Kotak Saran

tombol masukan dan saran

Rabu, 18 Februari 2015

Hukum Acara Perdata



BAB VI
PUTUSAN HAKIM
A.      Arti Putusan Hakim atau Putusan Pengadilan
Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan penggugat, jawaban terguigat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang  ingin dikemukakan, maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut.
Arti putusan hakim adalah : suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melaibkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. (Sudikno Mertokusumo, 1981 : 167).
Bentuk penyelesain perkara di pengadilan dibedakan atas dua yakni : putusan atau vonis, dan penetapan atau Beschikking. Suatu (perkara), sedangkan suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan, yaitu dalam rangka yang dinamakan yurisdiksi voluntair (misalnya pengangkatan wali).
B.       Susunan dan Isi Putusan
Dalam wujud atau bentuknya suatu putusan hakim terdiri dari “kepala” (judul), pertimbangan-pertimbangan dan “amar” atau “diktum”. (R. Subekti, 1982: 168). Suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian yaitu: 1) kepala putusan; 2) identitas para pihak; 3) pertimbangan dan 4) amar. (Sudikno Mertokusumo, 1981 : 177).
C.      Macam-Macam Putusan Hakim
 Pasal 185 HIR/196 HRG menentukan, putusan yang bukan merupakan putusan akhir walaupun harus diucapkan dalam persidangan juga, tidak dibuat secara terpisah, melainkan hanya ditulis dalam berita acara peresidangan saja. Kedua belah pihak bisa meminta supaya kepada mereka diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan ongkos sendiri. Selanjutnya pasal 190 (1) HIR/201 (1) RBG menentukan, bahwa putusan sela hanya dapat dimintakan banding bersama-sama permintaan banding terhadap putusan akhir. Dari ketentuan tersebut, maka dapat dibedakan putusan pengadilan atas dua (2) macam yaitu; putusan sela (tussen vonnis) dan putusan akhir (eind vonnis). Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
D.      Kekuatan Putusan Hakim
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang, tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. Jadi keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan hakim yang menurut ketentuan perundang-undangan masih terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya hukum untuk melawan putusan itu misalnya perlawanan (verzet), banding dan kasasi.
E.       Putusan Hakim yang dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu
Pasal 180 (1) HIR/191 (1) RBG menentukan, pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya putusan dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan, atau banding, jika;
1.    Ada surat yang sah (akta otentik) atau tulisan di bawah tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti;
2.    Ada putusan pengadilan sebelumnya yang sah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
3.    Dikabulkanya gugatan yang didahulukan (gugatan provisional); dalam hal sengketa dalam hal sengketa tentang hak milik.
BAB VII
UPAYA HUKUM
A.      Upaya Hukum Biasa
1.    Perlawanan (verzet)
Perlawanan adalah upaya hukum yang dijatuhkan pengadilan karena tergugat tidak hadir pada persidangan pertama (putusan verstek). Kepada pihak yang dikalahkan serta diterangkan kepadanya bahwa ia berhalk mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan tak hadir itu kepada pengadilan itu. (Pasal 125(3) HIR/149(3) RBG dan Pasal 153(1) HIR/129(1) RBG).
a)    Perlawanan terhadap putusan verstek dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan diterima tergugat secara pribadi.
b)   Jika putusan verstek itu tidak diberitahukan kepada tergugat pribadi, maka perlawanan masih dapat diajukan sampai hari ke-8 (delapan) setelah tegoran untuk melaksanakan putusan verstek itu.
c)    Apabila tergugat tidang datang menghadap ketika ditegur, perlawanan tergugat dapat diajukan sampai hari ke-8 (delapan) (Pasal 129(2) HIR, sampai hari ke-14 (empat belas) (Pasal 153(2) RBG sesudah putusan verstek dijalankan.
Perlawanan terhadap putusan verstek diajukan seperti mengajukan surat gugatan biasa (Pasal 129 (3) HIR/153(3) RBG).
2.    Banding
Upaya hukum banding diajukan apabila pihak-pihak yang berperkara tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama.
a)    Untuk pemeriksaan ulangan atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi di Jawa dan Madura adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 1947.
b)   Untuk pemeriksaan ulangan atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi di luar Jawa dan Madura adalah Rechstsleglement voor de buitengewesten (RBG).
3.    Kasasi
Lembaga kasasi itu berasal dari Perancis. Perkataan “kasasi” (dalam bahasa Perancis cassation) berasal dari perkataan Perancis casser yang berati “memecahkan” atau “membatalkan”. Tugas pengadilan kasasi adalah menguji (meneliti) putusan pengadilan-pengadilan bawahan tentang sudah tepat atau tidaknya penerapan hukum yang dilakukan terhadap kasus yang bersangkutan yang duduk perkaranya telah ditetapkan oleh pengadilan-pengadilan bawahan tersebut. (R. Subekti, 1982: 160).
Menurut Pasal 16 UU No. 1/1950 dan Pasal 51 UU No. 13/1965 kasasi adalah pembatalan atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain dalam tingkat peradilan yang terakhir dan penetapan dan perbuatan pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum kecuali putusan pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan. (Sudikno Mertokusumo, 1981 : 193).
Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili;
a)    Antara pengadilan di lingkungan peradil an yang satu dengan pengadilan yang lain;
b)   Antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama;
c)    Antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan.
Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis atau lisan melalui panitera pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada pemohon.
Setelah menerima memori kasasi dan jawabannya terhadap memori kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 47, panitera pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama, mengirimkan permohonan kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas 30 hari. Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada Mahkamah Agung. (Pasal 48 (1 dan 2) UU No. 14/85).
Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah Agung, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon, dan apabila telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meskipun tenggang waktu kasasi belum lampau.
Pemeriksaan dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung mendnegar sendiri para pihak atau para saksi, atau memrintahkan pengadilan tingkat pertama atau pengadilan tingkat banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi. Dalam mengambil putusan Mahkamah Agung tidak terikat pada alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum lain. (Pasal 52 UU No. 14/85).
B.  Upaya Hukum Luar Biasa
1.    Pembagian Kembali (Request Civil)
Menurut Sudikno Mertokusumo, request civil yang diatur dalam pasal 385 sampai dengan 401 RV, tidak lain adalah peninjauan kembali suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Istilah peninjauan kembali kita jumpai dalam UU No. 14/1964 (Pasal 21), UU No. 13/1963 (Pasal 52) dan UU No. 19/1964 (Pasal 15).
Uraian berikut ini mengacu pada UU No. 14/1985. Ketentuan yang mengatur tentang peninjauan kembali dalam UU tersebut di atas adalah bagian keempat, Pasal 66 samp[ai dengan Pasal 77.
Menurut Pasal 66 : (1) permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. (2) permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. (3) permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum putus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Alasan-alasan  peninjauan kembali :
a)      Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyataklan palsu;
b)      Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c)      Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut.
d)     Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belu diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e)      Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
f)       Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Sebuah contoh tentang penerimaan gugatan request civil adalah putusan Landraad Purworejo tanggal 4 November 1937, yang memuat dimuat dalam Indisch Tidjscrift van het Recht No. 148, hlm. 416, dimana Landraad menerima gugatan tersebut atas dasar dilihatnya suatu kekeliruan yang mencolok. Dikatakan oleh Landraad Purworejo itu bahwa putusan halkim yang dahulu adalah keliru, karena di dalam pertimbangan-pertimbangan hakim dari putusan itu disebutkan bahwa tergugat tidak melawan, padahal di dalam pertimbangan-pertimbangan tentang duduknya perkara disebutkan bahwa tergugat melawan tuntutan penggugat. (R. Subekti, 1982 : 170; R. Soepomo, 1989 : 97-98).
Tenggang waktu mengajukan peninjauan kembali :
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana di maksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk :
a)      Yang disebutkan pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara;
b)      Yang disebut huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan bahwa sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c)      Yang disebut pada huruf c,d dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
d)     Yang tersebut pada huruf e sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
Kemana peninjauan kembali :
Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan.
Peninjauan kembali dajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan itu dan dimasukan di kepaniteraan pengadilan negeri yang memutus  perkara dalam tingkat pertama. Apabila pemohon tidak bisa menulis, maka ia menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut. (Pasal 71 (1) dan (2) UU No, 14/85).
Setelah pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama menerima permohonan peninjauan kembali, maka panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon, dengan maksud :
a)      Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana di maksud pasal 67 huruf b agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawabannya;
b)      Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas salah satu alasan yang tersebut Pasal 67 huruf c sampai dengan huruf f agar dapat diketahui.
Pemeriksaan permohonan peninjauan kembali :
Mahkamah Agung berwenang Memerintahkan pengadilan negeri yang memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau pengadilan tingkat banding mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta segala keterangan serta pertimbangan dari pengadilan yang dimaksud.
Pengadilan yang dimaksudkan Ayat (1), setelah melaksanakan perintah Mahkamah Agung tersebut segera mengirimkan berita acara pemeriksaan tambahan serta pertimbangan sebagaimana dimaksudkan Ayat (1), kepada Mahkamah Agung. Pasal (71 (1,2,3) UU No. 14/85).
Putusan Mahkamah Agung dan peninjauan kembali :
Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohopnan peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri perkaranya.
Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu tidak beralasan.
Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat (1) dan Ayat (2) disertai pertimbangan-pertimbangan. (Pasal 74 (1,2,3) UU No. 14/85.
Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan atas permohonan peninjauan kembali kepada pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dan selanjutnya panitera pengadilan negeri yang bersangkutan menyampaikan salinan putusan itu kepada pihak lawan dengan memberikan salinannya, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. (Pasal 75 UU No. 14/85).
2.    Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet)
Bantahan atau perlawanan pihak ketiga yaitu upaya hukum yang dilakukan orang yang semula bukan pihak dalam suatu perkara, tetapi oleh karena ia merasa berkepentingan atas barang atau benda yang dipersengketakan dimana barang atau benda tersebut akan/sedang dijual lelang, maka ia berusaha untuk mempertahankan benda atau barang tersebut adalah miliknya bukan ilik tergugat. Dasar hukum  yang mengatur tentang bantahan atau perlawanan pihak ketiga adalah Pasal 228 RBG/208 HIR.
Dalam praktek terdapat 2 (dua) macam perlawanan pihak ketiga yaitu :
a)      Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi.
b)      Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan.
 Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi adalah perlawanan pihak ketiga terhadap suatu benda atau barang karena putusan sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan perlawanan pihak ketiga atas jaminan adalah perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam hukum acara dikenal dua macam sita jaminan yaitu sita yang dilakukan terhadap barang-barang tergugat (conservatoir beslag) dan revindicatoir beslag yaitu sita yang dilakukan terhadap barang-barang milik Penggugat.
Contoh perlawanan pihak ketiga yang diajukan oleh istri tergugat semula atas dasar bahwa barang yang disita untuk pembayaran utang suaminya, adalah barang gono-gini antara pelawan dan terlawan tersita tidak dapat dibenarkan dan akan ditolak, oleh karena harta gono-gini dapat dipertanggungjawabkan untuk hutang keluarga (suami atau istri). Apabila istri atas dasar bahwa barang tersebut adalah harta asalya, maka atas dasar dalil tersebut apabila ia dapat membuktikan bahwa barang tersebut adalah benar barang asalnya, maka perlawanan yang diajukan olehnya akan berhasil. Dalam hubungan ini dikemukakan, bahwa semua barang yang diperoleh dalam perkawinan, siapapun yang membelinya adalah harta gono-gini, juga misalnya apabuila sang suami hanyalah pandai main judi saja, dan sang istri selalu mencari dengan jerih payah, harta tersebut merupakan harta gono-gini keluarga. (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989 : 137.
BAB VIII
EKSEKUSI (PELAKSANAAN PUTUSAN) PENGADILAN
A.  Asas-Asas Eksekusi (Pelaksanaan Putusan)
1.    Eksekusi (Pelaksanaan putusan) Dijalankam Terhadap Putusan yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dikatakan, hanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang dapat dilaksanakan. (Pasal 115 UU No. 5/86). Akan tetapi terhadap asas tersebut ada pengecualian. Dalam kasus-kasus tertentu, undang-undang memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Atau pelaksanaan putusan dapat dijalankan pengadilan terhadap bentuk hukum tertentu di luar putusan, sehingga adakalnya eksekusi bukan merupakan tidakan menjalankan putusan pengadilan, tapi menjalankan pelaksanaan (eksekusi) terhadap bentuk-bentuk hukum yang dipersamakan undang-undang sebagai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Terhadap pengecualian dimaksud, eksekusi dapat dijalankan sesuai dengan aturan tata cara eksekusi terhadap putusan yang tel;ah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2.    Eksekusi Dijalankan Terhadap Putusan yang tidak Dijalankan Secara Sukarela
Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Jika pihak yang kalah bersedia menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan.
3.    Putusan yang Dapat Dieksekusi Adalah Putusan yang Bersifat Condemnatoir
Artinya mengandung suatu penghukuman. Putusan-putusan yang amar atau diktumnya adalah declaratoir atau konstitutif tidak perlu dieksekusi atau dilaksanakan, karena begitu putusan-putusan yang demikian itu diucapkan, maka keadaan yang dinyatakan sah oleh putusan declaratoir mulai berlaku pada saat itu juga, atau dalam halnya putusan konstitutif, keadaan baru sudah tercipta pada detik itu pula.
B.  Tata Cara Eksekusi (Pelaksanaan Putusan)
1.    Pelaksanaan Putusan Atas Perintah dan atau Dipimpin Ketua Pengadilan Negeri
Pengadilan putusan dalam perkara pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri adalah atas perintah dan atau dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut yang diatur dalam Pasal-Pasal berikut ini. (Pasal 195(1) HIR/206(1) RBG).
2.    Sebelum Dilaksanakan Eksekusi, Diberikan Peringatan (Aanmaning)
Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau mulai memenuhi isi keputusan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka pihak yang dimenangkan dapat memasukan permintaan, baik secara lisan maupun tertulis, kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana disebutkan pada ayat pertama Pasal 195 HIR untuk menjalankan putusan tersebut. Ketua kemudian memanggil pihak yang dikalahkan tersebut serta memperingatkan supaya ia memenuhi putusan tersebut di dalam jangka waktu yang ditentukan oleh ketua selama-lamanya 8 (delapan) hari. (Pasal 196 HIR).
3.    Jika tidak Mengindahkan Peringatan Dilakukan Sita Eksekusi
Jika sudah lewat waktu yang telah ditentukan belum juga dipenuhi putusan tersebut, atau jika pihak yang dikalahkan tersebut, setelah dipanggil dengan patut tidak juga menghadap, maka ketua karena jabatannya memberikan perintah tertulis supaya disita sejumlah barang tidak tetap (Barang bergerak) dan jika tidak ada barang seperti itu, atau ternyata tidak cukup, maka barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan tersebut, sehingga dirasa cukup sebagai pengganti jumlah uang yang tersebut dalam putusan dan seluruh biaya pelaksaan putusan tersebut. (Pasal 197(1) HIR.

4.    Penyitaan Dilakukan Oleh Panitera atau Orang Lain yang Ditunjuk Ketua Pengadilan
 Penyitaan tersebut dilakukan oleh panitera pengadilan negeri. (Pasal 197 (2) HIR). Apabila panitera tersebut berhalangan karena pekerjaan jabatannya atau oleh sebab yang lain, maka ia digantikan oleh orang yang cakap atau yang dapat dipercaya yang dapat ditunjuk untuk itu oleh ketua atau atas permintaan ketua penunjukan dilakukan oleh pemerintah setempat, dengan pertimbangan untuk menghemat biaya berhubung dengan jauhnya tempat penyitaan itu harus dilakukan. (Pasal 197(3) HIR).
Cara penunjukan orang tersebut dilakukan dengan menyebutkan atau dengan memberi catatan di atas surat perintah yang tersebut pada ayat pertama pasal ini. Paniteta atau orang yang ditujuk sebagai pengganti, memberi berita acara tentang pelaksanaan putusan, dan kepada orang disita barangnya diberitahukan maksud penyitaan tersebut, jika ia hadir.
5.    Sita Eksekusi Dilakukan dengan Dua Orang Saksi
Pelaksaan putusan (eksekusi) tersebut dilakukan dengan dihadiri dua orang saksi yang nama, pekerjaan, dan tempat tinggalnya disebutkan dalam berita acara tersebut, serta menandatangani berita acara tersebut dan slinannya. Saksi tersebut harus penduduk Indonesia, dan berumur 21 tahun dan dikenal oleh pejabat yang melakukan penitaan sebagai orang yang dipercaya, atau diterangkan demikian oleh seorang pegawai pramongpraja. (Pasal 197 (6 dan 7) HIR).
6.    Penyitaan Terhadap Benda Bergerak tidak Boleh Atas Hewan dan Perkakas untuk Pencaharian
Penyitaan terhadap barang tidak tetap (barang bergerak) kepunyaan orang yang berhutang, meliputi uang tunai, dan surat-surat berharga, juga dilakukan atas  barang tidak tetap yang berwujud lainnya, yang ada ditangan orang lain, akan tetapi tidak boleh dijalankan atas hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh berguna bagi yang dikalahkan untuk menjalankan pencahariaannya sendiri. (Pasal 197 (8) HIR).
7.    Barang Yang Disita Tetap Berada pada Orang yang disita atau di Tempat Penyimpanana yang Patut
Berdasarkan situasi dan kondisi, panitera atau orang yang ditunjuk sebagai penggantu membiarkan barang tidak tetap tersebut atau sebagiannya tetap berada pada orang yang disita tersebut atau menyuruh membayar barang tersebut atau sebagiannya ke suatu tempat penyimpanan yang patut. Dalam hal yang pertama, maka hal tersebut diberitahukan kepada tugas polisi, dan petugas polisi tersebut harus menjaga, supaya jangan ada barang yang diambil barang orang. (Pasal 197(9) HIR).
8.    Penyitaan Benda tidak Bergerak Dilakukan dengan Mengumumkan Berita Acara Penyitaan Tersebut
Jika penyitaan terhadap benda tidak bergerak, maka berita acara tersebut diumumkan, yaitu jika barang tidak bergerak tersebut sudah didaftarkan berdasarkan ordonansi pendaftaran pemindahan hak milik atas barang tidak bergerak dan pendaftaran hipotik di Indonesia.(Stbl. 1384 No. 27).
9.    Penjualan Barang Sitaan Dilakukan dengan Bantuan Kantor Lelang dengan Nilai Paling Rendah Rp. 300,-
Penjualan barang sitaan dilakukan bantuan kantor lelang, atau menurut pertimbangan ketua, oleh panitera (jurusita) yang melakukan penyitaan tersebut, atau orang yang cakap dan boleh dipercaya yang ditunjuk oleh ketua yang tinggal di tempat penjualan tersebut, maka penyitaan dilakukan atau di dekat tempat tersebut. (Pasal 200(1) HIR).
C.  Tata Cara Penjualan Barang Sitaan
1.    Rencana Penjualan Disampaikan oleh Pejabat yang Ditunjuk kepada Ketua Pengadilan dan Juru Lelang
Pejabat yang diperintahkan menjual tersebut hendaknya menyampaikan rencana secara tertulis kepada ketua serta hasil penjualan tersebut. (Pasal 200 (3) HIR).
2.    Pemohon Lelang Harus Melampirkan Surat-Surat atau Dokumen.
3.    Harga Pembayaran Lelang Dilakukan Secara Tertulis.
4.    Penjualan Barang Bergerak dan Barang Tidak Bergerak Dilakukan Setelah Diumumkan.
5.    Pemenang Lelang Dapat Memohon Eksekusi Riil atas Barang Lelang yang Sedang Ditempati.
6.    Eksekusi  Riil Dilakukan Secara Sendiri-Sendiri Terhadap Beberapa Putusan.
7.    Jika ada Dua atau Lebih Permohonan Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang, Maka Dilakukan Secara Serentak.
D.  Penundaan Eksekusi
1.    Alasan Perdamaian yang Dibuat Para Pihak.
2.    Alasan Perikemanusiaan.
3.    Alasan Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet).
4.    Barang yang Menjadi Obyek Eksekusi Masih dalam Proses Perkara Lain.
5.    Penundaan Eksekusi karena Adanya Peninjauan Kembali.
6.    Penundaan Eksekusi Menghapuskan Uang Paksa.

E.  Eksekusi yang Tidak Dapat Dijalankan (Noneksekutabel)
1.    Karena harta kekayaan tereksekusi tidak ada.
2.    Karena putusan bersifat deklaratoir (pernyataan).
3.    Karena barang yang menjadi obyek eksekusi berada di tangan pihak ketiga.
4.    Eksekusi tidak dapat dijalankan terhadap penyewa.
5.    Karena tanah yang hendak dieksekusi tidak jelas batas-batasnya.
6.    Karena tanah tersebut berubah status menjadi tanah negara.
7.    Karena barang yang menjadi obyek eksekusi berada di luar Negeri.
8.    Karena terdapat dua putusan yang saling bertentangan.
F.   Masalah-Masalah Lain dalam Eksekusi (Pelaksanaan Putusan)
1.    Tereksekusi menolak karena tidak sesuai dengan bunyi putusan.
2.    Pemohon eksekusi menolak karena eksekusi tersebut tidak sesuai dengan bunyi putusan.
3.    Kedua belah pihakmenolak karena eksekusi tersebut tidak sesuai dengan amar putusan.
4.    Jika penjualan harta bersama tidak mendapat persetujuan suami atau istri maka eksekusi tidak dapat dilaksanakan terhadap harta bersama.
5.    Eksekusi dapat dilaksanakan jika banding atau kasasi diajukan terlambat dari tenggang waktu yang ditentukan.
6.    Eksekusi tidak dapat dilaksanakan terhadap tergugat lain yang tidak banding atau kasasi.
7.    Eksekusi dapat diulang apabila terdapat atau dengan alasan kekeliruan.
8.    Barang yang sudah selesai dieksekusi tidak dapat diambil kembali oleh pihak tereksekusi.
9.    Terhadap bunyi putusan yang tidak menentukan jumlah harga yang tegas, maka eksekusi dilakukan dengan berdasar harga pada saat perjanjian.

Tidak ada komentar: