PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Anjuran agama Islam adalah tolong menolong antara
muslim ataupun non-muslim. Bentuk tolong-menolong itu bermacm-macam, bisa
berupa benda, jual beli, dan lain sebagainya. Salah satu di antaranya adalah
wasiat (suatu hasrat atau keinginan yang dizahirkan secara lisan atau bertulis
oleh seseorang mengenai hartanya untuk diuruskan selepas berlaku kematiannya)
dan hibah, atau disebut juga pemberian cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan.
Dalam kehidupan di masyarakat juga, tidak sedikit
terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebuitan harta
warisan. Pembagian harta warisan di dalam Islam diberikan secara detail, rinci,
dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat di dalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan, maka adalah ilmu mawaris
sebagai solusi polemik pembagian waris tersebut. Dalam makalah ini insya Allah
penulis akan membahas tentang hubungan hibah, wasiat, dan waris, mudah-mudahan
makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua untuk bekal kita kelak tatkala
berkecimpung di masyarakat.
B. Rumusan
Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas maka penulis
merumuskan beberapa masalah yang akan di bahas sebagai berikut :
1.
Apa
pengertian hibah, wasiat, dan waris ?
2.
Bagaimana
hubungan hibah dengan waris ?
3.
Bagaimana
hubungan hibah dengan wasiat ?
4.
Bagaimana
hubungan wasiat dengan waris ?
C. Tujuan
Penulisan
Berangkat dari rumusan masalah di atas maka penulis
merumuskan beberapa tujuan penulisan sebagai berikut :
1.
Mahasiswa/mahasiswi
dapat mengetahui pengertian hibah, wasiat, dan waris.
2.
Mahasiswa/mahasiswi
dapat mengetahui bagaimana hubungan antara hibah dengan waris.
3.
Mahasiswa/mahasiswi
dapat mengetahui bagaimana hubungan antara hibah dengan wasiat.
4.
Mahasiswa/mahasiswi
dapat mengetahui bagaimana hubungan antara wasiat dengan waris.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hibah, Waris, dan Wasiat
1.
Hibah
Berkenaan dengan definisi hibah (هِبَةٌ), As Sayid Sabiq berkata di dalam kitabnya : “(Definisi) hibah
menurut istilah syar’i ialah, sebuah akad yang tujuannya penyerahan seseorang
atas hak miliknya kepada orang lain semasa hidupnya tanpa imbalan apapun”.
Beliau berkata pula: “Dan hibah bisa juga
diartikan pemberian atau sumbangan sebagai bentuk penghormatan untuk orang
lain, baik berupa harta atau lainnya”. Syaikh Al Fauzan berkata: “Hibah adalah pemberian (sumbangan) dari
orang yang mampu melakukannya pada masa hidupnya untuk orang lain berupa harta
yang diketahui (jelas)”.[1]
2.
Wasiat
Makna wasiat
(وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang
dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si
pemberi meninggal dunia.[2] Dari definisi ini jelaslah perbedaan antara hibah
(dan yang semakna dengannya) dengan wasiat. Orang yang mendapatkan hibah, dia
langsung berhak memiliki pemberian tersebut pada saat itu juga, sedangkan orang
yang mendapatkan wasiat, ia tidak akan bisa memiliki pemberian tersebut sampai
si pemberi wasiat meninggal dunia terlebih dahulu.
3.
Warisan
Warisan
berbeda dengan hibah ataupun wasiat. Warisan dalam bahasa Arab disebut at tarikah
(التَّرِكَة), Definisinya menurut istilah syariat ialah, seluruh harta
seseorang yang ditinggalkannya disebabkan dia meninggal dunia.[3] Hak-hak yang berkaitan dengan at tarikah (warisan)
ada empat. Keempat hak ini tidak berada pada kedudukan yang sama, akan tetapi
hak yang satu lebih kuat dari yang lainnya, sehingga harus lebih didahulukan
dari hak-hak lainnya. Urutan empat hak yang berkaitan dengan at tarikah
tersebut sebagai berikut:
a)
Hak yang
pertama, dimulai dari pengambilan sebagian at-tarikah tersebut untuk
biaya-biaya pengurusan jenazah si mayit (mulai dari dimandikannya mayit sampai
dikuburkan).
b)
Hak yang ke
dua, pelunasan utang-utang si mayit (jika memiliki utang).
c)
Hak yang ke
tiga, melaksanakan wasiatnya dari sepertiga tarikahnya setelah dikurangi biaya
pelunasan utang-utangnya.
d)
Hak yang ke
empat, pembagian tarikah (harta warisannya) kepada seluruh ahli warisnya dari
sisa pengurangan (dari ke tiga hak di atas).
B. Nisbah (hubungan) antara Hibah, Wasiat, dan Waris
1. Hubungan
Hibah dengan Waris
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan
hubungan hibah dengan waris terdapat dalam Pasal 211, yaitu :“Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan”.[4] Dalam hal ini, bisa dianalisis lebih
lanjut, maka Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam memuat aspek urf, karena
setelah melihat nas, baik itu Al-Qur’an maupun Hadist, tidak menjumpai nas yang
menunjukkan tentang diperhitungkannya hibah orang tua kepada anak sebagai
warisan.
Dengan demikian, bahwa ketentuan Pasal 211
Kompilasi Hukum Islam tentang hibah orang tua kepada anaknya, dapat
diperhitungkan sebagai warisan. Hibah tersebut merupakan adat kebiasaan yang
telah mengakar dan telah diterima oleh masyarakat Indonesia. Adat istiadat
semacam ini menurut kaidah-kaidah Hukum Islam disebut urf. Yang dimaksud
dengan urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, yang
telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau
dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu. Urf disebut juga
dengan adat (kebiasaan).
Urf dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :
a)
Urf Sahih adalah suatu yang telah dikenal manusia yang tidak bertentangan dengan
dalil syara, tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang wajib. Urf
Sahih ini harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan di dalam pengadilan.
Bagi seorang mujtahid, harus memeliharanya dalam waktu membentuk hukum, seorang
hakim yang harus memeliharanya ketika mengadili, karena apa yang telah
dibiasakan dan dijalankan oleh masyarakat adalah kebutuhan dan menjadi maslahat
yang diperlukannya, selama kebiasaan tersebut tidak berlawanan dengan syari’at
haruslah dipelihara.
b)
Urf Fasih adalah sesuatu yang dikenal manusia tetapi
bertentangan dengan syara atau yang menghalalkan yang haram dan membatalkan
yang wajib. Urf ini tidak harus dipelihara, karena dengan memeliharanya,
berarti bertentangan dengan dalil syara atau membatalkan Hukum Syara.
Fakta bahwa hibah orang tua kepada anaknya
dapat diperhitungkan sebagai warisan, telah menjadi tradisi atau urf dikalangan
masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat Jawa yang bersifat parental, telah
berlaku suatu tradisi penghibahan terhadap anak-anak, baik laki-laki
maupun perempuan. Di waktu anak menjadi dewasa dan pergi meninggalkan rumah
orang tuanya untuk mulai hidup berumah tangga dan membentuk keluarga yang
berdiri sendiri, maka sering kali anak-anak itu sudah dibekali sebidang tanah
pertanian, beserta sebidang tanah pekarangan serta beberapa ekor ternak. Harta
ini merupakan dasar materil bagi keluarga baru itu, penghibahan sebagian dari
harta keluarga kepada anak. Kemudian, setelah orang tua yang menghibahkan ini
meninggal, dilakukan pembagian harta peninggalan kepada ahli warisnya,
maka hibah tersebut akan diperhatikan serta diperhitungkan dengan bagian yang
semestinya diterima oleh anak-anak yang bersangkutan, bila mereka itu belum
menerima bagian dari harta keluarga secara hibah. Apabila seseorang anak mendapatkan
sesuatu pemberian semasa hidup bapaknya, demikian banyaknya sehingga
boleh dianggap ia telah mendapatkan bagian penuh dari harta peninggalan
bapaknya, maka anak ini tidak lagi berhak atas harta yang lain yang
dibagi-bagi setelah bapaknya meninggal dunia. Akan tetapi, setelah melihat
banyaknya harta peninggalan, ternyata yang telah diterima anak tersebut masih
belum cukup, maka ia akan mendapat tambahan pada saat harta peninggalan
bapaknya dibagi-bagi, sehingga bagiannya sama dengan saudara-saudaranya yang
lain.
2. Hubungan
Hibah dan Wasiat
Hibah dan wasiat
adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan
peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat dari
perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri. Meskipun tampaknya sepele tetapi
apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk
menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal
khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan
manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya (Al-Baqarah ayat 177
dan ayat 182). Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi
Hukum Islam kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam
kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru
kemudian wasiat. Ketentuan hibah disebutkan surat Al-Baqoroh ayat 177 dan surat
Al-Maidah ayat 2. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang
baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain
tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Faktor yang paling dalam disyariatkan
hibah dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan dan ketulusan dari
penghibah yang berwasiat. Kalapun akan di bedakannya hanya waktu
pelaknasaannya, yaitu hibah dilaksanakan semasa penghibah masih hidup, sedang
wasiat dilaksanakan setelah pewasiat wafat. Dikatakan hibah dan wasiat pada
asanya adalah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala
dari Allah SWT karena arti harfiah dari 2 (dua) kata ini mendekati arti yang
sama. Wasiat artinya menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan menyambung,
memerintah, mewajibkan. Sedangkan hibah diartikan pemberian tanpa syarat tanpa
mengharapkan pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu oleh mazhab Maliki hibah
sama dengan hadiah, hibah menurut mazhab Syafi’i adalah pemberian untuk
menghormati atau memuliakan seseorang tanpa bermaksud mengharapkan pahala dari
Allah SWT. Menurut mazhab Syafi’i hibah mengandung dua pengertian, yaitu
pengertian umum dan khusus, pengertian umum mencakup hadiah dan sedekah dan
pengertian khusus yang disebut hibah apabila pemberian tersebut tidak bermaksud
menghormati atau memuliakan dan mengharapkan ridho Allah SWT. Jika pemberian (hadiah)
tersebut bermaksud menghormati atau memuliakan yang diberi disebut hadiah, jika
pemberian mengharapkan ridho Allah SWT atau menolong untuk menutupi
kesusahannya disebut sedekah. Hibah dan wasiat dilihat dari Hikmatu Al-Tasyri
(Filsafat Hukum Islam) adalah untuk memenuhi hasrat berbuat bagi umat islam
yang beriman kepada Allah SWT (Al-Baqoroh ayat 177). Hibah dan wasiat adalah
hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena
hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan menjamin bagi setiap
muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab). Walaupun
hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau
wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun
diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir
tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan
perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti
pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara
kewarisan. Hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik,
maka tidak diperlukan akta sebagai alat bukti atau nilai objek hibah dan wasiat
tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan
hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun
terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama.
Hibah dan wasiat yang diatur dalam KHI dimuat
dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214). Ketentuan
wasiat yang diatur didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat,
jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat.
Sedangkan ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal.
Meskipun ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene
merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena jarang
terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka dengan
sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang ditentukan
dalam KHI.
3. Hubungan
wasiat dan waris
Dalam Al-Quran, ALLAH berfirman:
4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy
“(pembagian itu) ialah sesudah
diselesaikan wasiat oleh simati dan sesudah di bayarkan utangnya ”(Surah An-Nisa': 11)
Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan
tentang segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal pembagian harta
warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil -
adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka
bagi keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak
sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan
harta warisan. Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail,
rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling
bertikai dan bermusuhan yang terpenting pembagian harta warisan setelah di
tunaikan dulu wasiat/hutang si mayat apabila ia berwasiat/berhutang piutang.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Hibah adalah
pemberian (sumbangan) dari orang yang mampu melakukannya pada masa hidupnya
untuk orang lain berupa harta yang diketahui (jelas). Makna wasiat (وَصِيَّةٌ) menurut istilah syar’i ialah,
pemberian kepemilikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia
berhak memilikinya ketika si pemberi meninggal dunia. Definisi waris menurut
istilah syariat ialah, seluruh harta seseorang yang ditinggalkannya disebabkan
dia meninggal dunia.
2.
Hubungan
antara hibah dengan waris menurut KHI dan KUH Perdata adalah terjadi karena
adanya transformasi hukum adat kedalam hukum Islam (pasal 211) KHI. Hibah dari
orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Dalam KUH
Perdata hubungan antara hibah dan waris telah ada sejak dibuatnya KUH
Perdata dan KHI itu sendiri. Hal itu
demi kepentingan semua masyarakat Indonesia.
3.
Hubungan
antara hibah dengan wasiat, hibah disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 177
dan Al-Maidah ayat 2. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang
baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain
tanpa mengharap pahala dari Allah SWT. Faktor yang paling penting dalam
disyariatkanya hibah dan wasiat ini adalah faktor kemanusiaan, keikhlasan, dan
ketulusan dari penghibah yang berwasiat. Kalaupun akan dibedakanya hanya waktu
pelaksanaanya, hibah diksanakan semasa penghibah masih hidup, sedangkan wasiat
dilaksanakan setelah pewasiat wafat. Dikatakan hibah dan wasiat pada asasnya
adalah pemberian seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari
Allah SWT karena arti harfiah dari dua
kata ini mendekati arti yang sama.
4.
Hubungan
wasiat dengan waris ialah waris bisa ditunaikan apabila wasiat si mayit telah
ditunaikan sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 11.
B. Saran
Dari apa yang telah di sajikan di atas, penulis
berharap mudah-mudahan makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya,
sebagai bahan acuan dan bisa menjadi bekal kita ketika nantinya terj un ke
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arief Budiman, Abu Abdillah, http//sekilas-hibah-wasiat-dan-warisan.html. Diunduh pada 08 mei 2013 pukul 20.12 wib.
Kharis Ahmadi, Andika, http//filosofi-hukum-islam-tentang-waris.html.
Diunduh pada 08 mei 2013 pukul 20.15 wib.
Zain
An-Najah, Ahmad, http//Beda Harta Hibah,
Wasiat dan Warisan _ wiemasen.com.htm. Diunduh pada 08 mei 2013 pukul 20.20
wib.
Rahadian,
Arif, http//bphtb-waris-dan-hibah-wasiat.html.
Diunduh pada 08 mei 2013 pukul 20.30 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar