BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah
kebudayaan umat manusia proses tukar-menukar dan interaksi (intermingling) atau
pinjam meminjam konsep antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain memang
senantiasa terjadi, seperti yang terjadi antara kebudayaan Barat dan peradaban Islam.
Dalam proses ini selalu terdapat sikap resistensi dan akseptansi. Namun dalam
kondisi dimana suatu kebudayaan itu lebih kuat dibanding yang lain yang tejadi
adalah dominasi yang kuat terhadap yang lemah. Istilah Ibn Khaldun,
"masyarakat yang ditaklukkan, cenderung meniru budaya penakluknya".
Ketika
peradaban Islam menjadi sangat kuat dan dominan pada abad pertengahan,
masyarakat Eropa cenderung meniru atau "berkiblat ke Islam". Kini
ketika giliran kebudayaan Barat yang kuat dan dominan maka proses peniruan itu
juga terjadi. Terbukti sejak kebangkitan Barat dan lemahnya kekuasaan politik Islam,
para ilmuwan Muslim belajar berbagai disiplin ilmu termasuk Islam ke Barat
dalam rangka meminjam. Hanya saja karena peradaban Islam dalam kondisi
terhegemoni maka kemampuan menfilter konsep-konsep dalam pemikiran dan
kebudayaan Barat juga lemah.
B.
Perumusan Masalah
Adapun masalah
yang akan dibahas adalah seputar pengertian peradaban Islamdan juga peradaban Islam
sebagai ilmu pengetahuan dan dasar-dasar peradaban Islam serta sedikit
menyinggung tentang perekembangan perdaban Islam
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Peradaban
Kata Peradaban
seringkali diberi arti yang sama dengan kebudayaan. Tetapi dalam B. Inggris
terdapat perbedaan pengertian antara kedua istilah tersebut. Istilah
Civilization untuk peradaban dan Culture untuk kebudayaan. Demikian pula dalam
B. Arab dibedakan antara kata Tsaqafah (kebudayaan), kata Hadharah (kemajuan),
dan Tamaddun (peradaban).
Menurut A.A.
Fyzee, peradaban (civilization) dapat diartikan dalam hubungannya dengan
kewarganegaraan karena berasal dari kata civies (Latin) atau civil (Inggris)
yang berarti seorang warga negara yang berkemajuan. Dalam hal ini peradaban
diartikan dalam dua cara:
a) proses menjadi berkeadaban, dan
b) suatu masyarakat manusia yang sudah berkembang atau maju.
Suatu peradaban
ditunjukkan dalam gejala-gejala lahir. Memiliki kota-kota besar, masyarakat
telah memiliki keahlian di dalam industri (pertanian, pertambangan,
pembangunan, pengangkutan dsb), memiliki tertib politik dan kekuasaan, dan
terdidik dalam kesenian yang indah-indah.
Adapun
kebudayaan diartikan bersifat sosiologis di satu sisi dan antropologis di sisi
lain. Istilah kebudayan (culture) pada dasarnya diartikan sebagai cara
mengerjakan tanah, memelihara tumbuh2an, diartikan pula melatih jiwa dan raga
manusia. Dalam latihan ini memerlukan proses dan mengembangkan cipta, karsa,
dan rasa manusia. Maka culture adalah civilization dalam arti perkembangan
jiwa.
Peradaban Islam
memiliki tiga pengertian yang berbeda. Pertama, kemajuan dan tingkat
kecerdasan akal yang dihasilkan dalam suatu periode kekuasaan Islam mulai dari
periode Nabi Muhammad Saw. sampai perkembangan kekuasaan sekarang; Kedua,
hasil-hasil yang dicapai oleh umat Islam dalam lapangan kesusasteraan, ilmu
pengetahuan dan kesenian; Ketiga, kemajuan politik atau
kekuasaan Islam yang berperan melindungi pandangan hidup Islam terutama dalam
hubungannya dengan ibadah-ibadah, penggunaan bahasa, dan kebiasaan hidup
kemasyarakatan.
2.
Meraih Kejayaan
Islam dengan Iptek
Berdasarkan
penjelasan Ibnu Khaldun tentang kebangkitan suatu peradaban, jika umat Islam
ingin membangun kembali peradabannya, mereka harus menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi. Tanpa ini, kebangkitan Islam hanya akan menjadi utopia belaka.
Menurut Ibnu
Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen
penting yaitu, kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan
teknologi, kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer,
dan kesanggupan berjuang untuk hidup. Jadi kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu
peradaban. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah
mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia
ditentukan oleh ketinggian pemikirannya.
Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya
memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran
tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun
supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan
merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih mendasar
lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari
pandangan hidup.
Maka dari itu,
pembangunan kembali peradaban Islam harus dimulai dari pembangunan ilmu
pengetahuan Islam. Orang mungkin memprioritaskan pembangunan ekonomi dari pada
ilmu, dan hal itu tidak sepenuhnya salah, sebab ekonomi akan berperan
meningkatkan taraf kehidupan. Namun, sejatinya faktor materi dan ekonomi
menentukan setting kehidupan manusia, sedangkan yang mengarahkan seseorang
untuk memberi respon seseorang terhadap situasi yang sedang dihadapinya adalah
faktor ilmu pengetahuan.
Lebih penting
dari ilmu dan pemikiran yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat, adalah
intelektual. Ia berfungsi sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap ide
dan pemikiran tersebut. Bahkan perubahan di masyarakat ditentukan oleh ide dan
pemikiran para intelektual. Ini bukan sekedar teori tapi telah merupakan fakta
yang terdapat dalam sejarah kebudayaan Barat dan Islam. Di Barat ide-ide para
pemikir, seperti Descartes, Karl Marx, Emmanuel Kant, Hegel, John Dewey, Adam
Smith dan sebagainya adalah pemikir-pemikir yang menjadi rujukan dan merubah
pemikiran masyarakat.
Demikian pula
dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para ulama seperti Imam Syafii,
Hanbali, Imam al-Ghazzali, Ibn Khaldun, dan lain sebagainya mempengaruhi cara
berfikir masyarakat dan bahkan kehidupan mereka. Jadi membangun peradaban Islam
harus dimulai dengan membangun pemikiran umat Islam, meskipun tidak berarti
kita berhenti membangun bidang-bidang lain. Artinya, pembangunan ilmu
pengetahuan Islam hendaknya dijadikan prioritas bagi seluruh gerakan Islam.
Guna memuluskan
jalan menuju kebangkitan peradaban Islam ini, umat Islam harus giat belajar,
mengkaji, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Demi kemajuan para pemimpin dan
umat Islam berada di atas nilai-nilai Islami. Sehingga umat Islam akan menjadi
khairu ummah sebagaimana yang disinyalir QS Ali Imran [3]: 110.
3.
Dasar-Dasar Peradaban
Islam
Analisis
Historis Dan Konstektual Dalam Kajian Literatur Islam Klasik; Adalah
kesepakatan keimanan seluruh kaum muslimin bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw adalah agama yang dihadirkan untuk menjadi petunjuk hidup bagi
seluruh umat manusia. Pandangan ini didasarkan pada teks al Qur-an : Dan Kami
tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai
pembawa berita gembir Dan sebagai pemberi peringatan tetapi kebanyakan manusia
tidakmengetahui”. Dalam teks lain dikemukakan bahwa visi atau tujuan akhir yang
dibawa oleh agama ini adalah kerahmatan (kasih sayang). Dan ini bukan hanya
bagi manusia tetapi juga bagi alam semesta. Ia adalah agama yang merahmati alam
semesta.(Q.S. al Anbiya,21: 107). Berdasarkan teks al Qur-an tersebut, maka
seluruh manusia merupakan ciptaan Tuhan Dan semuanya meski memiliki
latarbelakang kultural, etnis, warna kulit, kebangsaan, Dan jenis kelaim,
menempati posisi yang sama di hadapan-Nya.
Hal ini
dinyatakan secara eksplisit Dalam al Qur-an :;
Wahai manusia,
Kami ciptakan kamu sekalian terdiri dari laki-laki Dan perempuan Dan Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa Dan bersuku-suku agar saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling unggul di antara kamu adalah yang paling bertaqwa
(kepada Allah;.(Q.S. Al Hujurat, 13).
Ini sungguh
merupakan pernyataan paling tegas mengenal universalitas Islam Totalitas Islam
pada sisi lain muncul Dalam konsep “Trilogi Islam”. Trilogi ini merupakan
ajaran yang mewadahi dimensi-dimensi manusia. Pertama, dimensi keimanan.
Dimensi ini berpusat pada keyakinan personal manusia terhadap;Kemahaesaan
Tuhan;, pada;al Nubuwwat; (kenabian dan kitab-kitab suci) Dan;al Ghaibiyyat”
(metafisika). Dimensi ini biasanya juga dikenal dengan istilah “aqidah”. Kedua
adalah dimensi aktualisasi keyakinan tersebut yang bersifat eksoterik (hal-hal yang
dapat dilihat, yang lahiriyah). Dimensi ini berisi aturan-aturan bertingkahlaku
baik tingkah laku personal dengan Tuhannya, tingkah laku interpersonal yakni
antar suami-isteri Dan bertingkahlaku antar personal. Dimensi ini biasanya
disebut “syari’ah”. Ketiga aturan ini kemudian dirumuskan oleh para ulama Islam
sebagai : aturan ibadah, aturan hukum keluarga (al ahwal al syakhshiyyah), Dan
aturan mu’amalat atau pergaulan antar manusia Dalam ruang publik dengan segala
persoalannya. Dimensi ketiga adalah aturan-aturan yang mengarahkan gerak hati
(dimensi esoterik) yang diharapkan akan teraktualisasi Dalam sikap- sikap moral
luhur atau al Akhlaq al Karimah. Ini biasanya disebut juga dimensi
“tasawuf/akhlaq”.Seluruh dimensi ajaran Islam tersebut diambil dari sumber-sumber
otoritatif Islam yakni al Qur-an Dan Hadits Nabi. Kedua sumber utama Islam ini
mengandung prinsip-prinsip, dasar-dasar normatif, hikmah-hikmah Dan
petunjuk-petunjuk yang diperlukan bagi hidup Dan kehidupan manusia. Al Qur-an
menyatakan : “Kami tidak melupakan sesuatupun di Dalam al
Kitab”. Q.S.Al An’am,6:38). Dari sini para ulama kemudian
mengeksplorasi Dan mengembangkan kandungannya untuk menjawab kebutuhan manusia
Dalam ruang Dan waktu yang berbeda-beda Dan berubah-ubah.
Ekplorasi Dan
pengembangan tersebut dilakukan melalui alat Analisis yang bernama Ijtihad,
Istinbat atau Ilhaq al Masail bi Nazha-iriha atau sebutan lain yang identik
dengan aktifitas intelektual. Alat-alat Analisis inilah yang kemudian
melahirkan khazanah intelektual Islam yang maha kaya Dalam beragam disiplin
ilmu pengetahuan Dan teknologi. Inilah yang kemudian menciptakan peradaban Islam
yang gemilang. Aktifitas intelektual kaum muslim paling produktif Dalam sejarah
Islam lahir pada tiga abad pertama Islam.Menelusuri aktifitas intelektual kaum
muslimin pada tiga abad pertama Islam kita menemukan bahwa para sarjana Klasik Islam
Klasik ternyata tidak melakukan dikotomisasi antara ilmu pengetahuan Agama Dan
pengetahuan umum (sekuler). Mereka meyakini bahwa beragam jenis ilmu pengetahuan
adalah ilmu Allah yang mahakaya. Bahkan pergulatan intelektual mereka dilakukan
dengan mengadopsi secara selektif produk-produk ilmu pengetahuan Helenistik Dan
Persia terutama Dalam bidang filsafat Dan fisika.Aspek Hukum Islam Pada
tataranpengetahuan keagamaan, bidang paling hidup Dan produktif adalah bidang
hukum. Ini memang wajar karena tingkahlaku manusia senantiasa bergerak Dan
ruang Dan waktu yang semakin meluas Dan cepat disamping ini paling mudah
dipahami banyak orang. Maka sampai abad ke IV H, peradaban Islam telah
menghasilan ratusan para ahli hukum Islam terkemuka (mujtahidin) selain empat
Imam mujtahid; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al Syafi’i Dan
Ahmad bin Hanbal. Mereka bekerja keras untuk mengeksploitasi Dan mengembangkan
hukum Islam bagi keperluan masyarakat yang senantiasa berkembang. Masing-masing
dengan metodanya Dan kecenderungannya sendiri-sendiri. Produk-produk hukum
mereka yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan “fiqh”, senantiasa memiliki
relevansi dengan konteks sosio-kulturalnya masing-masing. Jika kita harus
memetakan pola fiqh ke empat mazhab paling terkenal di atas, maka dapat kita
kemukakan : Mazhab Hanafi adalah mazhab ahl al Ra’y (rasionalis), mazhab
Maliki; mazhab “muhafizhin” (menjaga tradisi), Syafi’i mazhab al Tawassuth, Dan
Hanbali ; mazhab “mutasyaddidin”. Pembagian pola atau katagorisasi ini tentu
saja tidak bersifat absolut, melainkan sebagai kecenderungan utama atau umum.
Satu hal yang sangat menarik adalah bahwa mereka Dan para pengikutnya yang awal
senantiasa saling menghargai pendapat lainnya. Satu pernyataan yang sering
dikemukakan mereka adalah “Ra’yuna Shawab Yahtamil al Khatha’ wa Ra’yu Ghairina
Khatha Yahtamil al Shawab” (pendapat kami benar tetapi boleh jadi keliru, Dan
pendapat selain kami keliru tetapi mungkin saja benar).Sikap menghargai
pandangan orang lain yang berbeda ditunjukkan oleh Imam Malik bin Anas melalui
penolakannya terhadap Khalifah dinasti Abbasiyah, Abu Ja;far al Manshur yang
menghendaki kitab;Al Muwattha; sebagai rujukan hukum bagi seluruh masyarakat
muslim. Kepada Khalifah beliau mengatakan :;anda tahu bahwa di berbagai wilayah
negeri ini telah berkembang berbagai tradisi hukum sesuai dengan kemaslahatan
setempat. Biarkan masyarakat memilih sendiri panutannya. Maka saya kira tidak
ada alasan untuk menyeragamkannya. Sebab tidak ada seorangpun yang berhak
mengklaim kebenaran atas nama Tuhan sekalipun”.(Inna likulli qawmin Salafan wa
Aimmah).(Baca : Subhi Mahmasani, Falsafah al Tasyri; fi al Islam, 89).
Upaya-upaya ke arah pengembangan hukum Islam sesudah abad IV H, memang kemudian
mengalami proses stagnasi atau tidak berjalan secara progresif. Kecenderungan
umum keberagaman umat Islam adalah mengikuti apa yang sudah ada, yang sudah
jadi, produk para ulama sebelumnya. Pemikiran mereka direproduksi Dalam beragam
pola ; syarh, hasyiyah, matan Dan nazhm. Kebutuhan Menghidupkan Teks Dewasa ini
sangat disadari bahwa produk- produk Islam tidak lagi cukup memadai untuk
menjawab berbagai problem baru produk modernitas. Karena itu upaya- upaya
menghidupkan teks-teks fiqh, sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak
dilakukan oleh umat Islam.
Beberapa hal
yang bisa dijadikan dasar kontekstualisasi adalah :Mengkaji substansi,
kausalita; hukum yang terdapat Dalam teks. Cara ini sejalan dengan kaedah fiqh
:
·
Mengkaji
sosio-kultural Dan Politik yang melatarbelakangi teks-teks fiqh Klasik.
·
Menjadikan
realitas sosial baru sebagai bahan Analisis bagi kemungkinan dilakukannya
perubahan hukum. Ini sejalan dengan kaedah “Taghayyur al Ahkam bi Taghayyur al
Ahwal wa al Azminah wa al Amkinah”(hukum bias berubah karena perubahan keadaan,
zama dan tempat.
4.
Priodesasi
perkembangan peradaban Islam
Sejak awal,
Rasulullah SAW tidak pernah mengajar sistem feodal atau monarki. Maka,
pemilihan khalifah (pada masa khulafaur rasyidin) dilakukan dengan tiga model
pemilihan: aklamasi; penunjukan; atau (ketiga) melalui tim formatur (dewan
syura).
Sementara di
bidang ekonomi, Nabi SAW mewariskan prinsip: mengakui hak individu berikut
penggunaannya; kepemilikan pribadi itu harus dipertanggungjawabkan kepada Allah
SWT; dan (prinsip ketiga) harta tersebut harus disalurkan kepada fakir miskin
atau yang lebih membutuhkan. Sedang sistem sosial Islam merangkul semua lapisan
masyarakat; mempertalikan si kaya dengan si miskin, dan raja dengan rakyat.
Tidak ada kasta-kasta dalam Islam.
Islam
menyajikan sistem tolong menolong antarumat dalam lapangan politik,
perekonomian, kehidupan sosial, bahkan sistem perdamaian. Islamlah yang
mencetuskan sistem perjanjian, konsulat, suaka politik, dan dakwah. Kerja sama
dan kontak ekonomi dibolehkan dengan pihak lain, seperti Yahudi, Persia dan
Romawi.
Semasa Dinasti
Umayyah (Amawiyah) berkuasa (661-770M), banyak institusi politik dibentuk,
misalnya undang-undang pemerintahan, dewan menteri, lembaga sekretariat negara,
jawatan pos dan giro serta penasihat khusus di bidang politik.
Dalam tatanan
ekonomi dan keuangan juga dibentuk jawatan ekspor dan impor, badan urusan
logistik, lembaga sejenis perbankan, dan badan pertanahan negara. Sedang dalam
tatanan teknologi, dinasti ini telah mampu menciptakan senjata-senjata perang
yang canggih pada masanya, sarana transportasi darat maupun laut, sistem
pertanian maupun pengairan.
Ketika Bani
Umayyah digantikan Bani Abbasiyah (750-1258M), ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang lebih pesat. Gerakan keilmuan lebih bersifat spesifik. Di bidang
astronomi, astronom pertama Muslim Muhammad ibnu Ibrahim Al-Farazi (777M)
membuat astrolobe atau alat ukur ketinggian bintang. Lalu ada Ali ibn Rabban
Al-Tabari (850M) sebagai dokter pertama yang mengarang buku Firdaus Al Hikmah.
Tokoh kedokteran lainnya adalah Ibnu Sina, Al Razi dan Al Farabi.
Sementara di
bidang kimia, muncul Jabir ibn Hayyan sebagai Bapak Ilmu Kimia Islam. Kimiawan
Muslim lainnya ketika itu adalah Al Razi dan Al Tuqrai (abad ke-12M). Muncul
pula sejarawan seperti Ahmad al-Yakubi dan Abu Jafar Muhammad bin Jafar bin
Jarir Al-Tabari. Sedang ahli ilmu bumi termasyhur Ibnu Khurdazabah (820-913M).
Khusus di bidang
hadits, dilakukan penyempurnaan, pembukuan dan pencatatan dari hafalan para
sahabat. Mulailah dilakukan pengklasifikasian secara sistematis dan krologis,
sehingga muncul apa yang kita kenal sebagai hadits shahih, dhaif, maudhu.
Bahkan dikemukakan pula kritik sanad dan matan, sehingga terlihat jarah dan
takdil rawi sebuah hadits .
Apa yang
disajikan Ajid Thohir dalam bukunya Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam:
Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam terbitan Rajawali Pers
(PT Raja Grafindo Perkasa) ini membuktikan argumentasi reformis Islam asal
Mesir Muhammad Abduh bahwa sangat tidak benar (persangkaan Barat selama ini)
mengaitkan Islam dengan keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Justru
Baratlah yang kemudian mencomot apa-apa yang terbaik dari peradaban Islam.
Demikian pula
Bani Abbasiyah meski berdasarkan nilai kebersatuan, moderat, universal, dan kesamaan
hubungan dalam hukum merupakan daulat yang dibangun dengan sistem suksesi turun
temurun. Ketika terjadi konflik internal keluarga dan pada saat mereka
kehilangan kendali terhadap daulat-daulat kecil, maka pecahlah kekuasaan
kekhalifahan.
Di wilayah
Barat, Andalusia, Dinasti Umayyah bangkit lagi dengan mengangkat Abdurahman
Nasr menjadi khalifah/Amir Al-Mukminin. Di Afrika Utara, Syiah Amaliah
membentuk Dinasti Fatimiah. Sementara di Mesir muncul Muhammad Ikhsyid sebagai
penguasa dari Bani Abbas. Di Baghdad pusat kekuasaan Abbasiyah sendiri, berdiri
Bani Buwaihi. Yaman dan Tunisia pun bangkit.
Kekuasaan
Umayyah dihancurkan Abbasiyah, karena ketidakadilan dalam kebijakan land reform
serta konflik berkepanjangan dengan kaum Syiah. Sedang Daulat Abbasiyah
dihancurkan pasukan Tartar dari Mongolia, ketika kejayaannya juga terus merosot
dan lemah.
Ajid Thohir
secara sistematis menyajikan bagaimana prosesi sejarah peradaban di kawasan
dunia Islam ini berjaya dan jatuh bangun. Juga ia hadirkan keinginan-keinginan
untuk mendirikan negara Islam, seperti yang terjadi di Indonesia pada masa
pemerintahan Ir Soekarno.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Peradaban
seringkali diartikan sama dengan kebudayaan menurut a.a. Fyzee, peradaban
(civilization) dapat diartikan dalam hubungannya dengan kewarganegaraan karena
berasal dari kata civies (latin) atau civil (inggris) yang berarti seorang
warganegara yang berkemajuan
Suatu peradaban
hanya akan wujud jika manusia di dalamnya memiliki pemikiran yang tinggi
sehingga mampu meningkatkan taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat
tumbuh begitu saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan
infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan sarana penting
bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah
struktur ilmu pengetahuan yang berasal dari pandangan hidup.
Islam
menyajikan sistem tolong menolong antar umat dalam lapangan politik,
perekonomian, kehidupan sosial, bahkan sistem perdamaian. Islamlah yang
mencetuskan sistem perjanjian, konsulat, suaka politik, dan dakwah. Kerja sama
dan kontak ekonomi dibolehkan dengan pihak lain, seperti Yahudi, Persia dan
Romawi.
B.
Saran
Diharapkan
kepada seluruh mahasiswa pada umumnya. Dan pada mahasiswa(i) semester empat
pada khususnya. Agar lebih belajar dengan giat tentang sejarah peradaban Islam
karena agar kita lebih mengenal bagaimana sebuah peradaban tejadi yang pada
makalah ini dititik beratkan pada peradaban Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar