FIQIH
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Bahstul Kutub
Dosen Pengampu: Drs. H. M.
Yamin, Lc, M.Pd.I

Oleh
Mas’ud Suherman
11.41.13251
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PRODI AL-AHWAL AL-SYAKSIYYAH
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena
penyusun telah menyelesaikan makalah mengenai “Fiqih”. Dan tak lupa Shalawat beserta
Salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Junjungan Alam Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarga, Sahabat dan semoga pula sampai kepada kita semua selaku
umat-Nya.
Dalam
makalah ini penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan juga
kesalahan. Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan makalah
ini. Tidak lupa ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
pembimbing mata kuliah “Bahstul Kutub”
yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Sekali
ucapan terima kasih saya sampaikan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita
semua.
Palangkaraya, 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
COVER
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Ruang Lingkup Fiqh....................................................... 3
B. Perbedaan Fiqh Imam Madzhab……………………………………...... 10
BAB III PENUTUP
Keimpulan.................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada zaman
Rasulullah S.A.W., hukum-hukum diambil dari wahyu (al-Quran) dan penjelasan
oleh baginda (as-Sunnah). Segala masalah yang timbul akan dirujuk kepada
Rasulullah S.A.W. dan baginda akan menjawab secara terus berdasarkan ayat
al-Quran yang diturunkan atau penjelasan baginda sendiri. Namun, terdapat
sebagian Sahabat yang tidak dapat merujuk kepada Nabi lantaran berada di tempat
yang jauh daripada baginda, misalnya Muaz bin Jabal yang diutuskan ke Yaman. Baginda
membenarkan Muaz berijtihad dalam perkara yang tidak ditemui ketentuan di dalam
al-Quran dan as-Sunnah.
Setelah
kewafatan Rasulullah S.A.W., sebarang masalah yang timbul dirujuk kepada para
Sahabat. Mereka mampu mengistinbat hukum terus dari al-Quran dan as-Sunnah
kerena:
1. Penguasaan bahasa Arab yang baik;
2. Mempunyai pengetahuan mengenai sabab an-nuzul sesuatu ayat atau
sabab wurud al-hadis;
3. Mereka merupakan para Perawi Hadis.
Hal ini
menjadikan para Sahabat mempunyai kepakaran yang cukup untuk mengistinbatkan
hukum-hukum. Mereka menetapkan hukum dengan merujuk kepada al-Quran dan
as-Sunnah. Sekiranya mereka tidak menemui sebarang ketetapan hukum tentang
sesuatu masalah, mereka akan berijtihad dengan menggunakan kaedah qias. Inilah
cara yang dilakukan oleh para mujtahid dalam kalangan para Sahabat seperti
Saidina Abu Bakar as-Siddiq, Saidina Umar bin al-Khattab, Saidina Uthman bin
Affan dan Saidina Ali bin Abu Talib. Sekiranya mereka mencapai kata sepakat
dalam sesuatu hukum maka berlakulah ijma’.
Pada zaman ini,
cara ulama’ mengambil hukum tidak jauh berbeda dengan zaman Sahabat kerana
jarak masa mereka dengan kewafatan Rasulullah S.A.W. tidak terlalu jauh. Yang
membedakannya ialah sekiranya sesuatu hukum tidak terdapat dalam al-Quran,
as-Sunnah dan al-Ijma’, mereka akan merujuk kepada pandangan para Sahabat
sebeum berijtihad. Oleh sebab itu idea untuk menyusun ilmu Usul al-Fiqh belum
lagi muncul ketika itu. Inilah cara yang digunakan oleh para mujtahid dalam
kalangan tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib, ‘Urwah bin az-Zubair, Al-Qadi
Syarih dan Ibrahim an-Nakha’i.
Pada akhir
Kurun Kedua Hijrah, keadaan umat Islam semakin berubah. Bilangan umat Islam
bertambah ramai sehingga menyebabkan berlakunya percampuran antara orang Arab
dan bukan Arab. Kesannya, penguasaan bahasa Arab dalam kalangan orang-orang
Arab sendiri menjadi lemah. Ketika itu timbul banyak masalah baru yang tiada
ketentuan hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah secara jelas. Hal ini
menyebabkan para ulama’ mulai
menyusun kaedah-kaedah tertentu yang dinamakan ilmu Usul al-Fiqh untuk
dijadikan landasan kepada ijtihad mereka.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian fiqh dan ruang lingkupnya?
2.
Bagaimana
perbedaan imam empat madzhab?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Agar
mahasiswa/i dapat memahami dan menjelaskan pengertian dan ruang lingkup fiqh.
2.
Agar
mahasiswa/i dapat memahami dan menjelaskan perbedaan imam madzhab.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Ruang Lingkup Fiqh
Fiqh artinya faham atau tahu. Menurut istilah
yang digunakan para ahli Fiqh (fuqaha). Fiqh itu ialah ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syari’at Islam yang diambil dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Menurut Hasan Ahmad Al-Khatib: Fiqhul Islami ialah
sekumpulan hukum syara’, yang sudah dibukukan dalam berbagai madzhab, baik dari
madzhab yang empat atau dari madzhab lainnya, dan yang dinukilkan dari
fatwa-fatwa sahabat thabi’in, dari fuqaha yang tujuh di Makkah, di Madinah, di
Syam, di Mesir, di Iraq, di Bashrah dan sebagainya. Fuqaha yang tujuh itu ialah
Sa’id Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman, ’Urwah bin Zubair, Sulaiman Yasar,
Al-Qasim bin Muhammad, Charijah bin Zaid, dan Ubaidillah Abdillah.
Dilihat dari segi ilmu pengetahuan yangg
berkembang dalam kalangan ulama Islam, fiqh itu ialah ilmu pengetahuan yang
membiacarakan/membahas/memuat hukum-hukum Islam yang bersumber bersumber pada
Al-Qur’an, Sunnah dalil-dalil Syar’i yang lain; setelah diformulasikan oleh
para ulama dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Dengan
demikian berarti bahwa fiqh itu merupakan formulasi dari Al-Qur’an dan Sunnah
yang berbentuk hukum amaliyah yang akan diamalkan oleh ummatnya. Hukum itu
berberntuk amaliyah yang akan diamalkan oleh setiap mukallaf (Mukallaf
artinya orang yang sudah dibebani/diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran
syari’at Islam dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sadar, sudah masuk
Islam).[1]
Hukum yang diatur dalam fiqh Islam itu terdiri
dari hukum wajib, sunat, mubah, makruh dan haram;
disamping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal,
benar, salah, berpahala, berdosa dan sebagainya.
Disamping hukum itu ditunjukan pula alat dan
cara (melaksanakan suatu perbuatan dalam dalam menempuh garis lintas hidup yang
tak dapat dipastikan oleh manusia liku dan panjangnya. Sebagai mahluk sosial
dan budaya manusia hidup memerlukan hubungan, baik hubungan dengan dririnya
sendiri ataupun dengan sesuatu di luar dirinya. Ilmu fiqh membicarakan hubungan
itu yang meliputi kedudukannya, hukumnya, caranya, alatnya dan sebagainya.
Hubungan-hubungan itu ialah:
a.
Hubungan manusia dengan Allah, dan para
Rasulullah;
b.
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri;
c.
Hubungan manusia dengan keluarga dan
tetangganya;
d.
Hubungan manusia dengan orang lain yg seagama
dengan dia;
e.
Hubungan manusia dengan orang lain yg tidak
seagama dengan dia;
f.
Hubungan manusia dengan makhluk yang lain yang
tidak seagama dengan dia;
g.
Hubungan manusia dengan benda mati dan alam
semesta;
h.
Hubungan manusia dengan masyarakat dan
lingkunganya;
i.
Hubungan manusia dengan akal fikiran dan ilmu
pengetahuan; dan
j.
Hubungan manusia dengan alam ghaib seperti,
syetan, iblis, surge, neraka, alam barzakh, yaumil hisab dan sebagainya.
Hubungan-hubungan ini dibicarakan dalam fiqh
melalui topik-topik bab permasalahan yang mencakup hampir seluruh kegiatan
hidup perseorangan, dan masyarakat, baik masyarakat kecil seperti sepasang
suami-isteri (keluarga), maupun masyarakat besar seperti negara dan hubungan
internasional, sesuai dengan macam-macam hubungan tadi. Meskipun ada perbedaan
pendapat para ulama dalam menyusun urutan pembahasaan dalam membicarakan
topik-topik tersebut, namun mereka tidak berbeda dalam menjadikan Al-Qur’an,
Sunnah dan Ijtihad sebagai sumber hukum.Walaupun dalam pengelompokkan materi
pembicaraan mereka berbeda, namun mereka sama-sama mengambil dari sumber yang
sama.
Karena rumusan fiqh itu berbentuk hukum hasil
formulasi para ulama yang bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad, maka
urutan dan luas pembahasannya bermacam-macam. Setelah kegiatan ijtihad itu
berkembang, muncullah imam-imam madzhab yang diikuti oleh murid-murid mereka
pada mulanya, dan selanjutnya oleh para pendukung dan penganutnya. Diantara
kegiatan para tokoh-tokoh aliran madzhab itu, terdapat kegiatan menerbitkan
topik-topik (bab-bab) pembahasan fiqh. Menurut yang umum dikenal di kalangan
ulama fiqh secara awam, topik (bab) pembahasan fiqh itu adalah empat, yang
sering disebut Rubu’:
Ø Rubu’ Ibadat
yaitu hukum yang berkaitan dengan shalat, haji dan zakat dan puasa. Yang
biasanya dimulai dengan penjelasakan tentang masalah Thoharah yang diawali
dengan penjelasan tentang air, najis, bersuci dari hadats kecil dan besar,
hal-hal yang membatalkannya dan bejana-bejana yang boleh digunakan dan yang
tidak boleh digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Ø Rubu’ muamalat
yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan antar manusia satu dengan yang lain
seperti hukum akad jual beli, sewa menyewa, hak kepemilikan, dan lain-lain.
Ø Rubu’ munakahat
yaitu hukum yang berkaitan dengan keluarga sejak awal sampai akhir, yang
biasanya dimulai dengan penjelasan tentang pernikahan, kemudian perceraian, dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga.[2]
Ø Rubu’ jinayat.
Ada lagi yang berpendapat tiga saja; yaitu: bab
ibadah, bab mu’amalat, bab ’uqubat. Menurut Prof. T.M. Hasbi
Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut, dapat dikembangkan menjadi 8
(delapan) topik (bab):
a.
Ibadah
Dalam
bab ini dibicarakan dan dibahas masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan berikut ini:
1.
Thaharah (bersuci);
2.
Ibadah (sholat);
3.
Shiyam (puasa);
4.
Zakat;
5.
Zakat fitrah;
6.
Haji;
7.
Janazah (penyelenggaraan jenazah);
8.
Jihad;
9.
Nadzar;
10.
Udhiyah (kurban);
11.
Zabihah (penyembelihan);
12.
Syahid (pertempuran);
13.
Aqiqah;
14.
Makanan dan minuman.
b.
Ahwalusy
Syakhshiyyah
Dalam
bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta warisan,
yang meliputi persoalan:
1.
Nikah;
2.
Khitbah (peminangan);
3.
Mu’asyarah (bergaul);
4.
Nafakah;
5.
Talak;
6.
Khulu’
7.
Fasakh;
8.
Li’an;
9.
Ila’;
10.
Iddah;
11.
Rujuk;
12.
Zhihar;
13.
Radla’ah;
14.
Hadlanah;
15.
Wasiat;
16.
Warisan;
17.
Hajru; dan
18.
Perwalian.
c.
Muamalah
Madaniyah
Biasanya
disebut muamalah saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah
yang dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan, harta milik,
harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah:
1.
Buyu’ (jual beli);
2.
Khiyar;
3.
Riba (renten);
4.
Sewa menyewa;
5.
Hutang-piutang;
6.
Gadai;
7.
Syuf’ah;
8.
Thasarruf;
9.
Salam (pesanan);
10.
Jaminan;
11.
Mudlarabah muza’raah;
12.
Pinjam-meminjam;
13.
Syarikah;
14.
Wadi’ah;
15.
Luqhatah;
16.
Ghasab
17.
Qismah;
18.
Hibah dan hadiyah;
19.
Kafalah;
20.
Waqaf;
21.
Perwalian;
22.
Kitabah; dan
23.
Tadbir.
Dari
segi niat dan manfaat, waqaf ini kadang-kadang dimasukkan dalam kelompok
ibadah; tetapi dari segi barang/benda/harta dimasukkan ke dalam kelompok
muamalah.
d.
Muamalah
Maliyah
Kadang-kadang
disebut Baitul mal saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas
masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta
kekayaan milik bersama, baik masyarakat kecil atau besar seperti negara
(perbendaharaan negara = baitul mal). Pembahasan di sini meliputi:
1.
Status milik bersama baitul mal;
2.
Sumber baitul mal;
3.
Cara pengelolaan baitul mal;
4.
Macam-macam kekayaan atau materi baitul mal;
5.
Obyek dan cara penggunaan kekayaan baitul mal;
6.
Kepengurusan baitul mal dan lain-lain.
e.
Jinayah dan
’Uqubah (pelanggaran dan hukuman)
Biasanya
dalam kitab-kitab fiqh ada yang menyebut jinayah saja. Dalam bab ini di
bicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam
kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman dan
sebagainya. Pembahasan ini meliputi:
1.
Pelanggaran;
2.
Kejahatan;
3.
Qishash (pembalasan);
4.
Diyat (denda);
5.
Hukuman pelanggaran dan kejahatan;
6.
Hokum melukai atau mencederai;
7.
Hukum pembunuhan;
8.
Hokum murtad;
9.
Hokum zina;
10.
Hokum qazaf;
11.
Hukuman pencuri;
12.
Hukuman perampok;
13.
Hukuman pemunum arak;
14.
Ta’zir;
15.
Membela diri;
16.
Peperangan;
17.
Pemberontakan;
18.
Harta rampasan perang;
19.
Jizyah;
20.
Berlomba dan melontar;
f.
Murafa’ah atau
Mukhashamah
Dalam
bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini
meliputi:
1.
Peradilan dan pendidikan;
2.
Hakim dan Qadi;
3.
Gugatan;
4.
Pembuktian dakwaan;
5.
Saksi;
6.
Sumpah dan lain-lain.
g.
Ahkamud
Dusturiyyah
Dalam
bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan ketatanegaraan. Pembahasan ini meliputi:
1.
kepala dan waliyul amri;
2.
Syarat menjadi kepala Negara dan Waliyul amri;
3.
Hak dan kewajiban Waliyul amri;
4.
Hak dan kewajiban rakyat;
5.
Musyawarah dan demokrasi;
6.
Batas-batas toleransi dan persamaan dan
lain-lain.
h.
Ahkamud
Dualiyah (hukum internasional)
Dalam
bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok masalah hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini
meliputi:
1.
Hubungan antar negara, sama-sama Islam, atau
Islam dan non-Islam, baik ketika damai atau dalam situasi perang;
2.
Ketentuan untuk orang dan damai;
3.
Penyerbuan;
4.
Masalah tawanan;
5.
Upeti, Pajak, rampasan;
6.
Perjanjian dan pernyataan bersama;
7.
Perlindungan;
8.
Ahlul ’ahdi, ahluz zimmi, ahlul harb; dan
9.
Darul Islam, darul harb, darul mustakman.
B.
Perbedaan Fiqh
Imam Madzhab
Di antara
tonggak penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab
raksasa di tengah ratusan mazhab kecil lainnya. Keempat mazhab itu adalah
Al-Hanabilah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah. Sebenarnya jumlah
mazhab besar tidak hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang
diakui eksistensi dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad ini.[3]
Keempatnya
masih utuh tegak berdiri dan dijalankan serta dikembangkan oleh mayoritas
muslimin di muka bumi. Masing-masing punya basis kekuatan syariah serta masih
mampu melahirkan para ulama besar di masa sekarang ini.
Berikut sekelumit
sejarah keempat mazhab ini dengan sedikit gambaran landasan manhaj mereka.
1. MazhabAl-Hanifiyah.
Didirikan
oleh An-Nu’man bin Tsabit atau lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah. Beliau
berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa,
Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut tabiin , sebagian ahli
sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’in.
Mazhab
Al-Hanafiyah sebagaimana dipatok oleh pendirinya, sangat dikenal sebagai
terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam mengupas masalah fiqih.
Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antaralatar belakangnya adalah:
1) Karena
beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak
terlalu yakin atas keshahihah suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk
tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak
formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil
nash syar’i.
2) Kurang
tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau
tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits
palsu, lemah dan bermasalah yang beredar di masa
beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di masa 100 tahun pertama semenjak
wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal
sebagai ahli peneliti hadits.
Di
kemudian hari, metodologi yang beliau perkenalkan memang sangat berguna buat
umat Islam sedunia. Apalagi mengingat Islam mengalami perluasan yang sangat
jauh ke seluruh penjuru dunia. Memasuki wilayah yang jauh dari pusat sumber syariah
Islam. Metodologi mazhab ini menjadi sangat
menentukan dalam dunia fiqih di berbagai negeri.
2.
Mazhab Al-Malikiyah
Mazhab
ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi .Berkembang
sejak awal di kota Madinah dalam urusan fiqh.
Mazhab
ini ditegakkan di atas doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada
hadits Rasulullah SAW dan praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun
madzhabnya dengan 20 dasar; Al-Quran, As-Sunnah , Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah
, perkataan sahabat, istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab,
maslahah mursalah, syar’u man qablana .
Mazhab
ini adalah kebalikan dari mazhan Al-Hanafiyah. Kalau Al-Hanafiyah banyak sekali
mengandalkan nalar dan logika, karena kurang tersedianya nash-nash yang valid
di Kufah, mazhab Maliki justru ‘kebanjiran’ sumber-sumber syariah.
Sebab mazhab ini tumbuh dan berkembang di kota Nabi SAW sendiri, di mana
penduduknya adalah anak keturunan para shahabat. Imam Malik sangat meyakini
bahwa praktek ibadah yang dikerjakan penduduk Madinah sepeninggal Rasulullah
SAW bisa dijadikan dasar hukum, meski tanpa harus merujuk kepada hadits yang
shahih para umumnya.
3.
Mazhab As-Syafi’iyah
Didirikan
oleh Muhammad bin Idris Asy Syafi’i . Beliau dilahirkan di Gaza Palestina tahun
150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H.
Di
Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya . Kemudian beliu pindah ke Mesir
tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru . Di sana beliau wafat sebagai
syuhadaul ‘ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Salah
satu karangannya adalah “Ar-Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab
“Al-Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang
mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli
ra’yi dan fiqh ahli hadits .
Dasar
madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan
sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak
mengambil Istihsan sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan
perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang
melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat.” Penduduk Baghdad
mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah ,”
Kitab
“Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak;
Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Sementara kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh pengikutnya
di Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i
mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan
perkataanku, maka ia adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang
tembok,”
4. Mazhab
Al-Hanabilah
Didirikan
oleh Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani . Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh
besar di sana hingga meninggal pada bulan Rabiul Awal. Beliau memiliki
pengalaman perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat ilmu, seperti Kufah, Bashrah,
Mekah, Madinah, Yaman, Syam.
Beliau
berguru kepada Imam Syafi’i ketika datang ke Baghdad sehingga menjadi mujtahid
mutlak mustaqil. Gurunya sangat banyak hingga mencapai ratusan. Ia menguasai
sebuah hadis dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di zamannya dengan
berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al-Bukhari .
Imam
Ahmad adalah seorang pakar hadis dan fiqh. Imam Syafi’i berkata ketika
melakukan perjalanan ke Mesir,”Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya
tinggalkan di sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu
Hanbal ,”
Dasar
madzhab Ahmad adalah Al-Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas,
Istishab, Maslahah mursalah, saddudzarai’.
Imam
Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun pengikutnya yang
membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban atas pertanyaan dan
lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al-Musnad” yang memuat
40.000 lebih hadis. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang kuat. Imam Ahmad
mengunakan hadis mursal dan hadis dlaif yang derajatnya meningkat kepada hasan
bukan hadis batil atau munkar.
Di
antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal anak terbesar Imam
Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal . Shalih bin Ahmad lebih menguasai fiqh
dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadis. Murid yang adalah Al-Atsram
dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin Muhammad , Abdul Malik bin Abdul
Hamid bin Mihran , Abu Bakr Al-Khallal , Abul Qasim yang terakhir ini memiliki
banyak karangan tentang fiqh madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh madzhab
Hanbali adalah “Al-Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Fiqh artinya faham atau tahu. Menurut istilah
yang digunakan para ahli Fiqh (fuqaha). Fiqh itu ialah ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syari’at Islam yang diambil dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Menurut Hasan Ahmad Al-Khatib: Fiqhul Islami ialah
sekumpulan hukum syara’, yang sudah dibukukan dalam berbagai madzhab, baik dari
madzhab yang empat atau dari madzhab lainnya, dan yang dinukilkan dari
fatwa-fatwa sahabat thabi’in, dari fuqaha yang tujuh di Makkah, di Madinah, di
Syam, di Mesir, di Iraq, di Bashrah dan sebagainya.
Ruang
lingkup fiqh:
1)
Rubu’ Ibadat
2)
Rubu’ muamalat
3)
Rubu’ munakahat
4)
Rubu’ jinayat.
2.
Perbedaan empat Imam Madzhab
a.
Mazhab
Al-Hanafiyah
Sebagaimana dipatok oleh pendirinya,
sangat dikenal sebagai terdepan dalam masalah pemanfaatan akal/ logika dalam
mengupas masalah fiqih. Oleh para pengamat dianalisa bahwa di antaralatar
belakangnya adalah:
1)
Karena
beliau sangat berhati-hati dalam menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak
terlalu yakin atas keshahihah suatu hadits, maka beliau lebih memlih untuk
tidak menggunakannnya. Dan sebagai gantinya, beliau menemukan begitu banyak
formula seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain yang punya dalil
nash syar’i.
2)
Kurang
tersedianya hadits yang sudah diseleksi keshahihannya di tempat di mana beliau
tinggal. Sebaliknya, begitu banyak hadits palsu, lemah dan
bermasalah yang beredar di masa beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hidup di
masa 100 tahun pertama semenjak wafat nabi SAW, jauh sebelum era imam
Al-Bukhari dan imam Muslim yang terkenal sebagai ahli peneliti hadits.
b.
Mazhab
Al-Malikiyah
Mazhab ini ditegakkan di atas
doktrin untuk merujuk dalam segala sesuatunya kepada hadits Rasulullah SAW dan
praktek penduduk Madinah. Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar;
Al-Quran, As-Sunnah , Ijma’, Qiyas, amal ahlul madinah , perkataan sahabat,
istihsan, saddudzarai’, muraatul khilaf, istishab, maslahah mursalah, syar’u
man qablana.
c.
Mazhab
As-Syafi’iyah
Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak mengambil perkataan sahabat karena dianggap
sebagai ijtihad yang bisa salah. Beliau juga tidak mengambil Istihsan sebagai
dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah.
Imam Syafi’i mengatakan, ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan
syariat.” Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah ,”
d.
Mazhab
Al-Hanabilah
Dasar madzhab Ahmad adalah Al-Quran,
Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’, Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah,
saddudzarai’.
[1] http//www.Pengertian
dan Ruang Lingkup Fiqh - Pustaka.htm (Copyright by CV. Kawatama Sinergi
Bandung)
[2] http//www.Cabang-Cabang
Ilmu Fiqih « Samudra Ilmu Agama Islam.htm
[3] Ahmad Sarwat,
http//www.Perbedaan Antar Mazhab.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar