Kotak Saran

tombol masukan dan saran

Kamis, 19 Februari 2015

Makalah Tarikh Tasyrih: Penetapan Hukum dan Sumber Hukum Islam Pada Masa Sahabat Generasi Kedua



 BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Telah kita ketahui bersama bahwa sumber penetapan hukum di masa Nabi adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dua hal tersebut merupakan rujukan tertinggi dalam berfatwa dan memutuskan suatu hukum. Namun setelah Nabi wafat dan Wahyu tidak turun lagi, maka kepemimpinan umat dalam urusan dunia dan agama, beralih ke tangan Khulafa al-Rasyidin dan pra sahabat yang terkemuka. Mereka itulah yang mulai memikul beban dan bangkit dengan tugas yang berat.
Selanjutnya para sahabat menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, ketentaraan, perkawinan, pajak, cara menetapkan hukum di pengadilan, dan lain-lain. Dalam menjawab hukum persoalan yang baru, maka para sahabat terlebih dahulu merujuk ke Al-Qur'an, bila tidak ada disana, mereka berpindah ke Al-hadits dan setelah tidak ada al-hadits, maka para sahabat tersebut baru Berijtihad.
Setelah masa khalifah yang keempat berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya oleh dipimpin Bani Umayah. Pemerintahan ini didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Supyan yang sebelumnya menjadi Gubernur Damaskus. Pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam lebih banyak diwarnai unsur-unsur kepentingan politik dan lain sebagainya. Hukum yang dibuat tidak lagi didahului oleh Wahyu melainkan didahului oleh akal. Sehingga dalam penetapannya tidak memberikan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Hanya menguntungkan segolongan orang saja. Ketetapan ini bisa dilihat dari ketetapan hukum yang diambil oleh masing-masing golongan (mazhab) yang akan kita bahas dalam makalah ini. Hanya sebagian kecil saja pada masa ini yang benar-benar menentukan hukum sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam sumber hukum Islam.
Walaupun dasar yang diambil adalah Al-Qur'an dan sunnah, akan tetapi hanya mengambil sebagian-sebagiannya saja. Sehingga dalam segi penafsirannya menimbulkan ketimpangan-ketimpangan hukum.
B.       Ruang Lingkup Pembahasan
Adapun masalah yang akan kami bahas disini adalah sebatas Bagaimana Penetapan Hukum dan Sumber Hukum Islam Pasa Masa Sahabat Generasi Kedua?
C.      Maksud dan Tujuan Penulisan
Adapun maksud dari penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Tarikh Tasyri. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk bisa dijadikan acuan dalam penetapan hukum pada zaman sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh generasi-generasi sebelumnya yaitu pada masa Nabi dan para sahabat

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Penetapan Hukum Pada Masa Sahabat Generasi Kedua (Tabi’in)
1.    Kondisi Hukum Islam Pada Masa Ini
Kondisi hukum Islam pada masa ini dapat digambarkan dalam beberapa hal. Pertama, hukum Islam pada periode ini berjalan sebagaimana halnya pada periode kedua, Dari segi sandarannya yaitu Al-Qur'an, sunnah, Ijma, dan Qiyas. Namun prinsip musyawarah belum kembali berkedudukan sebelumnya. Hal ini disebabkan kaum muslimin berpencar-pencar dan pertengkaran mereka sekitar kekhalifahan serta siapa yang lebih berhak mendudukinya. Disebabkan hal itu mereka terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu Khawarij, Syi’ah dan Jumhur yang sedang-sedang saja. Kedua, para ulama Islam berpencar diberbagai daerah, mereka tidak kembali berkumpul dalam satu daerah sebagaimana pada periode sebelumnya. Ketiga, orientasi mayoritas ulama yang lurus mengarah pada dua sisi dalam perselisihan dibidang Fiqh, yaitu sebagian dari mereka mengambil dari nash-Nash (ahli hadits) saja dan sebagian lagi mengambil sinar (Ruh) dari nash-nash dalam mengetahui hukum-hukum lain melalui jalan analogi dan mereka biasa disebut ahli Ra’yu. Keempat, tersebarnya periwayatan ahli hadits, setelah sebelumnya mereka takut berdosa karena khawatir mendustakan Rasulullah, namun kebutuhan mendorong mereka untuk melakukan hal itu. Kelima, munculnya para pembuat hadits palsu dengan memperbanyak kebimbangan. Keenam, munculnya Mawali (budak-budak) yang pengetahuannya banyak didayagunakan Islam. (As-Sayis: 2003, 93)
2.    Faktor Yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam
Diantara faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam antara lain adalah:
a)    Perluasan Wilayah
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, ekspansi dunia Islam dilakukan sejak zaman khalifah. Langkah awal yang dilakukan Mu’awiyah dalam rangka menjalankan pemerintahan adalah memindahkan ibu kota negara, dari Madinah ke Damaskus. Mu’awiyah kemudian melakukan ekspansi ke barat hingga dapat menguasai Tunisia, Aljazair, dan Maroko sampai ke pantai samudra Atlantik. Penaklukan ke Spanyol dilakukan pada zaman pemerintahan Walid ibn Abd al-malik (705-715 M). Banyaknya daerah baru yang dikuasai berarti banyak pula persoalan yang dihadapi oleh umat Islam, persoalan tersebut perlu diselesaikan berdasarkan Islam. Karena ini merupakan petunjuk dari manusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam; karena semakin luas wilayah yang dikuasai berarti semakin banyak penduduk di negeri muslim, dan semakin banyak penduduk, semakin banyak pula persoalan hukum yang harus diselesaikan.
b)   Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada zaman ini, fuqaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mazhab atau aliran hadits dan aliran ra’yu. Aliran hadits adalah golongan yang lebih banyak menggunakan riwayat dan sangat “Hati-hati” dalam penggunaan ra’yu, sedangkan aliran ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan aliran hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum Islam itu semakin mendorong perkembangan iktilaf, dan pada saat yang sama pula semakin mendorong perkembangan hukum Islam. (Mubarok, 2000: 54)
3.     Faktor Yang Menyebabkan Perbedaan Pendapat Di kalangan Tokoh Tasyri’
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan tokoh tasyri’ sahabat dalam menetapkan hukum terhadap berbagai kasus yang terjadi, diantaranya:
a)    Nas-nas hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah sangat banyak tidak bersifat qath’iyah al-dalalah (tidak tegas indikasinya) terhadap apa yang dimakus nas itu.
b)   Sunnah Nabi saw, yang telah tersebar di kalangan umat Islam belum terbukukan dan belum ada consensus untuk menghimpun sunnah dalam satu koleksi yang dijadikan sebagai pedoman bersama.
c)    Lingkungan tempat mereka hidup dan menetap berbeda-beda. Demikian pula kemaslahatan dan kebutuhan yang menjadi dasar pertimbangan dalam menerapkan hukum bertingkat-tingkat juga, misalnya Abdullah bin Umar yang tinggal dan menetap di Madinah tidak mengalami seperti yang dialami oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan di syam. Demikian juga tidak mengalami seperti apa yang dialami oleh Abdullah bin Mas’ud yang hidup dan menetap di Kuffah.
Demikian ketiga sebab tersebut diatas, maka fatwa hukum yang sampaikan oleh para sahabat mengenai suatu peristiwa berbeda-beda dan masing-masing mereka mempunyai dasar argumentasi atas apa yang difatwakannya itu, (Khallaf, 2002: 57).
4.    Pemegang Kekuasaan Tasyri’ Pada Periode Tadwin
Pada akhir abad pertama hijriah para sahabat yang telah banyak mengeluarkan fatwa dan menetapkan hukum-hukum telah tersebar di berbagai kota besar diikuti oleh generasi tabi’in. Generasi tabi’in mengambil dan menerima pelajaran dari para sahabat mengenai tafsir Al-Qur'an, hadits, fikih, fatwa-fatwa mereka dan mengetahui rahasia-rahasia penetapan hukum, serta metode-metode penetapan hukum itu. Diantara para tabi’in ada yang meminta fatwa kepada para sahabat dan ada juga yang sudah tampil memberikan fatwa ketika pada sahabat masih hidup, seperti Said bin al-Musayyab di Madinah, Al-Qamah bin Qais dan Said bin Jubair di Kuffah. Bahkan ada riwayat, bahwa ketika penduduk Kufah pergi menunaikan ibadah haji dan mereka minta fatwa kepada Ibnu Abbas Ibnu Abbas menjawab: “Bukankah di antara kalian ada Said bin Jubair?”
Para tabi’in ini selanjutnya diikuti juga oleh generasi berikutnya yaitu para tabi’in-tabi’in. Para tabi’in-tabi’in ini mengambil dan menerima pengetahuan dari para tabi’in sebagaimana halnya yang mereka terima dari pada sahabat, yaitu mengenai Al-Qur'an dan tafsirnya, hadits, fikih, dan rahasia-rahasia tasyri’ serta metodenya. Kemudian, selanjutnya pada generasi tabi’in inilah sebagai tempat belajar dan menerima informasi oleh generasi imam-imam mujtahid yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal) dan tokoh-tokoh tasyri lainnya yang hidup sezaman dengan mereka.
Ketika tokoh-tokoh tasyri dari kalangan sahabat telah wafat dan berakhir periodenya, maka kekuasaan tasyri di warisi dan dilanjutnya oleh kader dan generasi mereka yaitu para tabi’in. kemudian setelah periode tabi’in juga berakhir, maka pemegang peranan pengembangan hukum Islam diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan generasi mereka yaitu tabi-tabi’in. selanjutnya, sesudah masa tabi’-tabi’in ini juga berakhir, maka para imam mujtahid yang empat bersama tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang memegang kekuasaan peran dalam mengembangkan hukum Islam.
B.       Sumber Hukum Islam Pasa Masa Sahabat Generasi Kedua
Secara umum tabi;in mengikuti langkah – langkah penetapan dan pnerapan hukum yang telah dilakukan sahabat dalam mengeluarkan hukum. Langkah – langkah yang mereka lakukan di antaranya mencari ketentuannya dalam al-qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada dalam al – qur’an, mereka mencarinya dalam al – sunnah. Apabila tidak di tetapkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah mereka kembali kepada pendapat sahabat.  Dan apabila pendapat sahabat didak diperoleh maka mereka berijtihad. Dengan demikian sumber hukum pada tabi’in adalah al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ (qaul) sahabat, dan ijtihad.


BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dari penjelasan yang singkat di atas maka dapat kita simpulkan bahwa :
1.      Kondisi hukum Islam pada masa ini dapat digambarkan dalam beberapa hal. Pertama, hukum Islam pada periode ini berjalan sebagaimana halnya pada periode kedua, Dari segi sandarannya yaitu Al-Qur'an, sunnah, Ijma, dan Qiyas. Namun prinsip musyawarah belum kembali berkedudukan sebelumnya. Hal ini disebabkan kaum muslimin berpencar-pencar dan pertengkaran mereka sekitar kekhalifahan serta siapa yang lebih berhak mendudukinya. Kedua, para ulama Islam berpencar diberbagai daerah, mereka tidak kembali berkumpul dalam satu daerah sebagaimana pada periode sebelumnya. Ketiga, orientasi mayoritas ulama yang lurus mengarah pada dua sisi dalam perselisihan dibidang Fiqh, yaitu sebagian dari mereka mengambil dari nash-Nash (ahli hadits) saja dan sebagian lagi mengambil sinar (Ruh) dari nash-nash dalam mengetahui hukum-hukum lain melalui jalan analogi dan mereka biasa disebut ahli Ra’yu. Keempat, tersebarnya periwayatan ahli hadits, setelah sebelumnya mereka takut berdosa karena khawatir mendustakan Rasulullah, namun kebutuhan mendorong mereka untuk melakukan hal itu. Kelima, munculnya para pembuat hadits palsu dengan memperbanyak kebimbangan. Keenam, munculnya Mawali (budak-budak) yang pengetahuannya banyak didayagunakan Islam.
2.      Para sahabat dalam menetapkan suatu hukum sering terjadi perbedaan diantara para sahabat-sahabat itu sendiri
3.      Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam pada masa tabiin ini banyak diwarnai dengan unsur-unsur kepentingan politik. Ini bisa dilihat dari banyaknya hukum-hukum yang hanya menguntungkan segelintir golongan saja.
4.      Faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah perluasan kekuasaan dan perbedaan penggunaan ra’yu.
5.      Terjadinya perbedaan pendapat dalam penetapan hukum adalah banyak nas-nas yang masih bersifat umum, sunnah yang belum dibukukan dan lingkungan yang berbeda.
6.      sumber hukum pada tabi’in adalah al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ (qaul) sahabat, dan ijtihad.

B.       Saran
Semoga apa yang telah kami bahas dan kami tuliskan disini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi penulis sendiri. Selain itu juga kami harapkan makalah ini dapat dijadikan bahan acuan sebagai penetapan dan sumber hukum dalam islam sebagaimana yang telah di tetapkan sejak zaman Rasulullah.

Tidak ada komentar: