal permohonan
peninjauan kembali didasarkan atas salah satu alasan yang tersebut Pasal 67
huruf c sampai dengan huruf f agar dapat diketahui.
Pemeriksaan
permohonan peninjauan kembali :
Mahkamah Agung
berwenang Memerintahkan pengadilan negeri yang memeriksa perkara dalam tingkat
pertama atau pengadilan tingkat banding mengadakan pemeriksaan tambahan, atau
meminta segala keterangan serta pertimbangan dari pengadilan yang dimaksud.
Pengadilan yang
dimaksudkan Ayat (1), setelah melaksanakan perintah Mahkamah Agung tersebut
segera mengirimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan
sebagaimana dimaksudkan Ayat (1), kepada Mahkamah Agung. Pasal (71 (1,2,3) UU
No. 14/85).
Putusan Mahkamah
Agung dan peninjauan kembali :
Dalam hal
Mahkamah Agung mengabulkan permohopnan peninjauan kembali, Mahkamah Agung
membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya
memeriksa dan memutus sendiri perkaranya.
Mahkamah Agung
menolak permohonan peninjauan kembali dalam hal Mahkamah Agung berpendapat
bahwa permohonan itu tidak beralasan.
Putusan Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat (1) dan Ayat (2) disertai
pertimbangan-pertimbangan. (Pasal 74 (1,2,3) UU No. 14/85.
Mahkamah Agung
mengirimkan salinan putusan atas permohonan peninjauan kembali kepada
pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dan selanjutnya
panitera pengadilan negeri yang bersangkutan menyampaikan salinan putusan itu
kepada pihak lawan dengan memberikan salinannya, selambat-lambatnya dalam waktu
30 (tiga puluh) hari. (Pasal 75 UU No. 14/85).
2.
Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet)
Bantahan atau
perlawanan pihak ketiga yaitu upaya hukum yang dilakukan orang yang semula
bukan pihak dalam suatu perkara, tetapi oleh karena ia merasa berkepentingan
atas barang atau benda yang dipersengketakan dimana barang atau benda tersebut
akan/sedang dijual lelang, maka ia berusaha untuk mempertahankan benda atau
barang tersebut adalah miliknya bukan ilik tergugat. Dasar hukum yang mengatur tentang bantahan atau
perlawanan pihak ketiga adalah Pasal 228 RBG/208 HIR.
Dalam praktek
terdapat 2 (dua) macam perlawanan pihak ketiga yaitu :
a) Perlawanan pihak ketiga
terhadap sita eksekusi.
b) Perlawanan pihak ketiga
terhadap sita jaminan.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi
adalah perlawanan pihak ketiga terhadap suatu benda atau barang karena putusan
sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan perlawanan pihak ketiga
atas jaminan adalah perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap
putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Sebagaimana
diketahui bahwa dalam hukum acara dikenal dua macam sita jaminan yaitu sita
yang dilakukan terhadap barang-barang tergugat (conservatoir beslag) dan revindicatoir
beslag yaitu sita yang dilakukan terhadap barang-barang milik Penggugat.
Contoh
perlawanan pihak ketiga yang diajukan oleh istri tergugat semula atas dasar
bahwa barang yang disita untuk pembayaran utang suaminya, adalah barang
gono-gini antara pelawan dan terlawan tersita tidak dapat dibenarkan dan akan
ditolak, oleh karena harta gono-gini dapat dipertanggungjawabkan untuk hutang
keluarga (suami atau istri). Apabila istri atas dasar bahwa barang tersebut
adalah harta asalya, maka atas dasar dalil tersebut apabila ia dapat
membuktikan bahwa barang tersebut adalah benar barang asalnya, maka perlawanan
yang diajukan olehnya akan berhasil. Dalam hubungan ini dikemukakan, bahwa
semua barang yang diperoleh dalam perkawinan, siapapun yang membelinya adalah
harta gono-gini, juga misalnya apabuila sang suami hanyalah pandai main judi
saja, dan sang istri selalu mencari dengan jerih payah, harta tersebut merupakan
harta gono-gini keluarga. (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata,
1989 : 137.
BAB
VIII
EKSEKUSI
(PELAKSANAAN PUTUSAN) PENGADILAN
A. Asas-Asas Eksekusi (Pelaksanaan Putusan)
1.
Eksekusi (Pelaksanaan putusan) Dijalankam Terhadap
Putusan yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Dalam
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dikatakan, hanya putusan pengadilan
yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang dapat dilaksanakan. (Pasal 115
UU No. 5/86). Akan tetapi terhadap asas tersebut ada pengecualian. Dalam
kasus-kasus tertentu, undang-undang memperbolehkan eksekusi terhadap putusan
yang belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Atau pelaksanaan putusan dapat
dijalankan pengadilan terhadap bentuk hukum tertentu di luar putusan, sehingga
adakalnya eksekusi bukan merupakan tidakan menjalankan putusan pengadilan, tapi
menjalankan pelaksanaan (eksekusi) terhadap bentuk-bentuk hukum yang
dipersamakan undang-undang sebagai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap. Terhadap pengecualian dimaksud, eksekusi dapat dijalankan sesuai
dengan aturan tata cara eksekusi terhadap putusan yang tel;ah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap.
2.
Eksekusi Dijalankan Terhadap Putusan yang tidak
Dijalankan Secara Sukarela
Pada prinsipnya
eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah
tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Jika pihak
yang kalah bersedia menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, tindakan
eksekusi harus disingkirkan.
3.
Putusan yang Dapat Dieksekusi Adalah Putusan yang
Bersifat Condemnatoir
Artinya
mengandung suatu penghukuman. Putusan-putusan yang amar atau diktumnya adalah declaratoir atau konstitutif tidak perlu
dieksekusi atau dilaksanakan, karena begitu putusan-putusan yang demikian itu
diucapkan, maka keadaan yang dinyatakan sah oleh putusan declaratoir mulai
berlaku pada saat itu juga, atau dalam halnya putusan konstitutif, keadaan baru
sudah tercipta pada detik itu pula.
B. Tata Cara Eksekusi (Pelaksanaan Putusan)
1.
Pelaksanaan Putusan Atas Perintah dan atau Dipimpin
Ketua Pengadilan Negeri
Pengadilan
putusan dalam perkara pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri
adalah atas perintah dan atau dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada
tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut yang diatur dalam Pasal-Pasal
berikut ini. (Pasal 195(1) HIR/206(1) RBG).
2.
Sebelum Dilaksanakan Eksekusi, Diberikan Peringatan
(Aanmaning)
Jika pihak yang
dikalahkan tidak mau atau mulai memenuhi isi keputusan tersebut dengan
kemauannya sendiri, maka pihak yang dimenangkan dapat memasukan permintaan,
baik secara lisan maupun tertulis, kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana
disebutkan pada ayat pertama Pasal 195 HIR untuk menjalankan putusan tersebut.
Ketua kemudian memanggil pihak yang dikalahkan tersebut serta memperingatkan
supaya ia memenuhi putusan tersebut di dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
ketua selama-lamanya 8 (delapan) hari. (Pasal 196 HIR).
3.
Jika tidak Mengindahkan Peringatan Dilakukan Sita
Eksekusi
Jika sudah lewat
waktu yang telah ditentukan belum juga dipenuhi putusan tersebut, atau jika
pihak yang dikalahkan tersebut, setelah dipanggil dengan patut tidak juga
menghadap, maka ketua karena jabatannya memberikan perintah tertulis supaya
disita sejumlah barang tidak tetap (Barang bergerak) dan jika tidak ada barang
seperti itu, atau ternyata tidak cukup, maka barang tetap kepunyaan orang yang
dikalahkan tersebut, sehingga dirasa cukup sebagai pengganti jumlah uang yang
tersebut dalam putusan dan seluruh biaya pelaksaan putusan tersebut. (Pasal
197(1) HIR.
4.
Penyitaan Dilakukan Oleh Panitera atau Orang Lain
yang Ditunjuk Ketua Pengadilan
Penyitaan tersebut dilakukan oleh panitera
pengadilan negeri. (Pasal 197 (2) HIR). Apabila panitera tersebut berhalangan
karena pekerjaan jabatannya atau oleh sebab yang lain, maka ia digantikan oleh
orang yang cakap atau yang dapat dipercaya yang dapat ditunjuk untuk itu oleh
ketua atau atas permintaan ketua penunjukan dilakukan oleh pemerintah setempat,
dengan pertimbangan untuk menghemat biaya berhubung dengan jauhnya tempat
penyitaan itu harus dilakukan. (Pasal 197(3) HIR).
Cara penunjukan
orang tersebut dilakukan dengan menyebutkan atau dengan memberi catatan di atas
surat perintah yang tersebut pada ayat pertama pasal ini. Paniteta atau orang
yang ditujuk sebagai pengganti, memberi berita acara tentang pelaksanaan
putusan, dan kepada orang disita barangnya diberitahukan maksud penyitaan
tersebut, jika ia hadir.
5.
Sita Eksekusi Dilakukan dengan Dua Orang Saksi
Pelaksaan
putusan (eksekusi) tersebut dilakukan dengan dihadiri dua orang saksi yang
nama, pekerjaan, dan tempat tinggalnya disebutkan dalam berita acara tersebut,
serta menandatangani berita acara tersebut dan slinannya. Saksi tersebut harus
penduduk Indonesia, dan berumur 21 tahun dan dikenal oleh pejabat yang
melakukan penitaan sebagai orang yang dipercaya, atau diterangkan demikian oleh
seorang pegawai pramongpraja. (Pasal 197 (6 dan 7) HIR).
6.
Penyitaan Terhadap Benda Bergerak tidak Boleh Atas
Hewan dan Perkakas untuk Pencaharian
Penyitaan
terhadap barang tidak tetap (barang bergerak) kepunyaan orang yang berhutang,
meliputi uang tunai, dan surat-surat berharga, juga dilakukan atas barang tidak tetap yang berwujud lainnya,
yang ada ditangan orang lain, akan tetapi tidak boleh dijalankan atas hewan dan
perkakas yang sungguh-sungguh berguna bagi yang dikalahkan untuk menjalankan
pencahariaannya sendiri. (Pasal 197 (8) HIR).
7.
Barang Yang Disita Tetap Berada pada Orang yang
disita atau di Tempat Penyimpanana yang Patut
Berdasarkan
situasi dan kondisi, panitera atau orang yang ditunjuk sebagai penggantu
membiarkan barang tidak tetap tersebut atau sebagiannya tetap berada pada orang
yang disita tersebut atau menyuruh membayar barang tersebut atau sebagiannya ke
suatu tempat penyimpanan yang patut. Dalam hal yang pertama, maka hal tersebut
diberitahukan kepada tugas polisi, dan petugas polisi tersebut harus menjaga,
supaya jangan ada barang yang diambil barang orang. (Pasal 197(9) HIR).
8.
Penyitaan Benda tidak Bergerak Dilakukan dengan
Mengumumkan Berita Acara Penyitaan Tersebut
Jika penyitaan
terhadap benda tidak bergerak, maka berita acara tersebut diumumkan, yaitu jika
barang tidak bergerak tersebut sudah didaftarkan berdasarkan ordonansi
pendaftaran pemindahan hak milik atas barang tidak bergerak dan pendaftaran
hipotik di Indonesia.(Stbl. 1384 No. 27).
9.
Penjualan Barang Sitaan Dilakukan dengan Bantuan
Kantor Lelang dengan Nilai Paling Rendah Rp. 300,-
Penjualan barang
sitaan dilakukan bantuan kantor lelang, atau menurut pertimbangan ketua, oleh
panitera (jurusita) yang melakukan penyitaan tersebut, atau orang yang cakap
dan boleh dipercaya yang ditunjuk oleh ketua yang tinggal di tempat penjualan
tersebut, maka penyitaan dilakukan atau di dekat tempat tersebut. (Pasal 200(1)
HIR).
C. Tata Cara Penjualan Barang Sitaan
1.
Rencana Penjualan Disampaikan oleh Pejabat yang
Ditunjuk kepada Ketua Pengadilan dan Juru Lelang
Pejabat yang
diperintahkan menjual tersebut hendaknya menyampaikan rencana secara tertulis
kepada ketua serta hasil penjualan tersebut. (Pasal 200 (3) HIR).
2.
Pemohon Lelang Harus Melampirkan Surat-Surat atau
Dokumen.
3.
Harga Pembayaran Lelang Dilakukan Secara Tertulis.
4.
Penjualan Barang Bergerak dan Barang Tidak Bergerak
Dilakukan Setelah Diumumkan.
5.
Pemenang Lelang Dapat Memohon Eksekusi Riil atas
Barang Lelang yang Sedang Ditempati.
6.
Eksekusi Riil
Dilakukan Secara Sendiri-Sendiri Terhadap Beberapa Putusan.
7.
Jika ada Dua atau Lebih Permohonan Eksekusi
Pembayaran Sejumlah Uang, Maka Dilakukan Secara Serentak.
D. Penundaan Eksekusi
1.
Alasan Perdamaian yang Dibuat Para Pihak.
2.
Alasan Perikemanusiaan.
3.
Alasan Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet).
4.
Barang yang Menjadi Obyek Eksekusi Masih dalam
Proses Perkara Lain.
5.
Penundaan Eksekusi karena Adanya Peninjauan Kembali.
6.
Penundaan Eksekusi Menghapuskan Uang Paksa.
E. Eksekusi yang Tidak Dapat Dijalankan (Noneksekutabel)
1.
Karena harta kekayaan tereksekusi tidak ada.
2.
Karena putusan bersifat deklaratoir (pernyataan).
3.
Karena barang yang menjadi obyek eksekusi berada di
tangan pihak ketiga.
4.
Eksekusi tidak dapat dijalankan terhadap penyewa.
5.
Karena tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas
batas-batasnya.
6.
Karena tanah tersebut berubah status menjadi tanah
negara.
7.
Karena barang yang menjadi obyek eksekusi berada di
luar Negeri.
8.
Karena terdapat dua putusan yang saling
bertentangan.
F. Masalah-Masalah Lain dalam Eksekusi (Pelaksanaan
Putusan)
1.
Tereksekusi menolak karena tidak sesuai dengan bunyi
putusan.
2.
Pemohon eksekusi menolak karena eksekusi tersebut
tidak sesuai dengan bunyi putusan.
3.
Kedua belah pihakmenolak karena eksekusi tersebut
tidak sesuai dengan amar putusan.
4.
Jika penjualan harta bersama tidak mendapat
persetujuan suami atau istri maka eksekusi tidak dapat dilaksanakan terhadap
harta bersama.
5.
Eksekusi dapat dilaksanakan jika banding atau kasasi
diajukan terlambat dari tenggang waktu yang ditentukan.
6.
Eksekusi tidak dapat dilaksanakan terhadap tergugat
lain yang tidak banding atau kasasi.
7.
Eksekusi dapat diulang apabila terdapat atau dengan
alasan kekeliruan.
8.
Barang yang sudah selesai dieksekusi tidak dapat
diambil kembali oleh pihak tereksekusi.
9.
Terhadap bunyi putusan yang tidak menentukan jumlah
harga yang tegas, maka eksekusi dilakukan dengan berdasar harga pada saat
perjanjian.