Kotak Saran

tombol masukan dan saran

Kamis, 19 Februari 2015

makalah sejarah peradaban Islam: Oleh Mas'ud Suherman



PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Anjuran agama Islam adalah tolong menolong antara muslim ataupun non-muslim. Bentuk tolong-menolong itu bermacm-macam, bisa berupa benda, jual beli, dan lain sebagainya. Salah satu di antaranya adalah wasiat (suatu hasrat atau keinginan yang dizahirkan secara lisan atau bertulis oleh seseorang mengenai hartanya untuk diuruskan selepas berlaku kematiannya) dan hibah, atau disebut juga pemberian cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan.
Dalam kehidupan di masyarakat juga, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebuitan harta warisan. Pembagian harta warisan di dalam Islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat di dalamnya tidak saling bertikai  dan bermusuhan, maka adalah ilmu mawaris sebagai solusi polemik pembagian waris tersebut. Dalam makalah ini insya Allah penulis akan membahas tentang hubungan hibah, wasiat, dan waris, mudah-mudahan makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua untuk bekal kita kelak tatkala berkecimpung di masyarakat.
B.  Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas maka penulis merumuskan beberapa masalah yang akan di bahas sebagai berikut :
1.      Apa pengertian hibah, wasiat, dan waris ?
2.      Bagaimana hubungan hibah dengan waris ?
3.      Bagaimana hubungan hibah dengan wasiat ?
4.      Bagaimana hubungan wasiat dengan waris ?

C.  Tujuan Penulisan
Berangkat dari rumusan masalah di atas maka penulis merumuskan beberapa tujuan penulisan sebagai berikut :
1.      Mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui pengertian hibah, wasiat, dan waris.
2.      Mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui bagaimana hubungan antara hibah dengan waris.
3.      Mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui bagaimana hubungan antara hibah dengan wasiat.
4.      Mahasiswa/mahasiswi dapat mengetahui bagaimana hubungan antara wasiat dengan waris.


BAB II
PEMBAHASAN


A.  Pengertian Hibah, Waris, dan Wasiat
1.    Hibah
Berkenaan dengan definisi hibah (هِبَةٌ), As Sayid Sabiq berkata di dalam kitabnya : “(Definisi) hibah menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad yang tujuannya penyerahan seseorang atas hak miliknya kepada orang lain semasa hidupnya tanpa imbalan apapun”. Beliau berkata pula: “Dan hibah bisa juga diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk penghormatan untuk orang lain, baik berupa harta atau lainnya”. Syaikh Al Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari orang yang mampu melakukannya pada masa hidupnya untuk orang lain berupa harta yang diketahui (jelas)”.[1]
2.    Wasiat
Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia.[2] Dari definisi ini jelaslah perbedaan antara hibah (dan yang semakna dengannya) dengan wasiat. Orang yang mendapatkan hibah, dia langsung berhak memiliki pemberian tersebut pada saat itu juga, sedangkan orang yang mendapatkan wasiat, ia tidak akan bisa memiliki pemberian tersebut sampai si pemberi wasiat meninggal dunia terlebih dahulu.
3.    Warisan
Warisan berbeda dengan hibah ataupun wasiat. Warisan dalam bahasa Arab disebut at tarikah (التَّرِكَة), Definisinya menurut istilah syariat ialah, seluruh harta seseorang yang ditinggalkannya disebabkan dia meninggal dunia.[3] Hak-hak yang berkaitan dengan at tarikah (warisan) ada empat. Keempat hak ini tidak berada pada kedudukan yang sama, akan tetapi hak yang satu lebih kuat dari yang lainnya, sehingga harus lebih didahulukan dari hak-hak lainnya. Urutan empat hak yang berkaitan dengan at tarikah tersebut sebagai berikut:
a)    Hak yang pertama, dimulai dari pengambilan sebagian at-tarikah tersebut untuk biaya-biaya pengurusan jenazah si mayit (mulai dari dimandikannya mayit sampai dikuburkan).
b)   Hak yang ke dua, pelunasan utang-utang si mayit (jika memiliki utang).
c)    Hak yang ke tiga, melaksanakan wasiatnya dari sepertiga tarikahnya setelah dikurangi biaya pelunasan utang-utangnya.
d)   Hak yang ke empat, pembagian tarikah (harta warisannya) kepada seluruh ahli warisnya dari sisa pengurangan (dari ke tiga hak di atas).
B.  Nisbah (hubungan) antara Hibah, Wasiat, dan Waris
1. Hubungan Hibah dengan Waris
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan hubungan hibah dengan waris terdapat dalam Pasal 211, yaitu :“Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”.[4] Dalam hal ini, bisa dianalisis lebih lanjut, maka Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam memuat aspek urf, karena setelah melihat nas, baik itu Al-Qur’an maupun Hadist, tidak menjumpai nas yang menunjukkan tentang diperhitungkannya hibah orang tua kepada anak sebagai warisan.
Dengan demikian, bahwa ketentuan Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam tentang hibah orang tua kepada anaknya, dapat diperhitungkan sebagai warisan. Hibah tersebut merupakan adat kebiasaan yang telah mengakar dan telah diterima oleh masyarakat Indonesia. Adat istiadat semacam ini menurut kaidah-kaidah Hukum Islam disebut urf. Yang dimaksud dengan urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu. Urf disebut juga dengan adat (kebiasaan).
Urf dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :
a)    Urf Sahih adalah suatu yang telah dikenal manusia yang tidak bertentangan dengan dalil syara, tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang wajib. Urf Sahih ini harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan di dalam pengadilan. Bagi seorang mujtahid, harus memeliharanya dalam waktu membentuk hukum, seorang hakim yang harus memeliharanya ketika mengadili, karena apa yang telah dibiasakan dan dijalankan oleh masyarakat adalah kebutuhan dan menjadi maslahat yang diperlukannya, selama kebiasaan tersebut tidak berlawanan dengan syari’at haruslah dipelihara.
b)   Urf Fasih adalah sesuatu yang dikenal manusia tetapi bertentangan dengan syara atau yang menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Urf  ini tidak harus dipelihara, karena dengan memeliharanya, berarti bertentangan dengan dalil syara atau membatalkan Hukum Syara.
Fakta bahwa hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan, telah menjadi tradisi atau urf dikalangan masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat Jawa yang bersifat parental, telah berlaku suatu tradisi  penghibahan terhadap anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Di waktu anak menjadi dewasa dan pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk mulai hidup berumah tangga dan membentuk keluarga yang berdiri sendiri, maka sering kali anak-anak itu sudah dibekali sebidang tanah pertanian, beserta sebidang tanah pekarangan serta beberapa ekor ternak. Harta ini merupakan dasar materil bagi keluarga baru itu, penghibahan sebagian dari harta keluarga kepada anak. Kemudian, setelah orang tua yang menghibahkan ini meninggal, dilakukan  pembagian harta peninggalan kepada ahli warisnya, maka hibah tersebut akan diperhatikan serta diperhitungkan dengan bagian yang semestinya diterima oleh anak-anak yang bersangkutan, bila mereka itu belum menerima bagian dari harta keluarga secara hibah. Apabila seseorang  anak mendapatkan sesuatu pemberian semasa hidup  bapaknya, demikian banyaknya sehingga boleh dianggap ia telah mendapatkan  bagian penuh dari harta peninggalan bapaknya, maka anak ini tidak lagi berhak  atas harta yang lain yang dibagi-bagi setelah bapaknya meninggal dunia. Akan tetapi, setelah melihat banyaknya harta peninggalan, ternyata yang telah diterima anak tersebut masih belum cukup, maka ia akan mendapat tambahan pada saat harta peninggalan bapaknya dibagi-bagi, sehingga bagiannya sama dengan saudara-saudaranya yang lain.
2. Hubungan Hibah dan Wasiat
Hibah dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri. Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya (Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182). Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi Hukum Islam kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Ketentuan hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat Al-Maidah ayat 2. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Faktor yang paling dalam disyariatkan hibah dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat. Kalapun akan di bedakannya hanya waktu pelaknasaannya, yaitu hibah dilaksanakan semasa penghibah masih hidup, sedang wasiat dilaksanakan setelah pewasiat wafat. Dikatakan hibah dan wasiat pada asanya adalah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT karena arti harfiah dari 2 (dua) kata ini mendekati arti yang sama. Wasiat artinya menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan menyambung, memerintah, mewajibkan. Sedangkan hibah diartikan pemberian tanpa syarat tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu oleh mazhab Maliki hibah sama dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi’i adalah pemberian untuk menghormati atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud mengharapkan pahala dari Allah SWT. Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua pengertian, yaitu pengertian umum dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah dan sedekah dan pengertian khusus yang disebut hibah apabila pemberian tersebut tidak bermaksud menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridho Allah SWT. Jika pemberian (hadiah) tersebut bermaksud menghormati atau memuliakan yang diberi disebut hadiah, jika pemberian mengharapkan ridho Allah SWT atau menolong untuk menutupi kesusahannya disebut sedekah. Hibah dan wasiat dilihat dari Hikmatu Al-Tasyri (Filsafat Hukum Islam) adalah untuk memenuhi hasrat berbuat bagi umat islam yang beriman kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177). Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab). Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. Hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat bukti atau nilai objek hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama.
Hibah dan wasiat yang  diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214). Ketentuan wasiat yang diatur didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. Sedangkan ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal. Meskipun ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena jarang terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka dengan sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang ditentukan dalam KHI.
3. Hubungan wasiat dan waris
Dalam Al-Quran, ALLAH berfirman:
4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ
“(pembagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat oleh simati dan sesudah di bayarkan utangnya ”(Surah An-Nisa': 11)
Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan. Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan yang terpenting pembagian harta warisan setelah di tunaikan dulu wasiat/hutang si mayat apabila ia berwasiat/berhutang piutang.


BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
1.      Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari orang yang mampu melakukannya pada masa hidupnya untuk orang lain berupa harta yang diketahui (jelas). Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia. Definisi waris menurut istilah syariat ialah, seluruh harta seseorang yang ditinggalkannya disebabkan dia meninggal dunia.
2.      Hubungan antara hibah dengan waris menurut KHI dan KUH Perdata adalah terjadi karena adanya transformasi hukum adat kedalam hukum Islam (pasal 211) KHI. Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Dalam KUH Perdata hubungan antara hibah dan waris telah ada sejak dibuatnya KUH Perdata  dan KHI itu sendiri. Hal itu demi kepentingan semua masyarakat Indonesia.
3.      Hubungan antara hibah dengan wasiat, hibah disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 177 dan Al-Maidah ayat 2. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharap pahala dari Allah SWT. Faktor yang paling penting dalam disyariatkanya hibah dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan, dan ketulusan dari penghibah yang berwasiat. Kalaupun akan dibedakanya hanya waktu pelaksanaanya, hibah diksanakan semasa penghibah masih hidup, sedangkan wasiat dilaksanakan setelah pewasiat wafat. Dikatakan hibah dan wasiat pada asasnya adalah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT  karena arti harfiah dari dua kata ini mendekati arti yang sama.
4.      Hubungan wasiat dengan waris ialah waris bisa ditunaikan apabila wasiat si mayit telah ditunaikan sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 11.
B.  Saran
Dari apa yang telah di sajikan di atas, penulis berharap mudah-mudahan makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya, sebagai bahan acuan dan bisa menjadi bekal kita ketika nantinya terj un ke masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Arief Budiman, Abu Abdillah, http//sekilas-hibah-wasiat-dan-warisan.html. Diunduh pada 08 mei 2013 pukul 20.12 wib.
Kharis Ahmadi, Andika, http//filosofi-hukum-islam-tentang-waris.html. Diunduh pada 08 mei 2013 pukul 20.15 wib.
Zain An-Najah, Ahmad, http//Beda Harta Hibah, Wasiat dan Warisan _ wiemasen.com.htm. Diunduh pada 08 mei 2013 pukul 20.20 wib.
Rahadian, Arif, http//bphtb-waris-dan-hibah-wasiat.html. Diunduh pada 08 mei 2013 pukul 20.30 wib.


 




[1] Abu Abdillah Arief Budiman, http//sekilas-hibah-wasiat-dan-warisan.html. Diunduh pada 08 mei 2013 pukul 20.12 wib.
[2] Abu Abdillah Arief Budiman. Op.cit.
[3] Abu Abdillah Arief Budiman. Op.cit.
[4] Andika Kharis Ahmadi, http//filosofi-hukum-islam-tentang-waris.html. Diunduh pada 08 mei 2013 pukul 20.15 wib.

Tidak ada komentar: