BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Telah
merasuk pada kebanyakan orang Islam sebuah pemikiran bahwa kemajuan sebuah
negara dapat dilakukan dengan memisahkan agama dan Negara. Islam adalah
agama murni yang tidak ada hubunganya dengan sistem kenegaraan. Sehingga
di negara-negara Timur yang mayoritas penduduknya muslim tersebar sebuah ungkapan
ان الدين
لله والوطن للجمي (sesungguhnya
agama itu milik Allah sedangkan Negara adalah milik bersama). Agama
hanyalah aturan-aturan yang membahas hubungan manusia dengan Tuhanya, sedangkan
aturan sosial kenegaraan diserahkan penuh kepada manusia.
Pemahaman
yang fatal ini bermula disebarkan oleh kaum imperealisme Barat. Mereka
menganggap bahwa kemajuan Negara-negara Barat yang sudah dicapai sekarang adalah
dampak dari mereka yang menjauh dari agama. Semakin agama tidak ikut campur
dalam urusan politik, maka sebuah Negara akan dapat mengalami kemajuan
pesat. Selanjutnya mereka juga menginginkan konsep Negara sekuler di Barat juga
diterapkan di negara-negara Timur. Sebagaimana yang sudah dilakukan oleh
Mustofa Kamal at Tartuk yang mendirikan Negara sekuler di Turki.
Dalam
makalah ini penulis akan membahas dan mengulas pandangan Islam tentang sebuah
konsep Negara. Pada bagian awal akan kami bahas tentang pengertian Imamah dan
Khilafah beserta lembaga dan jabatan yang berada di dalamnya seperti Ahlul
Halli wal Aqdi dan wizarah. Kemudian akan diteruskan dan ditutup dengan
pandangan aliran-aliran Islam tentang konsep Imamah.
B.
Rumusan Masalah
Berangkat
dari latar belakang di atas, maka kami merumuskan beberapa masalah yang akan
kami bahas. Di antaranya :
1.
Apa
pengertian Imamah ?
2.
Bagaimana
hukum mendirikan Imamah ?
3.
Apa saja
syarat-syarat dan tugas Imam ?
4.
Bagaimana
tata cara pengangkatan Imam ?
5.
Apa
pengertian Wizarah ?
C.
Tujuan Penulisan
Sesuai
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan yang ingin di capai dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Mahasiswa
dapat memahami dan menjelaskan apa itu Imamah.
2.
Mahasiswa
dapat memahami dan menjelaskan bagaimana hukum mendirikan Imamah.
3.
Mahasiswa
dapat memahami dan mengetahui syarat-syarat dan tugas Imam.
4.
Mahasiswa
dapat memahami dan menjelaskan bagaimana tata cara pengangkatan Imam.
5.
Mahasiswa
dapat memahami dan menjelaskan apa itu Wizarah.
D.
Kegunaan Penulisan
Kegunaan
penelitian ini adalah sebagai informasi bagi para mahasiswa dan masyarakat agar
lebih memahami tentang Imamah, bagaimana hukum mendirikanya, syarat-syarat
Imam, dan tata cara pengangkatannya, serta lebih memahami tentang wizarah.
E.
Metode Penulisan
Untuk
mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis menggunakan teknik
studi kepustakaan atau studi pustaka. Tidak hanya itu, penulis juga mencari
bahan dan sumber-sumber dari media masa elektronik yang berjangkauan
internasional seperti internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Imamah dan Negara Islam
Secara
linguistik kata imamah berasal dari amma-yaummu-imamatan yang mempunyai arti
pimpinan atau orang yang diikuti. Selanjutnya Ibnu Mandzur mengartikanya dengan
setiap orang yang telah diangkat menjadi pimpinan suatu komunitas masyarakat
baik dalam menempuh jalan kebaikan atau kesesatan. Sedangkan secara istilah
para pakar hukum Islam mendefinisikan dengan beragam. Al Mawardi memposisikan
al-imamah sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga dan memelihara masalah
agama serta urusan keduniaan. At Tafazani mendefinisikan dengan pemimpin
tertinggi negara yang bersifat universal dalam mengatur urusan agama dan
keduniaan. Ibn Khaldun mengatakan imamah adalah muatan seluruh komunitas manusia
yang sesuai dengan pandangan syariat guna mencapai kemaslahatan mereka baik di
dunia dan akhirat. Hal ini dikarenakan seluruh sistem kehidupan manusia
dikembalikan pada pertimbangan dunia demi mendapatkan kemaslahatan akhirat.
Dari beberapa definisi ini dapat disimpulkan bahwa Imamah adalah kekuasaan
tertinggi dalam negara Islam yang bersifat menyeluruh dalam memelihara agama
dan pengaturan sistem keduniaan dengan berasaskan syariat Islam dan pencapaian
maslahat bagi umat di dunia dan akhirat.
Kata imamah,
amirul mukminin, dan khalifah mempunyai bentuk satu arti yaitu suatu jabatan
tertinggi dalam suatu negara. Sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah, para
Shahabat dan Tabi’in tidak membedakanya. Oleh sebab itu para ulama fiqih juga
tidak memisahkan ketiga istilah tersebut, sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh imam Nawawi dan Ibn Khaldun.
Dalam
mendefinisikan Negara Islam para ulama mempunyai dua pandangan yaitu:
1.
Negara Islam
harus berdasarkan pada perlaksanaan hukum Islam dan sistemnya.
2.
Negara Islam
diasaskan kepada keadaan keamanan Muslim dan kawasannya.
Kalau
orang Muslim mendapat keamanan sebagaimana keamanan negara Islam pada periode
maka Negara itu adalah negara Islam. Berdasarkan pada pendapat yang kedua ini
dalam menentukan negara Islam hanya ditentukan atas unsur mayoritas bilangan
Muslim, walaupun undang-undang dan sistem Islam tidak terlaksana.
B. Hukum Mendirikan Imamah
Tidak bisa
dipungkiri lagi bahwa mendirikan sebuah negara adalah suatu hal yang wajib
dilakukan menurut logika akal manusia. Hal ini dikarenakan setiap manusia
adalah makhluk sosial yang sangat saling membutuhkan antara satu sama lain.
Oleh sebab itu dalam membentuk sebuah komunitas masyarakat haruslah ada seorang
pemimpin yang mengatur kehidupan mereka. Nabi bersabda :
اذا خرج
ثلاثة في سفر فليو’مروا أحدهم
“Ketika tiga orang sedang bepergian
maka hendaklah satu orang diantara mereka diangkat menjadi pemimpin”
Sedangkan
hukum mendirikan negara para pakar hukum Islam berbeda pendapat. Mayoritas
mereka, seperti dari golongan Ahli Sunnah, Murjiah, Syiah, dan sebagian besar
Mu’tazilah serta Khawarij berpendapat bahwa mendirikan pemerintahan Islam
adalah suatu hal yang wajib. Ibn Hazm mengatakan bahwa dalam diri umat Islam
harus ada sistem pemerintahan yang wajib ditaati. Hal ini tidaklah lain hanya
untuk menegakkan hukum Allah dan pengaturan sistem kemasyarakatan yang
berlandaskan syariat untuk mencapai kemaslahatan.
Dasar-dasar
yang melandasi pendapat golongan ini:
1. Firman Allah
ياايهاالذين أمنوا أطيعواالله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
“Hai
orang-orang yang beriman taatlah kalian semua pada Allah, Rasulullah, dan Ulil
Amri diantara kamu.”
Ibn Katsir
dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa yang dikehendaki dari ulil amri
adalah umum untuk seluruh para pemimpin baik penguasa pemerintah ataupun para
ulama.
2. Hadist Nabi
“Barang siapa yang mati sedangkan
dia tidak dalam kekuasaan baiat khalifah maka dia mati secara jahiliah.”
Kosensus
para shahabat dan tabi’in tentang wajibnya imamah. Hal ini bisa dibuktikan
dengan bergegasnya para shahabat untuk membaiat Abu Bakar di Saqifah Bani
Sa’adah sebagai Amirul Mukminin.
Sebagian
kecil ulama mengatakan bahwa hukum mendirikan imamah adalah tidak wajib tapi
cuma mubah. Mereka diantaranya adalah Abu Bakar al Asham dari golongan
Mu’tazilah, Hisyam Al Fuwathi, Ubad bin Sulaiman dari Mu’tazilah, Dhirar, dan
sebagian kecil ulama Khawarij. Al Asham berkata :
“Seandainya saja masyarakat bisa
meninggalkan perbuatan zalim maka mereka tidak lagi membutuhkan bentuk
pemerintahan.”
Golongan ini
sangat berpegang teguh dan mendambakan persamaan hak asasi manusia. Anggapan
mereka sistem pemerintahan sangat bersebrangan dengan konsep persamaan derajat
karena disertai dengan pemaksaan dan penindasan dari penguasa. Kalaupun imamah
diartikan sebagai alat untuk merealisasikan hukum-hukum Islam, maka hal itu
tidak akan mengubah hukumnya menjadi wajib. Karena antara imamah dan tanfidzul
hukmi (realisasi hukum Islam) adalah dua kutub yang berbeda dan tidak
saling berkaitan. Realisasi hukum syariat harus berjalan sendiri tanpa adanya
campur tangan dari penguasa yang mendorongnya. Bahkan mereka menganggap adanya
imamah akan merusak kemerdekaan hak asasi manusia dan kebebasan berpikir.
Sehingga dengan adanya imamah akan banyak menimbulkan perselisihan dan
perpecahan dalam diri umat Islam.
Pendapat
sebagian kecil ulama ini banyak ditentang oleh para fuqaha ( pakar hukum
Islam). Sebenarnya dampak kemaslahatan yang ditimbulkan dari sistem imamah
lebih besar dari pada kerugianya. Sehingga dalam menarik ulur dua kerugian
haruslah dipilih yang lebih ringan. Bahkan kebebasan sebenarnya yang mencakup
hak asasi manusia dan berpikir akan lebih terkoordinasi dengan adanya imamah
untuk melindungi dan menjaga hak orang lain supaya tidak tertindas.
Dalam
mendirikan negara Islam para ulama berpendapat bahwa dalam penjuru dunia harus
ada satu pemerintah Islam. Islam adalah agama kesatuan dan umatnya harus
berbentuk satu kesatuan yang tidak bercerai berai dan saling bahu membahu. Oleh
sebab itu mayoritas fuqaha berpendapat bahwa tidak boleh ada 2 imam baik dalam
lingkup satu kawasan ataupun beberapa kawasan. Akan tetapi ada segolongan ulama
seperti imam Haramain, Abu Mansur, al Baghdadi, Abu Shabah as Samarqandi dan
beberapa ulama mutaakhirin mengatakan bahwa ta’adudul imam (banyak imam) dalam
penjuru dunia diperbolehkan. Bahkan menurut imam Zaidiyah ketika batas
teretoriyal dalam sebuah wilayah sudah jelas maka boleh mendirikan pemerintahan
Islam demi untuk menjaga kemaslahatan umat.
C. Syarat-syarat dan Tugas Imam
Imam Mawardi
memberikan batas-batas seseorang yang boleh menjadi imam, sebagai berikut:
1.
Islam,
merdeka, laki-laki, baligh, dan berakal.
2.
A’dalah (adil) yaitu selalu konsisten dalam
melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama.
3.
Mempunyai
pengetahuan dan pengalaman yang mencukupi baik dalam masalah keagamaan
maupun keduniaan.
4.
Punya kepribadian yang kuat, pemberani, dan
tidak mudah menyerah.
Dalam
memimpin sebuah Negara, seorang imam mempunyai tugas-tugas yang harus
dilaksanakan guna mencapai kemakmuran Negara dan rakyatnya. Para ulama
memberikan cakupan tentang tugas-tugas yang menjadi kewajiban imam.
1.
Menjaga dan
melestarikan hukum-hukum keagamaan, lebih-lebih yang menyangkut aqidah serta
membrantas tindakan-tindakan yang berbau bid’ah dan keluar dari syariat Islam.
2.
Memerangi musuh yang mengancam keamanan Negara dan bangsa.
3.
Mengatur
pemasukan dan pengeluaran keuangan Negara, seperti ghanimah, fai’, dan shadaqah
wajib.
4.
Menjaga keamanan dan keadilan warganya.
D. Tata Cara
Pengangkatan Imam
Ditinjau
dari pendekatan historis, dalam pengangkatan kepala Negara umat Islam mempunyai
beberapa tata cara:
1.
Intikhab (pemilihan
langsung)
Tata cara
dengan pemilihan langsung terjadi pada masa khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abi
Thalib. Sejarah telah mencatat bahwa tidak ada orang yang menolak pengangkatan
imam dengan pemilihan langsung. Hanya saja dalam pemilihan harus diserahkan
sepenuhnya kepada Ahlul Halli wal Aqdi.
Ahlul Halli
wal Aqdi adalah suatu lembaga yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai
pengetahuan agama, budi pekerti, dan ilmu yang memadai dalam mengatur
masalah-masalah kemasyarakatan. Dalam pemerintahan Islam mereka juga disebut
dengan “Ahlul ikhtiyar” (orang-orang yang bertugas memilih imam dengan
menggantikan hak pilih yang dimiliki rakyat), “Ahlus Syura” (lembaga
permusyawaratan), dan “Ahlut Tadbir” (lembaga yang mengatur masalah-masalah
kemasyarakatan).
Dalam
menentukan jumlah Ahlul Halli wal Aqdi para ulama mempunyai beraneka ragam
pendapat. Akan tetapi secara subtansial Ahlul Halli wal Aqdi adalah penyambung
lidah rakyat. Sesuatu yang sudah menjadi pilihan dan keinginan rakyat akan
disalurkan dan dimanifestasikan lewat mereka. Oleh sebab itu, syariat dalam
memberi batasan dan memasukkan kriteria-kriteria Ahlul Halli wal Aqdi sangat
ketat. Imam Mawardi memberikan syarat-syarat Ahlul Halli wal Aqdi sebagai
berikut:
2.
Istikhlaf
(mencari pengganti)
Istikhlaf
adalah proses pengangkatan dari imam lama kepada imam baru yang dianggap
memiliki kopetensi dalam memegang dan memimpin sebuah negara dengan mendapat
persetujuan dari Ahlul Halli wal Aqdi. Istikhlaf juga sering disebut dengan al
‘ahdu atau washiat. Dalam sejarah tata cara proses pengangkatan seperti ini
terjadi pada masa khlifah Abu Bakar dalam memilih Umar untuk menggantikanya.
Imam Nawawi dalam Shahih Muslim mengatakan bahwa kaum muslimin telah sepakat
jika seorang khalifah merasa akan mendekati ajal maka dia diperkenankan untuk
mencari pengganti orang lain dengan mengikuti Abu Bakar, atau mengikuti jejak
Rasul dengan tidak mencari pengganti.
3.
Qahru
wal Ghalabah (kudeta)
Qahru wal
Ghalabah adalah tata cara proses pengangkatan imam yang tidak disepakati oleh
ulama. Sebenarnya model ke tiga ini adalah tata cara yang tidak dilegalkan oleh
syariat. Akan tetapi hal ini diperbolehkan hanya untuk menjaga kemaslahatan
umat Islam dan menjaga terjadinya pertumpahan darah diantara mereka. Dalam hal
ini imam Syafii mengatakan “barang siapa yang mampu mengkudeta seorang khalifah
walaupun dengan kekerasan dan pedang sedangkan rakyat mengakuinya sebagai
khalifah maka dia bisa dinamakan dengan khalifah”. Hanya saja ketika yang
melakukan kudeta adalah orang kafir maka bagi seluruh umat muslim di negara itu
wajib untuk memeranginya karena syarat beragama Islam selamanya harus dipenuhi
oleh orang yang menjadi imam.
E.
Wizarah
(Menteri)
Wizarah
dalam konsep negara Islam adalah jabatan yang yang punya kekuasaan menyeluruh sebagai
pengganti imam dalam segala hal urusan dengan tanpa ada pembatasan. Pada masa
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin istilah wizarah masih belum ditemukan. Dalam
menjalankan roda pemerintahan kepala negara (Nabi dan Khulafaur Rasyidin)
dibantu oleh para shahabat. Baru pada masa dinasti Abbasyiah istilah wizarah
dipakai yang diambil dari negara Persia. Imam Mawardi membagi wizarah menjadi
dua bagian:
1)
Wizaratut tafwidz yaitu seseorang yang diberi
wewenang penuh oleh imam untuk mengatur dan menyelesaikan masalah dari hasil
pendapat dan pemikiranya sendiri. Jabatan ini hampir menyamai dengan kedudukan
khalifah, dikarenakan seorang wazir punya wewenang sebagaimana wewenang yang
telah dimiliki oleh imam, seperti merancang hukum-hukum ketatanegaraan,
memutuskan urusan-urusan peradilan, memimpin tentara, mengangkat panglima dan
lain-lain. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa setiap sesuatu yang
berhak dilakukan oleh imam, wazir juga berhak melakukanya, kecuali tiga hal, a)
imam berhak memberikan jabatannya kepada orang yang sudah menjadi pilihanya, b)
imam berhak untuk menghapus imam baru pada masa kekuasaanya, c) imam berhak
memecat bawahan wazir tapi bagi wazir tidak berhak memecat orang-orang bawahan
imam.
2) Wizaratut
tanfidz yaitu sesorang yang bertugas untuk merealisasikan dan meneruskan
pendapat dan kebijakan imam. Jabatan ini derajatnya lebih rendah dari wizaratut
tafwidz. Seseorang ketika menduduki jabatan ini maka dia tidak berhak untuk
membuat kebijakan sendiri, kalupun dia hendak memutuskan suatu urusan yang
berkaitan dengan pemerintahan maka dia harus mengajukan pendapatnya terlebih
dahulu kepada imam untuk mendapatkan persetujuan. Oleh sebab itu syarat-syarat
untuk menduduki jabatan ini tidak terlalu ketat sebagaimana wizaratut tafwidz.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka
penyesun menyimpulkan dalam beberapa poin, diantaranya yaitu :
1.
Imamah adalah kekuasaan tertinggi dalam negara
Islam yang bersifat menyeluruh dalam memelihara agama dan pengaturan sistem
keduniaan dengan berasaskan syariat Islam dan pencapaian maslahat bagi umat di
dunia dan akhirat.
2.
mendirikan
sebuah negara adalah suatu hal yang wajib dilakukan menurut logika akal
manusia. Hal ini dikarenakan setiap manusia adalah makhluk sosial yang sangat
saling membutuhkan antara satu sama lain.
3.
Imam Mawardi
memberikan batas-batas seseorang yang boleh menjadi imam, sebagai berikut:
a)
Islam, merdeka,
laki-laki, baligh, dan berakal.
b)
A’dalah
(adil) yaitu selalu konsisten dalam melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi
hal-hal yang dilarang agama.
c)
Mempunyai
pengetahuan dan pengalaman yang mencukupi baik dalam masalah keagamaan
maupun keduniaan.
d)
Punya
kepribadian yang kuat, pemberani, dan tidak mudah menyerah.
4.
Tata cara
pemilihan Imam :
a)
Intikhab (pemilihan
langsung)
b)
Istikhlaf
(mencari pengganti)
c)
Qahru
wal Ghalabah (kudeta)
5.
Wizarah
dalam konsep negara Islam adalah jabatan yang yang punya kekuasaan menyeluruh
sebagai pengganti imam dalam segala hal urusan dengan tanpa ada pembatasan.
B. Saran
Sebagai akhir dari penyusunan makalah ini penyusun
berharap makalah ini dapat digunakan dengan sebaik-baiknya, sebagai bahan acuan
atau pembelajaran tentang konsep pemerintahan atau negara sebagaimana yang
telah di ajarkan oleh Islam. Dan agar kepada seluruh masyarakat ataupun
pemerintahan yang ada di negara ini agar lebih memperhatikan tentang pentingnya
masalah Imam agar bisa sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ad Damiji, Abdullah ibn Umar, 1409
H, AL IMAMAH AL U’DZMA, Riyadz, Darut Thibah. Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam. ENSIKLOPEDI ISLAM. 1999. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
cet. Ke-4. 5 jil.
Mawardi, 1960. Ahkamusshultoniyyah. Beirut: Dar al-Fikr.
Zuhaili, Wahbah, 1997, AL FIQHUL
ISLAMI WA ADILLATUH vol 8, Beirut; Darul Fikri.
Habib, Sulhan, http//konsep-imamah-dalam-islam.html, di upload pada 23-maret-2013, pukul 20.32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar