BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagian
fuqoha’ dalam mengemukakan hakekat perkawinan hanya menonjolkan aspek lahiriyah
yang bersifat normatif. Seolah-olah akibat sahnya sebuah perkawinan hanya
sebatas timbulnya kebolehan terhadap sesuatu yang sebelumnya sangat dilarang,
yakni berhubungan badan antara laki-laki dengan perempuan.
Dengan demikian yang menjadi inti
pokok pernikahan itu adalah akad (pernikahan) yaitu serah terima antara orang
tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai laki-laki.
Perkawinan
umat Islam di Indonesia juga mengacu pada pedoman hukum Islam. Dengan perkataan
lain hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan hukum Islam
sebagaimana pemahaman kalangan fuqoha’. Perkawinan juga bertujuan untuk
memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta membangun masa depan
individu keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, jika telah
ada kesepakatan antara orang pemuda dengan seorang pemudi untuk melaksanakan
akad nikah pada hakekatnya kedua belah pihak telah sepakat untuk merintis jalan
menuju kebahagiaan lahir batin melalui pembinaan yang ditetapkan agama.
Barangkali,
faktor-faktor yang ditetapkan terakhir inilah yang lebih mendekati tujuan
hakekat dari perkawinan yang diatur oleh Islam. Oleh sebab itu, sah tidaknya
perkawinan menurut Islam adalah tergantung pada akadnya. Karena sedemikian rupa
pentingnya akad dalam perkawinan itu maka berdasarkan dalil-dalil yang
ditemukan, para fuqoha’ telah berijtihad menetapkan syarat-syarat dan rukun
untuk sahnya sesuatu akad nikah.
Sebagaimana
hasil ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai permasalahan baru dalam soal
perkawinan yaitu tentang sahnya akad nikah yang ijab qabulnya dilaksanakan
melalui telepon?.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan pada
bagian sebelumnya, penulis mengajukan beberapa masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
hukum pernikahan via telepon ?
1. Pengertian
pernikahan via telepon
Pernikahan via telepon dalam
konteks bahasa yaitu, pernikahan yang akad nikahnya dilakukan melalui jalan
telekomunikasi lewat suara atau yang disebut sebagai via televon. Secara
istilah umumnya bahwa pernikahan via telepon merupakan
pernikahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang memungkinkan
untuk melaksanakan pernikahan, dan yang berada dalam keadaan jarak jauh, dimana
sebagian dari syarat dan rukun dalam pernikahan yang tidak bias dilaksanakan
sesuai hukum yang ada. Dan sehingga mengharuskan untuk terjadinya proses
pernikahan atau poses ijab qobul dengan melalui jalan telekmunikasi suara.
2. Pandangan
ulama’ tentang hukum pernikahan via telepon
Peristiwa nikah tersebut
mengundang reaksi yang cukup luas dari masyarakat, terutama dari kalangan ulama
dan cendekiawan muslim. Kebanyakan mereka menganggap tidak sah nikah lewat
telepon itu, Dan ada pula yang membolehkannya.
Satria Effendi M. Zein sebagai
salah satu pakar yang membidangi masalah hukum keluarga Islam di Indonesia ini
dalam bukunya “Analisis Yurisprudensi Mengenai Masalah Keluarga Islam
Kontemporer Indonesia”memberikan analisis yurisprudensi yang cukup mendalam
mengenai perkawinan melalui media telepon sebagaimana dikukuhkan Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989. Dalam pendapatnya, Satria
Effendi M. Zein menyatakan bahwa ada dua macam putusan yang dapat dipilih oleh
majelis hakim mengenai masalah ini, yaitu membolehkan sesuai dengan
kecenderungan Madzhab Hanafi ataupun melarang sesuai dengan kecenderungan
Madzhab Syafi'i. Di sini Satria Effendi M. Zein menyerahkan putusan yang
diambil sesuai dengan dasar yang dipakai majelis hakim, dan memberikan
penekanan bahwa keduanya boleh dipakai selama belum ada undang-undang yang
secara jelas mengatur mengenai hal ini.[1]
a. Ulama’
yang tidak membolehkan pernikahan via telepon
Urusan perkawinan di Indonesia
dipayungi oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 serta diatur
ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam. Saripati aturan-aturan Islam mengenai
perkawinan, perceraian, perwakafan dan pewarisan ini bersumber dari
literatur-literatur fikih Islam klasik dari berbagai madzhab yang dirangkum dan
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Kedua dasar hukum mengenai
perkawinan dan urusan keluarga tersebut diharapkan dapat menjadi pijakan hukum
bagi rakyat Indonesia yang akan melaksanakan perkawinan.[2] Namun
dalam praktek pelaksanaan perkawinan yang berlaku di masyarakat, ada hal-hal
baru yang muncul yang bersifat ijtihad, dikarenakan tidak ada
aturan yang tertuang secara khusus untuk mengatur hal-hal tersebut. Seperti
pernikahan dengan jalan melalui via telpon atau sejenisnya. Padahal praktek
akad nikah jarak jauh (via telepon) dengan menggunakan media teknologi ini
belum pernah sekalipun dijumpai pada jaman sebelumnya. Bahkan praktek akad
nikah pada jaman Nabi dan para Salafus shalih hanya
mensyariatkan diperbolehkannya metode tawkil, yakni pengganti
pelaku akad apabila pihak pelaku akad (baik wali maupun mempelai pria)
berhalangan untuk melakukannya, dan tetap dilaksanakan dengan sepengetahuan
saksi maupun kedua belah pihak yang ada.[3]
Diantara Ulama’ yang tidak
membolehkan, yaitu Munawir Syadzali, M.A Mentri Agama RI, K.H. Hasan
Basri, ketua umum MUI pusat, dan prof. dr. Hasbullah Bakri, S.H. jadi, mereka
dapat membenarkan tindakan kepala KUA tersebut yang tidak mau mencatat nikahnya
dan tidak memberikan surat nikahnya. Dan inti alasan mereka ialah bahwa nikah
itu termasuk ibadah, mengandung nilai sacral, dan nikah lewat telepon itu bisa
menimbulkan confused (keraguan) dalam hal ini terpenuhi tidaknya rukun-rukun
nikah dan syarat-syarat secara sempurna menurut hukum Islam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa
status nikah lewat telepon itu syubhat, artinya belum safe, sehingga perlu
tajdid nikah (nikah ulang) sebelum dua manusia yang berlainan jenis kelaminnya itu
melakukan hubungan seksual sebagai suami istri yang sah. Adapula ulama yang
berpendapat, bahwa nikah lewat telepon tidak diperbolehkan, kecuali dalam
keadaan darurat. Tetapi kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim menganggap
nikah lewat telepon itu tidak sah secara mutlak.
Proses pernikahan dalam Islam
mempunyai aturan- aturan yang ketat. Sebuah akad pernikahan yang sah harus
terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Rukunnya adalah ijab dan qabul, sedang
syaratnya adalah ijin dari wali perempuan dan kehadiran dua orang saksi. Ini
semuanya harus dilakukan dengan jelas dan transparan, sehingga tidak ada unsur
penipuan dan pengelabuhan. Oleh karena itu calon suami atau wakilnya harus
hadir di tempat, begitu juga wali perempuan atau wakilnya harus hadir di tempat,
dan kedua saksipun harus hadir di tempat untuk menyaksikan akad pernikahan.[4]
Ketika seseorang menikah lewat
telpon, maka banyak hal yang tidak bisa terpenuhi dalam akad nikah lewat telpon
tadi, diantaranya : tidak adanya dua saksi, tidak adanya wali perempuan, dan
tidak ketemunya calon penganten ataupun wakilnya. Ini yang menyebabkan akad
pernikahan tersebut menjadi tidak sah. Seandainya dia menghadirkan dua saksi
dan wali perempuan dalam akad ini, tetap saja akad pernikahan tidak sah, Karena
kedua saksi tersebut tidak menyaksikan apa-apa kecuali orang yang sedang
menelfon, begitu juga wali perempuan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Suara yang ada ditelfon itu belum tentu suara calon suami atau istri.
Ringkasnya bahwa akad pernikahan melalui telpon berpotensi untuk salah, atau
rentan terjadinya penipuan dan manipulasi.
Maka dari itu disarankan siapa
saja yang ingin menikah jarak jauh, untuk mewakilkan kepada orang yang
dipercaya. Seandainya dia sebagai perempuan yang bekerja di luar negri, maka
cukup walinya sebagai wakil darinya untuk menikahkan dengan lelaki yang
diinginkannya, dan harus ada dua saksi yang hadir. Bagi seorang laki-laki yang
ingin menikah dengan perempuan jarak jauh, maka hendaknya dia mewakilkan
dirinya kepada orang yang dipercaya, seperti adik, kakak, atau saudaranya
dengan dihadiri wali perempuan dan kedua saksi. Seandainya ada laki-laki dan
perempuan yang ingin menikah di luar negeri dan jauh dari wali perempuan, maka
wali tersebut bisa mewakilkan kepada orang yang dipercayai. Wakil dari wali
tersebut beserta kedua saksi harus hadir di dalam akad pernikahan. Semua proses
pemberian kuasa untuk mewakili hendaknya disertai dengan bukti-bukti dari
instasi resmi terkait, supaya tidak disalah gunakan.[5]
Ijab qabul dalam akad nikah
melalui telepon hukumnya tidak sah, sebab tidak ada pertemuan langsung antara
orang yang melaksanakan akad nikah.[6]
Menurut jumhur ulama’, perkawinan
yang tidak di hadiri saksi-saksi, maka tidak sah. Jika ketika ijab qobul tanpa ada
saksi yang menyaksikan, sekalipun itu di umumkan kepada orang ramai dengan cara
lain, menjadikan perkawinan tersebut tetap tidak sah. Dengan kata lain. Apalagi
akad itu di lakukan melalui telefon, yang belum menjadikan suatu itu
benar-benar terjadi secara mutlak.
Dasar hukum dari larangan
pnikahan dengan via telepon yang bersumber dari:
a) Dari
Aisyah, Rosulallah bersabda:
لا
نكا ح ا لا بو لى و شا هد ى عد ل
Artinya: Tidak sah
perkawinan keculi dengan wali dan dua saksi yang adil.(H.R. Daruquthni).[7]
b) Kifayatul
Akhyar II/5
(فرع)
يُشْتَرَطُ فِى صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَاحِ حُضُورُ أَرْبَعَةٍ: وَلِىٍّ وَزَوْجٍ
وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ.
Artinya: (Cabang) dan disyaratkan
dalam keabsahan akad nikah hadirnya empat orang ; wali,calon pengantin dan dua
orang saksi yang adil.
c) Tuhfatul
Habib ala Syarhil Khatib III/335
وَمِمَّاتَرَكَهُ
مِنْ شُرُوطِ الشَّاهِدَيْنِ السَّمْعُ وَالبَصَرُ وَالضَبْطُ. (قوله والضبط) أَيْ
لألْفَاظِ وَلِىِّ الزَّوْجَةِ وَالزَّوْجِ فَلاَ يَكْفِي سِمَاعُ أَلْفَاظِهِمَا
فِي ظُلْمَةٍ لأَنَّ الأصْوَاتِ تَشْبِيْهٌ.
Maksud
dari hadits tersebut yakni, mendengar, melihat dan (dlobith) membenarkan adalah
bagian dari syarat diperkenankannya dua orang saksi. (pernyataan penyusun ‘wa
al dlobthu) maksudnya lafadz (pengucapan) dari wali pengantin putri dan
pengantin pria, maka tidaklah cukup mendengar lafadz (perkataan) mereka berdua
dikegelapan, karena suara itu (mengandung) keserupaan).[8]
Jadi
bisa di simpulkan, bahwa suatu pernikahan yang tidak di dasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang telah di syariatkan oleh agama, yakni harus memenuhi
syarat-syarat perkawinan yang merupakan dasar bagi sahnya suatu perkawinan.
Maka tidak sah, dan jika syarat sahnya terpenuhi, maka menjadikan perkawinan
itu sah dan perkawinan itu dapat di katakana berlaku sesuai dengan aturan yang
ada.
b. Pendapat
yang membolehkan pernikahan via telepon
Menurut ulama’ Hanafiyah bahwa
akad nikah via telepon dan internet itu sah dilakukan karena mereka menyamakan
dengan akad nikah yang dilakukan dengan surat karena surat di pandang sebagai
khitab ( al – khitab min al – ghaib bi manzilah al – khitab min al – hadhir )
dengan syrat dihadiri oleh dua saksi.
Hanafiyyah
memperbolehkan akad nikah melalui surat, asalkan surat tersebut dibacakan
didepan saksi dan pernyataan dalam surat segera dijawab oleh pihak-pihak.
Menurut Hanafi, surat yang dibacakan di depan saksi dapat dikatakan sebagai
ijab dan atau qabul dan harus segera dijawab. Dari pendapat Hanafiyyah
tersebut, menurut KH. Sahal Mahfudz dapat dianalogkan bahwa pernikahan dianggap
sah hukumnya dilakukan lewat media komunikasi seperti internet, teleconference
dan faximile.
3. Hikmah
dengan adanya hukum pernikahan via telefon
Dilihat
pada kebanyakan apa yang terjadi pada masa sekarang, yang berupa usaha
penipuan, pemalsuan, dan jeleknya perangai pada perbuatan sebagian orang dengan
meniru sebagian yang lain dalam pembicaraan dan menekuni penyamaam suara-suara
orang lain, sampai-sampai di antara mereka mampu meniru banyak orang dari gaya
laki-laki atau perempuan, tua atau muda, atau meniru suara-suara mereka, bahasa
mereka yang berbeda-beda dalam satu tiruan, yang sampai pada telinga pendengar
seakan-akan orang yang berbicara terdiri dari beberapa orang, padahal itu hanya
satu orang saja.
Juga
melihat betapa syariat Islam sangat perhatian dalam menjaga kehormatan dan jiwa
serta kehati-hatian dalam masalah ini lebih besar dibanding kehati-hatian dalam
masalah lain dari sekian jenis ikatan (perjanjian) dalam muamalah. Maka dari
itu semestinya tidak perlu menyandarkan akad-akad nikah tersebut
dalam ijab qabul-nya dan pelimpahan perwalian kepada bentuk komunikasi melalui
telepon, dalam usaha untuk merealisir tujuan (maksud) dari syariat, hal ini
juga di prioritaskan terhadap upaya menjaga kehormatan dan jiwa sehingga tidak
mudah dipermainkan oleh orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu dan
orang-orang yang berbicara penuh dengan dusta dan penipuan.[9]
[1] http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-
[2] Ahmad Rofiq, Hukum
Islam di Indonesia, ( Yogyakarta: Gema Media, 2001), h.
102.
[3] bin/content.cgi/masail/aula/tahun_2004/nikah-01.single?seemore=y
[4] Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah jilid 6, ( Bandung: PT. Alma’arif, 1990), h. 48..
[6] Ibid, fiqih Sunnah
jilid 6, h. 55.
[7] Ibid, Fiqih Sunnah
jilid 6, h. 79.
[8] bin/content.cgi/masail/aula/tahun_2004/nikah-01.single?seemore=y
[9] Ibid, Hukum
Islam Di Indonesia, h. 105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar